Inkonsistensi program kembali dipertontonkan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Anies-Sandi. Logika yang terbalik-balik, program yang mengambang belum jelas, berkali-kali dikoreksi, blunder, dan sejumlah “gol” yang dianulir “wasit” semakin membuat publik sadar bahwa Jakarta telah menyia-nyiakan seorang Pahlawan bernama Ahok.
Adapun pemberian gelar Pahlawan untuk Ahok sudah sesuai dengan “Surat Keputusan” yang saya buat dan saya tanda tangani sendiri tadi malam. Bukan apa-apa, kalau melihat track record Ahok memang pantaslah dinobatkan sebagai Pahlawan setidaknya versi saya sendiri. He..He..He Ditangan Ahoklah “Penjajah VOC” di Tanah Abang tak berkutik, “Kolonialisme” di Kalijodo dibubarkan paksa, “Perongrong” APBD dilawan, dan pengorbanan terakhir, demi damainya negeri, Ahok rela dipenjarakan. Bukan karena kesalahannya,namun korban dari fitnah keji dan isu SARA menjual surga. hmm…
Sekarang kita kembali ke persoalan, karena kalau menulis perjuangan Ahok dan bagaimana brutalnya cara Ahok dipenjarakan, hanya akan semakin membuat kita larut dalam kesedihan yang mendalam.
Kali ini pernyataan Bang Sandi yang memaksa saya untuk menunda waktu tidur saya dan menuliskan keresahan ini. Bang Sandi kembali menganulir program yang ia kampanyekan pada Pilkada DKI Jakarta lalu yang akan menggratiskan tiket masuk ke Pantai Ancol. Dan lagi-lagi warga menjadi korban sepoi-sepoinya angin yang dijanjikan Bang Sandi. Alasan batalnya tiket masuk gratis ini yang menarik. Berikut petikan pernyataan Bang Sandi :
“Jadi pendapatan Ancol itu 70 persen justru berasal dari warga yang mampu,” ujarnya. Dengan kata lain, kata dia, jika digratiskan, justru tidak memberi rasa keadilan karena yang mendapat subsidi justru orang-orang mampu.
Sumber : Tempo.Co
Bang Sandi mengatakan bahwa mayoritas yang berkunjung ke Pantai Ancol adalah orang yang mampu, sehingga tidak memenuhi rasa keadilan jika mereka disubsidi. Padahal kalau niatnya adalah keberpihakan, mudah saja, tirulah metodenya Ahok. Khusus bagi pemegang KJP, gratis masuk Ancol. Para pemegang KJP pastilah warga yang kurang mampu. Simpel, nggak ribet, tepat sasaran. Fair bukan? Poinnya, Jika ingin belajar mengadministrasi keadilan sosial segeralah ke Mako Brimob untuk menemui pak Ahok.
Disinilah bedanya Bang Sandi dengan Ahok. Jika Ahok mampu secara komprehensif dan rinci menjelaskan programnya, maka sebaliknya, Bang Sandi baru sebatas mengkaji, itupun kajiannya ngawur dan observasinya pun seringnya salah. Pejalan kaki yang tumpah dari stasiun sebagai penyebab kemacetan Tanah Abang adalah contoh kesalahan fatal “penelitian” karya Bang Sandi.
Bang Sandi seperti tidak mengerti bahkan dengan yang apa dia kemukakan sendiri. Makanya muncul istilah-istilah absur seperti : ojek terbang, pasukan langit, pojok ta’ruf, wisata malam syariah, dan banyak lagilah yang lucu, sulit dicerna dan butuh penerawangan khusus untuk sekedar memahaminya. Ya maklum lah kalau akhirnya dibentak tukang ojek di Tanah Abang. he..he..he
Coba lihat penjelasan Bang Sandi soal kemacetan dibawah ini.
“Kalau yang punya uang mungkin bisa membantu ee.. untuk meringankan ee.. kemacetan di Jakarta itu dengan secara simbolis ee… mengurangi ee… menambah kemacetan itu dengan menambah kendaraan yang ada di jalan Jakarta. Kita kedepan yang masyarakat yang punya uang juga berpartisipasi mengurangi kemacetan di Jakarta. Itu gerakan menurut saya.”
Apa ada yang mudheng? Ha..ha..ha
Kembali ke soal Ancol. Masuk Pantai Ancol itu hanya bayar Rp 25.000. Masih sangat terjangkau untuk liburan warga Jakarta. Berbeda misalnya anda masuk wahana-wahana semacam Dufan atau Gelanggang Samudera, yang bisa mencapai ratusan ribu. Nah, mungkin orang yang ke wahana-wahana itulah yang dimaksud Bang Sandi dengan “orang yang mampu”. Tetapi kalau hanya Pantai Ancol, kebanyakan mah warga biasa…
Kalau kita mau pakai logika Bang Sandi tentunya ini kontradiksi dengan program andalan lainnya yakni Rumah DP 0 rupiah. Disaat Bang Sandi ogah menggratiskan Ancol dengan alasan tidak mau subsidinya salah sasaran, disisi lain Bang Sandi malah ingin memberikan rumah bagi warga yang gajinya minimal 7 juta rupiah. Artinya orang mampulah yang disubsidi DP 0 rupiah. Apa tidak salah? sama sekali tidak sinkron, padahal sudah ada tim sinkronisasi.
Belum lagi tiket Busway yang tadinya Rp 3.500, sekarang mau dinaikkan menjadi Rp 5000. Sudah begitu malah mengatakan harga tiket turun. Apa tidak sedih kita dibuatnya…Sesuai prediksi saya, janji-janji manis Anies-Sandi berakhir dengan kekecewaan yang mendalam. Pengguna Busway akan kecewa karena ongkosnya naik, para buruh dikecewakan karena nilai Upah Minimum Provinsi jauh dibawah harapan, alumni 212 kecewa karena Gubernur Anies tidak menghadiri undangan, dan sebentar lagi nelayan Teluk Jakarta yang akan dikecewakan karena akhirnya reklamasi jalan terus.
Kalau sudah begini, 58 % warga Jakarta lah yang kasihan karena menjadi korban inkonsistensi Anies-Sandi. Di nyinyirin terus karena membela Bang Sandi, tapi disisi lain Bang Sandi terus saja membuat pernyataan-pernyataan yang kontraproduktif.
Terakhir, saya berharap program Rumah DP Nol rupiah ini segera direvisi agar tepat sasaran dan tidak bernasib sama dengan Ancol. Jangan beri subsidi untuk warga yang gajinya diatas 7 juta, tetapi sediakanlah hunian untuk warga yang gajinya UMR. Karena kalau tidak, maka hanya akan menambah daftar panjang koleksi “program Salah Kajian” Gubernur Anies-Sandi Uno.
100 hari pertama Gubernur Anies mejabat, bukannya semakin baik malah semakin terbalik-balik. Kalau sudah begini ya Say Goodbye for Keberpihakan!
Selamat merevisi Rumah DP nol rupiah!