Ada begitu banyak analisa terhadap pidato Anies saat pelantikannya menjadi gubernur pada hari senin (16/10) lalu. Banyak yang menyesalkan mengapa Anies harus mengucapkan kalimat pribumi padahal Inpres No 26 Tahun 1998 mengatakan untuk menghentikan penggunaan kata “pribumi” dalam lingkungan penyelenggaraan pemerintahan. Setelah membaca pidato lengkap Anies[i] saya kemudian mengambil kesimpulan awal. Pidato tersebut masih dalam kategori wajar, tak menyangkut persoalan rasialis. Namun setelah mencoba menganalisis ulang, saya mendapati permainan kata didalamnya. Anies memang dikenal sebagai ahli retorika ulung seperti kaum sofis di jaman Yunani Kuno.
Dalam pembukaan pidato, Anies mengatakan bahwa dirinya dan Sandi mengajak semua warga DKI untuk memajukan kota Jakarta secara bersama-sama. Dalam pidato tersebut, Anies menggunakan berbagai pepatah yang berasal dari beragam suku untuk mengajak bersatu. “Holong Manjalak Holong, Holong Manjalak Domu. Sayang mencari kasih sayang, kasih sayang menciptakan persatuan.” Pepatah Batak yang dikutip Anies. Sungguh kutipan yang tepat untuk persatuan. Pendengar diajak terbuai oleh kata-kata manis Anies.
Kata “Pribumi” muncul pada paragraph 15 dalam pidatonya. Sebelum mengucapkan kata “pribumi”, Anies menceritakan banyaknya sejarah Indonesia yang terjadi di kota Jakarta. Mulai pendudukan jaman kolonial, peristiwa sumpah pemuda, perumusan Pancasila hingga kemerdekaan. Dengan latar belakang tersebut Anies kemudian mengatakan, “Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami. Jika kita membaca sampai disini maka kata ‘pribumi’ dalam pidato yang dimaksud Anies adalah semua penduduk Indonesia tanpa memandang ras.
Kemudian dalam Paragraf 16, Anies melanjutkan, “Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan. Kita yang bekerja keras untuk mengusir penjajah kolonialisme. Kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di ibu kota ini. Dan kita menginginkan Jakarta bisa menjadi layaknya sebuah arena aplikasi Pancasila”. Disinilah saya temukan kesalahan cara berpikir mantan dosen dan rektor ini. Dengan mengatakan bahwa yang merebut kemerdekaan dan mengusir kolonialisme adalah Kita, maka Anies seolah-olah mengatakan “kemerdekaan dan mengusir penjajah kolonial” baru-baru saja terjadi. Padahal semua orang Indonesia tahu bahwa kemerdekaan Indonesia terjadi pada tahun 1945 dan tentu saja yang mengusir penjajah belanda adalah para pejuang yang sudah meninggal atau sudah veteran. Anies dan antek-anteknya tentu belum lahir pada saat itu.
Jadi tentulah yang dimaksud Anies sebagai “kita” bukanlah para pahlawan 1945 dan kalimat “merebut kemerdekaan dan mengusir “penjajah kolonialisme” bukanlah perjuangan di tahun 1945. Anies memaksudkan lain. Jadi, siapakah yang dimaksudkan Anies dengan Kita? Dan juga kapankah yang dimaksud Anies “merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah”?
Jika memperhatikan kata “kita” dalam kalimat ketiga dalam pidato paragraph 16, “………..Dan kita menginginkan Jakarta bisa menjadi layaknya sebuah arena aplikasi Pancasila. Maka “Kita” dalam pidato ini berarti “Anies-Sandi beserta rakyat Jakarta pendukungnya”. Kemudian mengingat bahwa pidato “merebut kemerdekaan” diucapkan saat pelantikan gubernur (bukan saat 17 Agustus), maka kalimat “merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah kolonial” dimaksudkan sebagai kemenangan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI yang lalu. Dengan melihat logika ini maka yang dimaksud Anies sebagai “penjajah” adalah Ahok-Djarot yang dikalahkannya dalam Pilkada yang lalu, sehingga kata “pribumi” berarti pendukung Anies-Sandi dan kata “Penjajah Kolonial” adalah Ahok-Djarot dan pendukungnya.
