POHON PALSU
Pohon palsu di trotoar Jakarta bikin ramai pemberitaan. Beritanya sampai merembet ke mana-mana. Saat dikonfirmasi wartawan Anies Baswedan mengelak dan mengatakan tidak ada koordinasi. Artinya, jalan sendiri tanpa diperintah. Pernyataan ini justru memantik api yang lebih besar. Jika tidak ada koordinasi, artinya anak buah jalan sendiri. Daun apa yang bisa kita petik untuk obat dan buah apa yang bisa kita ambil untuk berbenah? Mari belajar dari netizen zaman now yang semakin kritis dan cerdas.
Autopilot
Apa risiko autopilot? Seorang warganet yang geli karena tergelitik, Andik Wahyunarto, membuat komentar demikian: “Susah….amnesia pak….Kalo salah anak buah….kalo bener diakui programnya….Itu sih ANIES BUKAN PEMIMPIN YANG AMANAH….”
Komentar Andik sejalan dengan Yanto2015 yang menulis: “Gabener sekarang pintar bersandiwara: 1. Anak buah melakukan pekerjaan tanpa pembaritahuan? 2. Mengapa anak buah yang bertindak sendiri tidak dipecat? 3. Apakah warga Jakarta bodoh semua?”
Tuduhan ini bukan hanya untuk Anies, melainkan untuk kita semua. Kita sudah hafal dengan pejabat model begini. Jika ada proyek yang sukses, atasan yang mendapat akses. Sebaliknya, jika proyeknya tidak sukses, anak buah yang jadi abses, sehingga gusi bengkak menahan amarah. Kita jangan sekadar malu dari bangsa Jepang yang setiap kali ada masalah dengan program pemerintah yang gagal, menterinya langsung mundur. Kita perlu belajar bersikap ksatria. Memang tidak selalu setiap kesalahan dimaknai mundur. Saya lebih senang memaknai kata ‘mundur’ di sini dengan istirah, yaitu undur sejenak untuk mengistirahatkan fisik dan pikiran agar kita bisa melakukan introspeksi dan perbaikan diri.
Saya setuju dengan kebiasaan manusia yang paling efektif nomor buncit dari Stephen R. Covey, yaitu Sharpen the Saw: Principles of Balanced Self-Renewal. Kita memang perlu untuk mengasah gergaji kita agar tetap tajam supaya pekerjaan kita mangkus dan sangkil. Sebagai kolumnis di sejumlah media online maupun cetak, jika mata saya sudah berkunang-kunang, artinya saya harus tinggalkan laptop saya dan duduk tenang. Saya buka jendela kamar di lantai atas dan memandang jauh ke luar. Baru setelah merasa fresh, saya kembali menulis. Jika tidak, dipastikan saya sakit dan malah tidak bisa menulis sama sekali. Waktu masih tinggal di Aussie, saya biasakan keluar untuk jalan-jalan—ke toko buku, perpustakaan, atau ini yang paling favorit, ke kebun anggur—agar ide kembali bermunculan dan melompat masuk ke otak saya. Apalagi setelah menyesap wine gratisan wkwkwk.
Setiap pemimpin perlu mengerti prinsip ‘mengasah gergaji’ ini agar otak tidak lemot dan dicopot. Bagi saya, rekreasi itu bukan hura-hura melainkan re-create, yaitu agar otak bisa berkreasi kembali. Tentu saja bukan sekadar kunker ke luar negeri dengan sarana mewah tapi tanpa marwah alias muruah. Bukankah setiap pengeluaran merupakan pajak rakyat yang harus dipertangungjawabkan sampai kita jadi arwah?
Membelah Cermin
Chandra wanho mengkritisi komentar Anies terhadap pohon palsu di trotoar dengan tohokan singkat tapi mengena: “Buruk muka cermin dibelah.wk.wk.wk..ckk.ckk”’
Sekali lagi, kritikan semacam ini seharusnya kita maknai untuk diri kita sendiri. Seberapa banyak di antara kita yang menyalahkan cermin saat diri kita sendiri yang buruk. Saya jadi ingat apa yang dikatakan Ratu Jahat di film Snow White yang legendaris itu: “Mirror, mirror on the wall, who is the fairest of them all? Selama cermin itu masih menjawab, “Tentu saja Anda!” ratu itu puas sekali. Namun, begitu ada yang mengalahkannya, otaknya mulai berpikir untuk mengenyahkan pesaing. Masih mending ibu-ibu yang karena tidak mau kalah sama remaja zaman sekarang ramai-ramai ke Korea untuk operasi plastik. Eh, kok plastik lagi? He, he, he.
Di dalam kasus pemerintahan di mana pun—termasuk DKI—pejabat yang memerintah mau tidak mau, suka tidak suka, dibandingkan dengan pemimpin yang terdahulu. Celetukan Wirawan77 menggambarkan ini: “Sayang punya gubernur gak tau apa apa….gubernur ku dulu jauh lebih OK”
Mereka yang merasakan Jakarta yang lebih baik, tentu saja bernostalgia dengan kepemimpinan era Ahok-Jarot yang fenomenal itu. Bahkan saat saya ada undangan bicara ke Balikpapan, sopir yang menjemput saya di bandara berkata, “Jika Jakarta nggak mau, kami siap menerima Pak Ahok di sini.”
Ketimbang membelah cermin, apalagi membunuh pesaing yang lebih mumpuni, bukankah lebih baik kita benar-benar bercermin. Jika ada salah, apa salahnya kita belajar lagi. Sumpah serapah—terutama terhadap bawahan—sungguh membuat kita tidak amanah. Saya percaya, jika pemimpin mau berbenah dan berbuah, pujian akan datang dari Allah sendiri.
Kita Akhiri Sinetron Kambing Hitam
Wongdeso berkomentar: “Lho ,SiNetron baru , Kambing Hitam yg sudah pinter makan Arang.” Mari kita jadikan komentar Wongdeso ini sebagai introspeksi diri kita masing-masing. Perang tagar dan perang komentar antara—maaf terpaksa memakai kata ini—‘cebong’ dan ‘kampret’ kita sudahi. Tagar #2019GantiPresiden kita maknai sebagai ganti dengan presiden kalau ada yang lebih baik dan #DiaSibukBekerja kita amini dengan kontrol publik yang baik. Beri waktu bagi pemimpin kita untuk bekerja lebih baik lagi. Siapa pun yang terbaik, dia akan terpilih lagi. Jika tidak, sampai jungkir balik pun tetap tidak terpilih. Jadi, tidak perlu saling banti. Memimjam istilah Gus Dur, begitu saja kok repot!
Jadi, ketimbang mencari kambing hitam atas kasus pohon plastik ini, bukankah jauh lebih bijak jika kita menjadikan kambing—entah hitam, putih atau loreng—sebagai gulai saja untuk berbuka bersama? Persaudaraan kita jauh lebih berharga ketimbang supercial tree. Ayo kita tumbuhkembangkan pohon yang super dan bunuhtebangkan pohon yang bikin sial. Setuju?
- Xavier Quentin Pranata, penulis kehidupan di kanvas jiwa.