• Beranda
  • Tentang IndoVoices
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Media Siber
  • Menjadi Penulis
  • Advertising
  • Hubungi Kami
Sunday, 5 February 2023
  • Login
  • Register
Indovoices
  • Redaksi
    • Editorial
    • Analisis
    • Liputan Khusus
    • Event
      • Sumpah Pemuda
      • 100HariAniesSandi
  • Umum
  • Internasional
  • Politik
    • Kaleidoskop Pemerintahan Jokowi
    • Pilkada 2018
  • Ekonomi
  • Hukum
    • Kriminal
    • Laporan
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Anti Hoax
  • Lifestyle
    • Entertainment
      • Fiksi
      • Cerpen
      • Puisi
        • Humor
    • Kesehatan
    • Life & Love
    • Traveling
    • Sex Education
No Result
View All Result
  • Redaksi
    • Editorial
    • Analisis
    • Liputan Khusus
    • Event
      • Sumpah Pemuda
      • 100HariAniesSandi
  • Umum
  • Internasional
  • Politik
    • Kaleidoskop Pemerintahan Jokowi
    • Pilkada 2018
  • Ekonomi
  • Hukum
    • Kriminal
    • Laporan
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Anti Hoax
  • Lifestyle
    • Entertainment
      • Fiksi
      • Cerpen
      • Puisi
        • Humor
    • Kesehatan
    • Life & Love
    • Traveling
    • Sex Education
No Result
View All Result
Indovoices
No Result
View All Result
Home Politik

Lari Bersama Serigala: Antara Politik Dinasti, Pencitraan Dan Ganti Presiden

Xavier Quentin PranatabyXavier Quentin Pranata
May 23, 2018
inPolitik
Reading Time: 5 mins read
84 1
AA
0
Lari Bersama Serigala: Antara Politik Dinasti, Pencitraan Dan Ganti Presiden

http://www.inilahjambi.com/wp-content/uploads/2018/04/gerakan-2019GantiPresiden-Jokowi.jpg

227
SHARES
854
VIEWS
http://www.inilahjambi.com/wp-content/uploads/2018/04/gerakan-2019GantiPresiden-Jokowi.jpg

I’ve been running through the jungle

I’ve been running with the wolves

To get to you, to get to you

I’ve been down the darkest alleys

Saw the dark side of the moon

To get to you, to get to you

Suara apik Selena Gomez mengalun dari audio speaker mobil anak saya saat kami mengantar si bungsu ke sekolah. Siapa menyangkal bahwa lagu romantis itu sebenarnya lagu cinta. Namun, kok saya melihat ada meminjam istilah Syahrini sesuatu banget yang sangat pas dengan sikon politik saat ini.

Di tahun politik, istilah yang lagi naik daun adalah politik dinasti. Sangat benderang di mata kita, paling tidak ada 3 keluarga presiden yang memainkannya: Soekarno, Soeharto dan SBY. Kok S semua? Saya tidak mau ikut-ikutan teori gathuk alias mencocok-cocokkan. Yang jelas, Megawati yang merupakan trah Soekarno yang pernah menduduki kursi yang sama dengan bapaknya. Soeharto? Dengan partai barunya, Partai Berkarya, Hutomo Mandala Putra yang lebih beken dengan nama Tommy Soeharto, jelas ingin meneruskan trah bapaknya.

SBY? Kentara sekali saat menaikkan Agus Harimurti Yudhoyono populer dengan sebutan AHY sebagai cagub DKI Jakarta. Meskipun mendapat suara terendah, usaha ini dianggap sebagai test the water apakah masyarakat DKI yang dianggap miniatur Indonesia bisa menerima putra mahkota ini. Apalagi AHY diuntungkan dengan syarat capres harus diusung partai politik dan menutup pintu terhadap calon independen. Kini nama AHY ramai hendak dipasangkan sebagai cawapres baik untuk Jokowi maupun yang hari-hari ini begitu santer dengan Prabowo. Lobi-lobi politik antar kedua partai sudah terjalin.

Namanya saja usaha, siapa pun yang pernah berkuasa boleh saja mencari penerus dari dinastinya sendiri. Tetangga kita Singapura, sampai sekarang masih dikuasai oleh praktik politik dinasti ini. Sedangkan Malaysia mempunyai pemimpin baru yang sebenarnya pemimpin lama yang come back. Kali ini dia didampingi oleh istri rivalnya sendiri yang pernah dia masukkan ke penjara.

Demikian juga Amerika yang meskipun menyatakan diri sebagai negara paling demokratis seduniasekali lagi katanya, he, he, hetoh kita tahu praktik politik dinasti masih terjadi. George Bush dan George H. W. Bush, yang menjabat 20 Januari 1989-20 Januari 1993, memiliki putra George W. Bush yang malah menjadi presiden dua periode yaitu 20 Januari 2001-20 Januari 2009. Bukankah Bill Clinton pun mendukung istrinya yang bertarung di piplres yang lalu, meskipun kalah?

