Setelah tokoh-tokoh 212 menyeberang ke Jokowi (terutama Kiai Maruf Amin), kelompok lawan Jokowi mencoba keras membelokkan narasi menjadi ketimpangan sosial. Ada yang dengan vulgar mengatakan tanpa malu-malu lagi, ada juga yang dengan cara halus dan santun. Tapi intinya orang-orang ini mulai beralih narasi menjadi orang-orang bersemangat Nasionalis. Menjengkelkan bukan?
Kemunafikan selalu busuk. Bisa terasa tapi kadang sulit dikatakan. Dan sejak reformasi 98, “politikus bajing loncat” sepert mereka inilah yang cuma merusak agenda perubahan.
Demo 212 adalah puncak kemunafikan di panggung besar yang bernama Pilkada 2017. Selalu mengatakan tidak ada agenda politik, tapi sampai hari bahkan sampai Pilpres 2019 yang notabene tidak ada hubungan dengan Ahok, kelompok 212 ini masih ada bergentayangan.
Ahoknya sudah dipenjara, mengapa demonya di pelihara kalau bukan soal politik? Itulah kemunafikan yang sangat menjengkelkan. Dan sekarang ini kemunafikan itu dibungkus dengan rapi dengan narasi ketimpangan sosial untuk menggulingkan Jokowi. Sebuah usaha yang harus dilawan orang-orang waras di Indonesia.
Apakah Paham Radikalisme Hanya Soal Ketimpangan Sosial?
Jawaban saya TIDAK dengan huruf besar. Tidak ada orang lapar yang bunuh orang kalau tidak diajari untuk membunuh. Radikalisme adalah persoalan ideologi, dalam konteks ini adalah ideologi agama. Dan demo 212 membuka pintu bagi ideologi radikalis ini untuk mendapatkan panggung.
Artinya, tidak semua yang ikut demo 212 adalah radikal. Itu sudah pasti. Rasa tidak suka, iri, dan mencuri kesempatan untuk berkuasa jelas menjadi motivasi-motivasi penunggang lainnya. Tapi yang kita tolak keras sebagai WNI adalah ikut bercampurnya ideologi radikalisme didalamnya.
Tanpa sebuah paham, ideologi, ataupun ajaran kelaparan sekalipun tidak kan membuat orang jadi pembenci, pembunuh, apalagi pembunuh massal. Jadi menyederhanakan radikalisme karena ketimpangan sosial itu adalah usaha mencuci tangan yang bau anyir bagi pembela 212 yang sekarang berusaha kembali jadi nasionalis.
Ketimpangan sosial selalu ada didunia manapun, terutama dunia ket-2. Jokowi membangun infrastruktur juga demi keadilan sosial. Ahok selalu mengatakan dia adalah pelayan masyarakat untuk mengadministrasi keadilan sosial. Dan mereka berdua membuktikan dengan perbuatan bukan dengan kampanye atau dengan bualan-bualan inspiratif.
Radikalisme itu Racun Mematikan!
Tidak membutuhkan dosis banyak, racun yang mematikan hanya membutuhkan takaran yang tepat untuk membunuh. Jaman Orba adalah jaman kediktatoran dimana kaum agama diperbudak untuk menjadi pion-pion politik.
Dimulai dengan darah yang tercurah di 1965 dengan narasi agama vs komunis, 1998 kembali para penjahat politik menggunakan SARA untuk mencoba mempertahankan dan mencapai kekuasan,
Artinya, ideologi radikalisme sebenarnya malah tidak begitu berkembang di jaman orba sampai lahirnya orba. Jadi sangat tidak betul membandingkan jaman orba dan apa yang terjadi sekarang.
Jaman transisi Gus Dur dan Megawati juga radikalisme tidak berkembang dan terdengar. Semua adalah persoalan politis praktis semata.
Tapi dalam 10 tahun pemerintahan SBY, ideologi radikalisme tersebut sudah berkembang sedemikan rupa dan bertumbug kembang menjadi kanker yang sangat kuat.
Hadirnya Jokowi-Ahok adalah sebuah keharusan sejarah yang merusak agenda mereka mengambil alih NKRI dengan cara halus, yaitu cara konstitusional. Sehingga Pilkada DKI 2017 yang akhirnya mengorbankan Ahok mampu, membuka kedok radikalisme yang ternyata sudah menyusup dari grass root, akademis, PNS, sampai ke orang-orang dilingkar kekuasaan. Ini yang kita perangi!
Rekonsiliasi Bangsa Bukan Sebuah Kompromi
Indonesia gawat radikalisme bukanlah sebuah kekuatiran bersama yang sangat masuk akal. Gerakan -gerakan yang muncul untuk merevitalisasi Pancasila sebagai ideologi, dasar, rumah, semangat, dan cita-cita bersama adalah sebuah konsekuensi logis dari hadirnya ideologi radikalisme sebagai tandingan.
Bagi para oportunis yang sudah menang besar di 212, atau minimal orang-orang yang sudah melepaskan syahwat dan nafsu benci Ahok, atau orang-orang yang sekedar menghalangi Ahok melakukan agenda pembersihan agenda rekonsilasi selalu, bahkan harus.
Sekali lagi mereka tetap bagian dari NKRI, bukan orang-orang radikal itu sendiri. Tapi mereka “hanyalah” orang-orang yang sudah memberi panggung politik kepada orang-orang radikal. Beti- Beda Tipis kata generasi millineal.
Prof Greg Fealy dalam prolog buku “Nasionalisme Kaum Sarungan” yang ditulis Helmy Faisal Sekjen PBNU mengatakan dalam 15 bulan terakhir ada dua hal yang mempertajam diskusi politik mengenai tempat politik Islam :
1) Pemilihan Gubernur DKI yaitu Pilkada DKI 2017.
2) Pelarangan Hizbul Tahrir Indonesia (HTI)
Institute for Economics and Peace, misalnya, merilis data ranking terorisme. Hasilnya, pada penghujung 2015, Indonesia menempati posisi ke-33 dari 162 negara. Indeks terorisme global Indonesia berada pada angka 4,79 dengan skala rentang 10-0.
Pada 2016, tampaknya kita tak kunjung beranjak. Baku tembak di Sarinah dan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta setidaknya menggambarkan bahwa terorisme masih menghantui kehidupan kita. Alasan tersebut mendorong banyak pihak untuk kembali menggelorakan nasionalisme, yang dalam bahasa agama disebut dengan term “jihad”.
Sumber : Nasionalisme Kaum Sarungan oleh Helmy Faisal Zaini, hal. 4;
Pendekar Solo