Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan memerintahkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk berhenti menenggelamkan kapal, dalam rapat koordinator bersama dengan sejumlah menteri yang berada di bawah koordinasinya kemarin, Senin 8 Januari 2018.
Luhut juga meminta KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) untuk fokus meningkatkan produksi agar ekspor meningkat, sedangkan untuk kapal-kapal yang melanggar akan disita dan menjadi aset negara.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sendiri menjawab larangan tersebut dengan menyarankan pihak-pihak yang keberatan dengan tindakan penenggelaman kapal kepada kapal pencuri ikan asing, bisa menyampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo.
Hal itu dilakukan karena sanksi penenggelaman kapal bukanlah kebijakan Susi pribadi, melainkan sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 yang mengatur masalah Perikanan.
“Jadi, kalau ada yang berkeberatan atau merasa itu tidak pantas, tentunya harus membuat satu usulan kepada Presiden untuk memerintahkan Menterinya mengubah Undang-Undang Perikanan tadi, di mana ada pasal penenggelaman, menjadi tidak ada,” demikian menurut Susi melalui video yang diunggah oleh KKP News ke YouTube pada Selasa, tanggal 9 Januari 2018.
Saya pribadi menilai bahwa apa yang disampaikan Susi sudah tepat. Karena penenggelaman itu sendiri sudah diatur dalam Undang Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dan yang memutuskan status sebuah kapal adalah pengadilan. Jadi kalau pengadilan memutuskan agar kapal tersebut ditenggelamkan, masa KKP harus menolaknya? Bukankah ini dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum atau melawan keputusan pengadilan?. Bisa dipidanakan lho!.
Toh tindakan Susi selama ini cukup efektif, kapal illegal fishing menjadi jera dan tidak berani memasuki perairan Indonesia lagi dan kekayaan laut Indonesia meningkat pesat, mencapai 100%, dibandingkan sebelum penenggelaman dilakukan.
Sedangkan pendapat Luhut agar KKP lebih fokus meningkatkan produksi, tidak bisa dijadikan alasan untuk menghentikan penenggelaman, karena keduanya bisa berjalan secara bersamaan, artinya produksi bisa tetap ditingkatkan tanpa harus menghentikan penenggelaman.
Justru bila Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan tindakan penenggelaman, dikhawatirkan kapal illegal fishing akan masuk kembali ke perairan Indonesia dan melakukan pencurian ikan, akibatnya malah akan mempengaruhi bahkan menurunkan produksi ikan.
Memang benar, bahwa kapal bisa disita untuk dijadikan aset negara, kemudian dilelang dan uangnya masuk ke kas negara seperti yang dikatakan oleh Wapres Jusuf Kala. Namun bila mekanisme pelelangan tidak dilakukan dengan mekanisme yang terkontrol dan transparan, malah bisa dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk kongkalikong dengan peserta lelang.
Lalu ada juga usulan agar kapal yang disita dibagikan kepada para nelayan, toh banyak nelayan yang membutuhkan kapal. Nah, begini jawaban saya, asumsikanlah 317 tidak jadi ditenggelamkan. Lalu kapal itu dibagikan, anggaplah 1 orang mendapat 1 kapal berarti hanya 317 nelayan saja yang mendapat kapal, padahal jumlah nelayan kita yang membutuhkan kapal itu bukan 100-200 orang, ada ribuan jumlahnya.
Belum lagi ukuran dan jenis kapal yang disita bermacam-macam, malah akan memunculkan polemik perselisihan, bagi yang kebagian kapal kecil akan iri kepada yang mendapat kapal besar, sedangkan nelayan yang dapat kapal jelek akan cemburu kepada nelayan yang mendapat kapal bagus, apalagi yang belum kebagian kapal. Ujung-ujungnya pemerintah lagi yang akan dituduh tidak adil, pilih kasih dan sebagainya, repot bukan?.
Berbeda dengan Wapres Jusuf Kala yang juga melarang penenggelaman kapal, justru Presiden Jokowi malah mendukung dan mengapresiasi tindakan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti.
Menurut Presiden Jokowi, melalui kebijakan penenggelaman kapal asing pencuri ikan, Susi telah mewujudkan kedaulatan perairan Indonesia.
“Sudah tiga tahun ini, ribuan kapal asing pencuri ikan semuanya sudah enggak berani mendekat. Karena apa? Semuanya ditenggelamkan sama Bu Susi. Sudah 317 kapal yang ditenggelamkan. Bu Susi itu perempuan, tapi serem. Takut semuanya kepada Bu Susi,” ujar Jokowi di Auditorium Tiilanga, saat kunjungan beliau ke Kepulauan Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, 8 Januari 2018 kemarin.
Benar apa yang dikatakan Bapak Presiden. Jadi menurut saya, bila Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan tetap bersikeras melarang penenggelaman kapal illegal fishing, maka ada 2 hal yang harus dilakukan.
Pertama, merubah Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dengan menghapus pasal yang berkaitan dengan penenggelaman. Yang kedua adalah memastikan proses/mekanisme pelelangan yang bersih, transparan dan profesional serta dapat dipertanggungjawabkan agar tidak menjadi celah bagi para oknum yang ingin “bermain”.
Selama kedua hal tersebut belum dilaksanakan, sebaiknya Pak Menko Kemaritiman diam saja, biarkan pengadilan yang memutuskan serta saksikan kehebatan anak buahnya menghancurkan kapal-kapan maling ikan itu.
Jadi siapa lagi yang mau ditenggelamkan?