Orang tua mana pun tentu menginginkan anaknya sukses dan mewujudkan impian yang kadang berubah menjadi ambisi buta berharap anaknya menduduki kursi yang dulu didudukinya. Jika kursi itu keras, panas dan penuh kutu, ortu pasti menginginkan anaknya yang sebaliknya, yaitu tidak mengikuti jejaknya. Namun, jika kursi yang pernah didudukinya itu empuk, sejuk dan penuh kenikmatan siapa yang tidak ingin mewariskannya ke keturunannya?

Sebenarnya, apa itu politik dinasti? Dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, saya mendapatkan definisi ini: Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indentik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Saya tidak alergi dengan kerinduan keluarga seperti itu. Misalnya dokter ingin anaknya jadi dokter. Pengacara beken yang bergelimang uang dari hasil praktik hukumnya menikmati kemewahan tiada tara, wajar jika menginginkan anaknya ikut menjalani dan mengalami kehidupan demikian. Pengusaha pasti tidak ingin usaha yang sudah dirintisnya sejak masih jadi teri sampai meraksasa jadi gurita lepas begitu saja. Saya oke jika prosesnya berjalan dengan profesional dan demokratis. Jika anak-anak mereka mampu dan mau, mengapa tidak?

Namun kalau sekadar mau tapi tidak mampu, jangan dipaksakan, agar tidak mampus. Bukan hanya mati kutu karena diserang orang luar, melainkan digerogoti oleh kutu ketidakpercayaan diri dari dalam. Bukan hanya itu, politik dinasti juga rawan penyalahgunaan kekuasaan. Power tends to corrupt. Absolute power corrupt absolutely. Begitu yang pernah saya dengar.

Laman yang saya baca, secara tegas menyatakan, Lembaga Negara Pengawal Konstitusi, politik dinasti merugikan. “Menurut Dosen ilmu politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, demikian tulis AG Paulus, Purwokerto, tren politik kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Menurutnya, kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru.

“Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.”

Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dinasti politik harus dilarang dengan tegas, karena jika makin maraknya praktek ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet. Jika kuasa para dinasti di sejumlah daerah bertambah besar, maka akan kian marak korupsi sumber daya alam dan lingkungan, kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Artinya, penghalalan segala cara agar ambisi pribadi terjadi. Hal itu bisa dicegah jika pemilih cerdas dalam menyikapi politik dinasti ini. Sebesar apa pun syahwat kekuasaan bercokol, jika pemilih ogah mencoblos, nama yang dikarbit otomatis gembos. Bukan Jos Gandhos, melainkan Mbledhos!

Justru di sinilah akar permasalahanya. Kita yang berada di grass root terlalu polos untuk dicakoki minuman oplos. Berita bohong, ujaran bodong dan kampanye sundel bolong kita telan begitu saja karena gigi sudah ompong. Kita tidak punya taring sehingga tidak bernyali memilih yang memang dipersiapkan dengan baik untuk bertanding. Meskipun, untuk itu kita merisikokan diri sendiri dengan berlari bersama serigala.

Cinta pada pandangan pertama, memang buta. Mengapa? Karena kita tidak tahu isi. Yang kita lihat hanya kemasan. Di sinilah pencitraan jadi laku keras. Cilakanya, kita gampang terpikat oleh kemasan tanpa peduli isinya sudah expired dan mulai membusuk entah karena usia atau karena lebih besar hasrat ketimbang bakat. Atau sebaliknya, kita memilih pemimpin yang ganteng yang sebenarnya belum mateng (eufemisme untuk kata masih mentah).

Dengan memilih tokoh yang tidak kokoh, apalagi yang tidak senonoh, tanpa sadar kita akan roboh bersamanya. Atau jadi korbannya. Jika kita berani berlari bersama serigala, kita betul-betul seperti domba di tengah serigala yang siap mencabik-cabik daging kita dan meninggalkan tulang belulang kita begitu saja. Jika kita salah memilih pemimpin yang korup, maka bukan saja negara yang digerogoti, daging dan tulang kita pun akan habis dimangsa.

Selena Gomes yang berkolaborasi dengan electronic dance music producer and DJ, Marshmello, di dalam lagunya yang ngehits, Wolves, menggambarkan fenomena ini dengan menarik. Marshmellow adalah penganan empuk yang jauh lebih nikmat saat dibakar yang merupakan kegemaran saya saat winter, cocok dengan analogi ini. Sebagai pemilih awam yang tidak smart, kita bisa jadi makanan empuk para politisi busuk yang sengaja menggoreng isu untuk memenangkan dirinya. Jika sudah termakan, kita seperti yang dilantunkan Selena Gomez, rela menjalani gang-gang paling gelap untuk mengikuti idola kita, meskipun ironinya, kita sudah tahu sisi buruk dari bulan impian kita.

