Awalnya koalisi 3 partai (PAN-Gerindra-PKS) ingin melamar Yenny Wahid yang akan dimajukan sebagai calon gubernur di pilgub Jatim menghadapi calon gubernur lain yang terdiri atas Syaifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa.
Keputusan bijak dilakukan oleh putri Abdurrahman Wahid, Zanubah Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau yang biasa dipanggil Yenny Wahid yang menolak permintaan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk maju dalam Pilgub Jawa Timur 2018. Yenny Wahid menyebutkan, keluarganya tidak mengizinkan dirinya untuk maju di ajang pilgub tersebut.
“Kami keluarga Gus Dur punya tugas sejarah. Terutama agar komunikasi NU tidak pecah. Kami tidak boleh ikut masuk kontes yang berlangsung,” demikian ujar Yenny di Jakarta.
Walaupun demikian, Yenny tetap berterima kasih atas tawaran Prabowo tersebut. Dia mengaku telah memikirkan dengan matang tawaran yang diberikan Prabowo. Namun Yenny lebih memilih pertimbangan dari keluarganya.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prabowo atas tawaran yang telah beliau sampaikan. Sesungguhnya tawaran sudah saya pikirkan,” ujarnya.
Keputusan yang diambil Yenny Wahid memang layak mendapat acungan jempol, pasalnya disaat banyak orang berlomba-lomba untuk memperoleh kedudukan, bahkan menghalalkan segala cara untuk menang, seorang Yenny Wahid mampu menahan dirinya dari godaan tersebut dengan memikirkan kepentingan yang lebih besar, yaitu persatuan warga NU.
Coba bayangkan, seandainya Yenny Wahid menerima tawaran dari Prabowo tersebut. Perpecahan sudah pasti akan terjadi. Kita bukannya tidak tahu ormas keagamaan macam apa yang selama ini mendukung Prabowo, mulai dari HTI, FPI, FUI, Alumni 212, ustad-ustad radikal pengusung khilafah yang selama ini berseberangan dengan kaum Nahdliyin.
Bagi Prabowo sendiri ini tentu sebuah keuntungan yang besar, bisa memecah suara NU yang kaitannya untuk kepentingan pribadinya di pilpres 2019. Hal ini juga diakui oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera Mardani Ali Sera yang mengamini langkah partainya mengusung calon alternatif dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur dilakukan sebagai strategi pemenangan pemilihan presiden 2019.
Artinya memang mereka sudah berniat jahat memanfaatkan Yenny Wahid hanya untuk memecah belah warga NU yang pada gilirannya memuluskan ambisi mereka di pilpres 2019 nanti untuk mengalahkan Jokowi.
Dan kesempatan ini tentu juga tidak akan disia-siakan para ulama-ulama radikal untuk memperkeruh suasana, menyelusup ke dalam untuk mengadu domba antar warga NU atau bahkan kalau bisa, menguasai NU.
Akibatnya apa? Gampang ditebak, NU menjadi lemah, sibuk menyelesaikan konflik internalnya. Sedangkan kaum radikal berpesta pora, sebagian membuat kacau didalam, sebagian lagi beraksi diluar menyebarkan ajaran radikalisme bertopengkan dakwah, syiar dan safari tanpa ada yang mampu memcegahnya.
Taktik kotor seperti itu tentu sudah dibaca oleh para Ulama NU dan Yenny Wahid sendiri tentu menyadari hal tersebut. Untungnya Yenny Wahid bukanlah selevel Anies Baswedan, yang bisa menghalalkan apapun untuk memenuhi ambisinya walaupun itu harus menginjak kepala orang ataupun menjilat ludah sendiri.
Yenny Wahid adalah putri Gusdur, seorang nasionalis sejati, Bapak Pluralisme, Bapak Bangsa yang ketokohannya banyak diteladani masyarakat. Pepatah mengatakan ayah harimau, tentu anaknya pun harimau itu tercermin pada diri Yenny Wahid.
Beliau sadar sebagai anak seorang tokoh besar NU, tentu memiliki tanggung jawab juga untuk menjaga nama baik keluarga dan diatas itu ada tanggung-jawab yang lebih besar lagi yaitu menjaga persatuan dan kesatuan keluarga besar Nahdlatul Ulama yang selama ini menjadi pilar utama yang melindungi NKRI dari perpecahan.
Semoga sikap yang ditunjukkan Yenny Wahid dapat menjadi suri tauladan bagi para tokoh lainnya bahwa kadang kita perlu mengorbankan sedikit ego pribadi kita demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.