Saat saya dimasukkan sebuah grup relawan Djarot sebelum resmi menjadi cagub Sumut 2018, saya sempat berdiskusi dengan salah satu member disana melalui japri. Dia singgung jangan bawa-bawa isu Pilkada Jakarta di Sumut. Saya membalas sebisanya saja dan senyum-senyum saat meresponi. Dalam hati, kalau Djarot jadi cagub 100 persen isu SARA di Pilkada Jakarta akan dibawa.
Singkat kata saya keluar dari grup tersebut dan setelah Djarot resmi jadi cagub dengan Sihar Sitorus saya dimasukkan ke 3 sampai 4 grup pendukung Djarot-Sihar. Dan saat semua sudah resmi, dengan segera isu SARA masuk dan agama mulai dipakai untuk kampanye.
Saya sendiri tidak heran karena gaya politik memakai simbol-simbol suku dan agama masih sangat laku di Indonesia. Hanya beberapa saja yang berani mendobrak dan menerobos budaya politik identitas tersebut. Contohnya jelas adalah Jokowi dan Ahok. Selain mereka orang seperti Djarot dan Risma serta Ganjar juga melakukan hal yang sama. Cuma Ganjar sekarang terpaksa cari selamat dengan gaet Gus Yasin anak KH Maimoen.
Di Sumut siapa tidak kenal PKS yang suka main suku dan agama. Mereka sukses pakai isu ini pada Pilkada Sumut 2013 dengan andalan si GANTENG. Sayangnya, Gusti Mboten Sare berlaku dan Gatot akhirnya masuk bui. PKS pasti main isu masjid.
JR Saragih kalau orang ikuti jejak politiknya tidak jauh juga dari isu suku dan agama. Bagi mereka yang melek politik dan ikut perkembangan Pilkada Kabupaten Simalungun, pasti tahu bagaimana piawainya JR memainkan gereja untuk meraih kemenangan.
Karena itu, tidak heran kalau akhirnya di Pilkada Sumut muncullah isu agama yang dengan terang benderang dilakukan. Kalau Edy-Ijeck gunakan kampanye cinta masjid, maka JR gunakan kampanye bahwa mereka diberangkatkan dengan doa oleh ephorus HKI dan Bishop GKPI.
Lalu apa yang dilakukan Djarot?? Djarot tidak memakai gereja dan tidak juga memakai masjid. Djarot malah mengkampanyekan apa yang dilakukannya bersama Ahok di Jakarta, yaitu menjadikan program Kartu Sumut Pintar (KSP) sebagai program unggulan.
Menurut Djarot, hal ini dimaksudkan supaya dana pendidikan langsung sampai kepada yang membutuhkan. Sehingga ada jaminan dana disalurkan dengan tepat dan berguna. KSP sendiri akan diberikan mulai dari tingkat SD sampai tingkat SMA/SMK/ serta juga pesantren.
Pilkada Sumut harus saya tegaskan lagi seperti tulisan saya sebelumnya akan menjadi Pilkada terpanas. Jabar dan Jateng akan lebih adem serta Jatim yang tidak akan ada isu SARA karena tidak adanya koalisi partai SARA Pilkada Jakarta.
Jadi, kalau kita mau daerah kita berubah mulailah dengan memilih pemimpin yang tidak memainkan isu SARA. Mengapa?? Karena sudah sangat jelas, bahwa calon pemimpin yang menggunakan SARA untuk kampanyenya adalah pemimpin yang tidak percaya diri dengan program dan kemampuannya. Dan itu akan sangat berbahaya kalau mereka menjadi pemimpin sebuah daerah.
Anies-Sandi adalah bukti pemimpin yang dihasilkan dari Pilkada SARA. Lihatlah bagaimana kemampuan mereka mengelola Jakarta dan bagaimana akhirnya mereka dikendalikan oleh orang-orang yang ada di belakang mereka. Semua karena mereka dipilih bukan karena kemampuannya.
Sumut kalau mau berubah, pilihlah pemimpin yang sudah terbukti menghasilkan perubahan tanpa SARA. Dan itu adalah Djarot.
Salam Djarot Gubsu 2018-2023.