Mengapa dan bagaimana kita bisa menjadi seperti sapi yang dicucuk hidungnya sehingga mengekor dan mengikut ke mana pun idola kita pergi, meski hanya dibekali nasi bungkus? Selena Gomez menjelaskannya dengan cerdas:

I’ve looked for love in every stranger

Took too much to ease the anger

All for you, yeah, all for you

Ketika negara kita anggap tidak lagi memberi rasa aman, menyediakan rumah yang nyaman, dan cukup pakan, kita marah besar. Apalagi ketika Surabaya yang dikenal sebagai barometer keamanan nasional ikut kecolongan bom bunuh diri di tiga gereja. Negara dianggap tidak tegas. Jika negara lemah, pemimpin perlu diganti. Begitu logika berpikir sebagian kita, sehingga #2019GantiPresiden dan #DiaSibukBekerja berbenturan di Car Free Day. Untuk meredam kemarahan kitameskipun semu dan sementarakita rela mencari cinta kepada setiap orang asing yang mampu menyediakan, entah dari mana dan bagaimana dia memperolehnya. Meskipun ganteng, kalau serigala, mengapa harus dikencani, apalagi dinikahi?

Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.

Previous Post

Tegaskan Perpres TKA untuk Perketat Perizinan Pekerja Asing di Indonesia

Next Post

Serahkan 510 Sertifikat Hak Tanah Wakaf di Sumbar

Xavier Quentin Pranata

Xavier Quentin Pranata

dosen, penulis, dan pembicara publik..

Next Post
Serahkan 510 Sertifikat Hak Tanah Wakaf di Sumbar

Serahkan 510 Sertifikat Hak Tanah Wakaf di Sumbar

Pembangunan Venue Untuk Asian Games 2018 di GBK Sudah 99 Persen Selesai

Pembangunan Venue Untuk Asian Games 2018 di GBK Sudah 99 Persen Selesai

Leave a ReplyCancel reply

Indovoices Apps

Berlangganan

Daftarkan emailmu untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru Indovoices.com melalui email

Join 1,250 other subscribers
  • Trending
  • Comments
  • Latest
Patriot Bela Bangsa Kritik Keputusan Menteri Perdagangan Impor Kedelai 350 Ribu Ton

Patriot Bela Bangsa Kritik Keputusan Menteri Perdagangan Impor Kedelai 350 Ribu Ton

November 3, 2022

Selecting an International Partner

October 14, 2022

How to get a Latino Bride

October 10, 2022

The main advantages of Jointly Useful Relationships – Older Men Dating Sites For Searching for Younger Females

September 28, 2022

Keeping an Oriental Woman Happy

September 22, 2022

The way to get Foreign Women of all ages For Marital life Online

September 18, 2022

Discover Me a Sugardaddy Usa

September 12, 2022

Tentang

IndoVoices adalah sebuah media opini yang memberi ruang kepada para penulis untuk menuangkan ide dan pemikiran, cerita dan pengalaman secara lebih mendalam dan sistematis.

Menjadi Penulis

Indovoices.com membuka kesempatan kepada siapapun dengan latar belakang apapun untuk bergabung menjadi kontributor. Indovoices memberikan kontribusi sebesar Rp 3/view.

Bagi yang ingin bergabung menulis, kirimkan contoh artikelnya ke email [email protected]

Untuk informasi lebih lanjut, silahkan kunjungi halaman berikut ini.

Kanal

  • 100HariAniesSandi
  • Analisis
  • Anti Hoax
  • Budaya
  • Cerpen
  • Editorial
  • Ekonomi
  • English
  • Enterpeneurship
  • Entertainment
  • Event
  • Fiksi
  • Finansial
  • Hukum
  • Humor
  • Inovasi & Teknologi
  • Internasional
  • Kaleidoskop Pemerintahan Jokowi
  • Kebangsaan
  • Kesehatan
  • Kriminal
  • Kuliner
  • Laporan
  • Life & Love
  • Lifestyle
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
  • Marketing
  • Olahraga
  • Pemerintahan
  • Pendidikan
  • Photography/Infografis
  • Pilkada 2018
  • Politik
  • Puisi
  • Redaksi
  • Sastra
  • Sejarah
  • Startup
  • Sumpah Pemuda
  • Traveling
  • UKM
  • Umum
  • Video
  • Beranda
  • Tentang IndoVoices
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman Media Siber
  • Menjadi Penulis
  • Advertising
  • Hubungi Kami

© 2018 Indovoices.com

No Result
View All Result
  • Redaksi
    • Editorial
    • Analisis
    • Liputan Khusus
    • Event
      • Sumpah Pemuda
      • 100HariAniesSandi
  • Umum
  • Internasional
  • Politik
    • Kaleidoskop Pemerintahan Jokowi
    • Pilkada 2018
  • Ekonomi
  • Hukum
    • Kriminal
    • Laporan
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Anti Hoax
  • Lifestyle
    • Entertainment
      • Fiksi
      • Cerpen
      • Puisi
    • Kesehatan
    • Life & Love
    • Traveling
    • Sex Education
  • Login
  • Sign Up
  • Cart

© 2018 Indovoices.com

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
 

Loading Comments...