Dalam politik memang benar idiom bahwa tidak ada yang namanya kawan dan lawan abadi. Kecuali orang yang punya kepentingan yang sama. Apapun partainya, kalau punya kepentingan yang sama, pasti akan bersatu dan bergerak bersama. Idiom ini menurut saya bisa diartikan dalam bentuk kepentingan politik baik atau kepentingan politik yang jahat.
Itulah mengapa, dalam pengalaman saya beberapa bulan terlibat menjadi suatu pengurus partai politik tingkat provinsi, kepentingan politik baik harus selalu menjadi tujuan. Hal ini sepertinya akan sangat sulit dilakukan saat kita masuk ke dalam kepengurusan partai politik. Ada sebuah pernyataan yang masih saya ingat sampai sekarang, bahwa setiap pengurus terikat dalam keputusan yang ditetapkan oleh pusat.
Saya yang adalah pendukung Ahok saat Pilkada Jakarta sebenarnya diminta untuk tidak lagi masif menulis mengenai Ahok. Alasannya partai tidak mendukung Ahok dan akan mengganggu proses perekrutan anggota partai tersebut. Saya yang tidak satu pemikiran dan juga ada sesuatu hal yang tidak sesuai dengan idealisme saya terjun politik akhirnya memutuskan untuk tidak terlibat lagi. Apalagi saat itu memang saya tidak lagi diilibatkan.
Meski hanya sebentar saja terjun dalam politik praktis, saya akhirnya bisa memahami betapa memang dalam berpolitik tersebut sangat sulit mempertahankan nilai-nilai idealisme. Dan untuk itulah saya akhirnya memilih menjadi orang yang realistis nasionalis daripada seorang idealis. Bukan berarti jadi kapitalis juga, tetapi tidak anti dengan kapital selama itu untuk membangun kenasionalan.
Untuk hal ini tentu perlu diskusi mendalam lagi untuk bisa memahaminya. Karena Presiden Jokowi saat ini memang sedang benar-benar butuh kapital untuk membangun infrastruktur. Kekurangan kapital ini akan sangat menghambat pembangunan yang sedang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Dan ternyata strategi ini sekarang sedang dipakai pihak lawan untuk menahan peredaran kapital.
Nah, dalam perkembangan pergerakan politiknya, banyak saat ini partai yang melakukan manuver politik dua kaki. Manuver ini dilakukan dengan cara melakukan sebuah pernyataan dukungan, tetapi dalam pergerakan politik lainnya malah melakukan gerakan mengganggu kinerja pemerintah dan tidak jarang malah mendukung dan mengongkosi para pendemo.
Hal ini salah satunya bisa kita lihat dari apa yang dilakukan Partai Demokrat belakangan ini. Satu sisi tampil di depan sebagai partai yang seolah-olah mendukung, tetapi kalau melihat pergerakan para keroconya malah bertindak berseberangan. Dan hal ini dilakukan dengan sangat gamblang 2 hari lalu.
Saat seorang juru bicara Demokrat menggoreng isu para pendemo mahasiswa yang melanggar peraturan undang-undang demo, dan bahkan menyebut kalau para pendemo ini tidak dibebaskan akan membangunkan solidaritas sesama mahasiswa. Rachland Nashidik, sang jubir Partai Demokrat jelas sedang bermain psikologis massa dalam kritiknya.
Dan pada hari yang sama juga Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan banyak apresiasi kepada pencapaian 3 tahun Presiden Jokowi. Meski tetap melihat ada juga kekurangan. Tetapi Demokrat meminta rakyat memberikan Presiden Jokowi waktu untuk menyelesaikan pemerintahannya sampai akhir.
Permainan politik dua kaki memang terpaksa dilakukan Demokrat karena posisi mereka tidak menguntungkan. Gagal total di Pilkada Jakarta membuat mereka mulai berhati-hati melakukan manuver. Jangan sampai, karena terlalu frontal malah mereka yang kena hantam. Apalagi mereka busa menjadi penentu dalam pilpres 2019.
Pergerakan AHY, jujur saja menjadi sebuah cara bagus untuk memperbaiki citra Demokrat yang hancur di Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta 2019. Datang ke pelantikan Anies dan juga mengunjungi Ahok di Mako Brimob membuat orang memberikan respek lebih.
Sayang manuver positif AHY bisa hancur karena manuver bodoh para kroco Demokrat yang suka buat rusuh. Seperti jubir yang malah sibuk membela para pendemo. Malah jadi menimbulkan pertanyaan mengapa jubir ini sibuk urusan begituan? Apakah ada keterlibatan orang Demokrat?
Demokrat dalam prediksi saya memang akan menjadi kejutan untuk Pilpres ke depan. Karena penentuan 20% masih pakai perolehan suara Pileg 2014. Suara Demokrat pasti menjadi incaran. Kalau mau pakai 3 calon untuk menjegal Presiden Jokowi, maka Demokrat akan jadi poros baru.
Lalu apakah Demokrat masih akan terus melakukan politik dua kaki ini? Sepertinya akan terus dilakukan sampai pada waktunya pengajuan capres dan cawapres. Apakah ada yang akan melirik? Prediksi saya, Demokrat tidak akan abstain dalam Pilpres 2019. Dan kalau Presiden Jokowi mau aman, dia mungkin saja ambil Demokrat berkoalisi seperti saat menjadikan JK Wapresnya meski banyak yang tidak setuju.
Karena Pilpres 2019 hanya akan dengan mudah dimenangkan Presiden Jokowi jika calonnya hanya dua saja.
Salam Dua Kaki.