Ada orang bijak pernah mengatakan bahwa kebohongan satu akan terus menerus menghasilkan kebohongan jika tidak mau mengakui kebohongan tersebut. Kekeliruan yang kita lakukan juga hanya akan terus kita tutup-tutupi dengan sebuah kebohongan dan ngelesan-ngelesan yang menggelikan.
Pilihan terbaik saat kita sedang melakukan kesalahan adalah mengakui telah salah dan keliru kemudian meminta maaf. Tidak perlu diperpanjang dengan penjelasan-penjelasan lain yang malah menghasilkan kekeliruan baru dan semakin tidak masuk akal dan menumbulkan kecurigaan ada yang tidak beres. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh Anies Baswedan yang telah keliru menggunakan istilah pribumi.
Ya, Anies yang dalam pidato pertamanya menyatakan kembali istilah pribumi dan non pribumi akhirnya mendapatkan kecaman keras dari berbagai pihak. Anies yang memang tidak pernah akan mau mengaku salah pada akhirnya menjelaskan maksud pribumi dalam pidatonya tersebut.
Anies menyebutkan bahwa dalam tulisannya, yang dimaksudkannya adalah konteks pada masa penjajahan. Dan menurut dia, memang Jakartalah yang paling merasakan penajajhan dan yang pertama melihat Belanda dari dekat. Bukan pelosok-pelosok dan daerah-daerah. Benarkah pernyataan Anies??
Ternyata seperti biasa, Anies kembali keliru dan salah. Kalau dalam debat kita melihat bagaimana data dan pernyataannya sering salah, maka pernyataan bahwa Jakarta (Batavia) adalah yang pertama melihat Belanda dan paling merasakan penjajahan adalah fakta sejarah yang sangat keliru.
-__- maksud lo org daerah ga pernah liat belanda, trus pahlawan di daerah dulu musuh nya sapee,,, pic.twitter.com/vQjMo5GRLY
— rante (@arirante) October 17, 2017
Belanda dalam bentuk kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), datang pertama kali bukanlah di Jakarta (Batavia), melainkan di Banten, yaitu daerah Anyer Panarukan. Lalu, yang paling merasakan penjajahan juga bukanlah Jakarta (Batavia), melainkan daerah-daerah pelosok.
Sejak kedatangan Belanda dengan VOCnya dari maret 1602 – 30 Mei 1619, Jakarta (Batavia) tidak pernah merasakan perang dengan VOC dan negara lain yang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia. Banten, Aceh, Ternate, Tidore, Ambon dan Banda adalah pelosok-pelosok pertama yang melihat Belanda dari dekat dan merasakan penjajahan.
Dan Barulah di Mei 1619, Belanda dengan Armada besar melakukan serangan besar dan merebut Jakarta (Batavia) yang kemudian menjadikannya pusat perdagangan VOC. Dan kalau saat itu dikatakan pertama kali, maka Anies jelas-jelas ngawur dan tidak paham tentang sejarah. 17 tahun pelosok-pelosok sudah melihat Belanda dan mengalami penjajahan dan usaha monopoli.
Anies mengalami apa yang dikatakan orang kebohongan satu akan menghsilkan kebohongan lain atau dalam kasusnya Anies lebih tepat dikatakan kekeliruan lain melahirkan kekeliruan-kekeliruan lainnya. Sudah keliru berpidato memasukkan istilah pribumi dan non pribumi, kini malah keliru menjelaskan soal sejarah. Seolah-olah Jakarta (Batavia) yang paling pertama lihat Belanda dan juga paling merasakan penjajahan.
Lalu apa pesannya dari kekeliruan demi kekeliruan ini??
Tidak lain dan bukan bahwa memang Anies ini adalah orang yang suka bicara tidak dengan dasar dan fakta yang jelas. Bukan hanya dalam debat Pilkada Jakarta, bahkan sebelumnya saat jadi Menteri dengan, katanya, kekeliruan anggaran mencapai 23,3 Triliun. Dan ini juga membuktikan bahwa Anies dipilih memang hanya karena dia seorang muslim dan pemilih diancam menggunakan agama.
Dan efeknya nanti akan semakin terlihat bahwa Anies tidak akan pernah bisa paham apa yang harus dikerjakannya dan tidak akan pernah tahu apakah itu sudah selesai atau tidak. Mengapa?? Karena Anies memang hanya tahunya berbicara saja. Anies tidak cocok menjadi seorang pemimpin suatu birokrasi dan pemerintahan. Anies cocok menjadi seorang moderator, MC, penyair, dan pembaca puisi.
Kalau memaksa diri menjadi seorang pemimpin pemerintahan, maka yang terjadi yah seperti sekarang ini. Bicara tidak jelas dasar dan faktanya. Yang penting indah dan terangkai bagus. Padahal sebagai seorang pemimpin pemerintahan, hal itu tidak boleh dilakukan. Yang ada malah jadi seperti acara pementasan daripada rapat SKPD.
Parahnya, orang yang seperti ini, yang mampu membius orang dengan kata-kata bukan dengan kerja nyata malah ingin menjadi seorang Presiden. Bisa bayangkan kalau dia akhirnya menjadi Presiden?? Semua dikatakan dan disampaikan tetapi semua pada akhirnya hanyalah sebuah retorika. Masa-masa kegelapan dan pencitraan akan kembali lagi kalau Anies jadi seorang pemimpin.
Jadi, kalau kita yang sudah berhasil memenangkan Jokowi-Ahok di Pilkada 2012 dan Jokowi di Pilkada 2014, tidak kembali bergerak, maka kita akan dengan mudahnya kembali ke masa kegelapan tersebut. Jangna terkejut kalau nanti Presiden Jokowi kalah telak dari Anies seperti yang dialami Ahok.
Anies dan relawannya sudah bergerak. Dana besar sudah diturunkan dan mungkin juga dapat dari APBD Jakarta. Respon kita tidak lain haruslah melakukan perlawanan dan juga kembali memperjuangkan supaya Indonesia tetap dipimpin Presiden Jokowi. Kalau 2012 dan 2014 bisa, maka sekarang juga bisa.
Isu SARA akan jadi andalan mereka. Kita lawan dengan isu NKRI dan Pancasila. Sekali lagi, mari bergerak di setiap RT dan RW. Modalnya tidak besar, cukup teh/kopi dan gorengan. Mulai menyebarkan nilai-nilai luhur bangsa kita yang dikaburkan oleh kaum radikal. Dalam hal ini peran emak-emak sangat vital. Masuki pengajian-pengajian mereka dan tantang pemahaman ideologi tertutup mereka.
Kalau Anies bilang Jakarta paling merasakan penjajahan dan melihat Belanda paling dekat. Maka itu juga adalah sebuah pertanda bagi kita, bahwa penjajahan ideologi dan ancaman akan bubarnya bangsa ini paling dekat terlihat oleh orang Jakarta dan mereka sudah merasakan efek mengerikannya. Karena itu, kita harus cegah, jangan sampai Indonesia jatuh ke tangan pemimpin seperti Anies yang rasis dan punya pandangan sama dengan FPI.
Salam JAS MERAH!