Berdasarkan kesimpulan tersebut tidaklah salah mengatakan Anies adalah seorang rasis. Untuk menutupi maksud tersebut Anies menggunakan cara kaum sofis[ii], memutar-mutar kalimat untuk mengelabui orang. Anies berhasil, sebagian masyarakat tidak dapat menangkap maksud terselubung pidato ini. Namun ternyata rasa curiga dari masyarakat muncul secara sederhana. Ini disebabkan banyaknya pendukung Anies-Sandi yang sering menggunakan jargon-jargon rasial dalam kampanye, demo togel yang begitu kasar, juga penggunaan agama untuk mengancam pendukung Ahok. Maka banyak orang merasa pernyataan “pribumi” Anies dimaksudkan rasis? Walaupun kemudian Anies mengklarifikasi konteks pribumi adalah di jaman kolonial, tetapi mengingat pendukungnya banyak melakukan rasisme dengan perbuatan, “kata-kata” Anies menjadi sekedar omong kosong dan basi. Anies harus membuktikannya dalam perilaku dan kebijakannya selama ia memimpin Jakarta. Tak cukup dengan “kata-kata” manis bagai Aspartam[iii].
Sembari menunggu tanggapan Anies-Sandi, masyarakat Jakarta sebaiknya juga tidak melupakan hal lain yang juga penting. Mengontrol jalan pemerintahan dan kebijakan Anies-Sandi. Ahok sering mengutip kalimat bijak Abraham Lincoln, “Untuk menguji karakter seseorang, berilah dia kekuasaan”. Jadi selama 5 tahun ini masyarakat Jakarta harus menguji dan memperhatikan perilaku, cara berpikir, gaya hidup Anies-Sandi. Mulai dari pagi hingga malam. Selama 4 tahun lalu kita telah “diterangi” cara kerja Ahok. Kita dapat dan akan membandingkan Anies dengan Ahok. Jika Ahok sampai kantor jam 7 pagi, jam berapakah Anies datang? Apakah Anies mau menerima pengaduan di depan Balaikota? Apakah Anies membiarkan ruang-ruang kantornya terbuka agar masyarakat umum dapat melihat segala pekerjaannya? Apakah Anies akan membuka rapat-rapatnya dan diunggah di Youtube agar masyarakat luas tahu keputusannya? Apakah Anies akan membiarkan anggota DPRD untuk memasukkan proyek-proyek mereka, seperti pengadaan UPS? Apakah Anies akan membiarkan kontrak-kontrak yang merugikan pemda DKI? Apakah Anies mau melaporkan harta kekayaan dan pajak yang dibayarkannya selama menjabat?
Warga DKI tak boleh terbuai oleh retorika dan kata-kata Anies, karena “berteori (berkata-kata) itu gampang, beda dengan praktek, praktek yang paling susah” Kata Ho dalam Film Jalanan[iv]
Catatan Kaki:
[i] https://news.detik.com/berita/3686897/ini-pidato-lengkap-anies-usai-dilantik-jadi-gubernur-dki
[ii] Sofisme adalah aliran filsafat dan Retorika yang mengajarkan relativitisme moral dan cara beragumentasi yang tampaknya masuk akal namun fallacious (keliru). Seorang Sofis adalah pengajar yang dikenal pinter, tapi untuk minteri (mengelabui)
[iii] Aspartam : Pemanis Buatan, banyak menimbulkan efek yang kurang baik bagi tubuh.
[iv] Film Dokumenter :Jalanan (2014). Disutradai Daniel Ziv.