Baru kali ini sepanjang sejarah saya melek politik dari kebutaan politik karena apatisme terhadap bangsa dan negara. Dari kecil saya merasa bahwa politik itu basi dan negatif. Tidak ada yang benar. Pemilu hanya jadi sebuah dagelan karena pemenangnya sudah ditentukan sejak tahun `1966 saat Soeharto pertama kali resmi jadi Presiden.
Bapak dan Ibu saya yang PNS hanya bisa memilih Golkar, bukan partai lainnya. Padahal, bapak dan ibu saya waktu itu maunya memilih PDI. Bukan apa-apa, mereka memang tidak suka dengan gaya kepemimpinan Soeharto. Belum lagi saat itu gaji PNS sangat kecil, sedangkan Soeharto dan keluarganya hidup berkelimpahan.
Setelah reformasi pun saya belum juga melek politik. Saya mencoblos pertama kali 2009. Itu pun karena saya tidak mau kalau suara saya dipermainkan karena tidak mencoblos. Pada akhirnya pilihan saya saat itu, Megapro kalah. Memang saat itu menjadi buah simalakama. Pilih siapapun ada kelemahannya. Tetapi karena Mega yang nanti akan jadi Presiden dan Prabowo jadi wapres, maka saya memilih Megapro. Memilih JK dan SBY tidak ada dalam opsi saya.
Semua pandangan buruk saya terhadap politik mulai berubah di tahun 2012. Disitu saya terikut arus perubahan yang dibawa oleh pasangan fenomenal, Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama. Sejak saat itulah, kecintaan saya kepada politik, bangsa dan negara bertumbuh dengan luar biasanya. Isu-isu politik menjadi sebuah isu yang lebih menarik daripada agama.
Perubahan itulah membuat saya turun dari tempat yang “mulia” dan masuk ke tempat kotor bernama politik. Tentu saja bukan menjadi politisi, tetapi menjadi seorang relawan mendukung tokoh-tokoh benar untuk memimpin negeri. Tentu yang menjadi poros perubahannya adalah Jokowi-Ahok. Sempat guncang saat Ahok kalah, tetapi dalam sebuah perenungan kuat akhirnya bangkit dan akan terus berjuang.
Kekalahan Ahok, menurut saya, adalah kekalahan yang sangat menyakitkan. Bukan hanya cara-cara tidak sportif yang dilakukan, melainkan juga merendahkan agama menjadi komoditas politik. Pemimpin dipilih bukan karena kemampuannya, melainkan karena agamanya. Ini sedang memilih teman hidup harus seiman, padahal masalah kepala daerah tidak ada hubungannya dengan agama.
Akhirnya Pilkada menyebabkan polarisasi luar biasa, sampai beberapa daerah mengancam akan merdeka. Syukurnya semua bisa dilewti dengan NKRI tetap utuh. Tetapi hasilnya menghasilkan pemimpin yang menang karena isu SARA. Menang pakai ayat, ancam mayat, politisasi masjid, gerakan tamasya Al Maidah dan diduga melibatkan saracen.
Gubernur terpilih yang kini sudah resmi dilantik, Anies Baswedan mengatakan bahwa Pilkada sudah selesai dan saatnya bersatu kembali. Anies bahkan berjanji akan merangkul yang menang dan juga yang kalah. Tetapi sayangnya, belum apa-apa, Anies malah melakukan blunder, atau sengaja, mengeluarkan pernyataan yang bernada rasis dan adu domba.
Ya, Anies seperti sengaja mengangkat isu pribumi dan non pribumi, seolah-olah dirinya merasa bahwa dia adalah seorang pribumi. Anies tidak sadar bahwa dia adalah keturunan Arab dan bukan seorang pribumi. Kalau pidatonya mengatakan saatnya Pribumi yang jadi tuan rumah, maka seharusnya dia tahu diri dan mengundurkan diri. Masak keturunan Arab memimpin pribumi??
Bagaimana bisa merangkul semua kalau dia masih memegang konsep pribumi dan non pribumi. Padahal, berdasarkan UU No.40 Th.2008, hal itu harusnya tidak lagi boleh disampaikan. Bahkan ada sanksi pidana jika melanggarnya. Seandainya saja Ahok yang berbicara begini, maka sudah demo togel berjilid-jilid kaum intoleran dan rasis ini.
Saya tidak terkejut kalau Anies mulutnya seperti ini. Anies sendiri sudah mengakui bahwa dirinya punya pandangan yang sama dengan FPI. Pandangan rasis dan bisa juga menjurus fasis, dengan FPI jadi “militer”nya, ini menjadi sangat berbahaya karena statusnya sebagai seorang Gubernur. Bisa-bisa dia akan melihat orang berdasarkan pribumi dan non pribumi.
Anies akhirnya menyempurnakan Pilkada Jakarta yang penuh dengan isu SARA dan rasis dengan pidato memecah belah dan juga rasis. Lalu bagaimana nanti Jakarta ke depan?? Mudah-mudahan tidak menjadi Jakarta rasis dan kalau tidak waspada akan menjadi Jakarta Bersyariah.
Semoga banyak orang sadar pada akhirnya. Ini orang rasis dan suka memecah belah. Bagi yang sadar, genderang perang sudah dibunyikan, mari kita lawan pemimpin rasis seperti Anies. Sekali jangan diam dan bungkam atas nama move on. Seperti kata Addie MS, move on dari Ahok-Djarot adalah sebuah keniscayaan.
Mari bergabung kita bungkam Gubernur rasis dan pemecah belah.
Salam Gubernur Rasis.