Indonesia Baru adalah sebuah visi dan mimpi WNI yang ditandai dengan lahirnya Jakarta Baru melalui Jokowi – Ahok di 2012. Naiknya Jokowi menjadi RI1 di 2014 semakin memperkuat optimisme Indonesia Baru. Jokowi di Pusat, dan Ahok di DKI bagaikan Soekarno – Hatta jaman now yang membikin hati Relawan Indonesia Baru bungah. Harapan Baru.
Tapi apa lacur, apa yang ditabur itulah yang akan dituai. Relawan Indonesia Baru sejati sejak awal sudah ketir-ketir dengan dipasangnya politisi sektarian gaek Jusuf Kalla sebagai pasangan Jokowi. Secara politis, JK pasti membawa gerbong yang tidak sepenuhnya kompatibel dengan platform Indonesia Baru yang Bersih, Transparan dan Profesional.
Kegaduhan, manuver, sampai lobby terus terjadi dalam 3 tahun untuk menggoyang pemerintahan Jokowi karena lubang politis yang menganga tidak bisa dihindari. Akhirnya, reshuffle kabinet yang melibas Sudirman Said, dan Anies Baswedan menjadi puncak jalan politik bersama Jokowi-JK. Bisa dikatakan, secara politik mereka sudah bercerai meskipun satu atap. Semoga PDI-P belajar dari kasus ini.
Pemilihan Gubernur DKI 2017 menjadi momentum fight back dari kelompok JK, dan hal itu sah saja dalam demokrasi, selama dalam koridor hukum, dan konstitusi. Hanya harapan terhadap Anies saja yang sudah melambung kadung sangat tinggi membikin kekecewaan yang berkepanjangan. Jauh panggang dari api.
Pilkada SARA DKI 2017 semakin terasa menyakitkan ketika pidato perdana sang Gubernur yang terang-terangan mencoba membangkitkan sel-sel tidur virus Pribumi vs Non Pribumi. Dan belum kering luka yang diakibatkan, angka-angka APBD 2018 yang ajaib bikin kita semakin kehilangan harapan. Belum juga itu diselesaikan, Ahok yang sudah dipenjara pun disudutkan, bahkan sampai keranah dijelekkan, dan difinah. Orang Jawa bilang, “Jan ora elok tenan”
Begitu rendahnya suasana kebatinan dan moral di DKI sekarang ini, sehingga ketika mendengar 60 setan lokal hendak difilmkan untuk mengikuti sukses film Pengabdi Setan, tidak habis pikir mengapa perlu lagi film horor kalau di DKI sedang terjadi reality show yang lebih horor dan menakutkan. Lagian ngapain setan pakai difilmkan?
Anyway, yang lebih menarik dicermati adalah kemenangan pemilih subyektif dibanding pemilih obyektif sehingga melahirkan semua horor ini harus diakui. Namanya subyektif, maka tidak perlu dinalar, dan tidak perlu pembuktian apapun. Jadi memilih karena suka-suka saja. Suka agamanya, suka wajahnya, suka kata-katanya, suka celananya, atau mungkin suka baunya, ya begitulah realitanya. Suka-saka saja.
Karena dalam demokrasi hasil pemilu adalah sebuah alat pemetaan sosial maka kita harus menerima realitas 58% penduduk Indonesia masih tidak obyektif. Dengan catatan, Pilkada DKI 2017 dipakai sebagai sample obyektif Indonesia. Jadi, sekitar 150 juta penduduk Indonesia lebih dikuasai perasaan daripada otak. Jeder!
JK, Prabowo, dan SBY adalah tiga poros oposisi yang jelas-jelas tidak cocok dengan kepimpinan Jokowi, apalagi kepimpinan Ahok. Dan ketika ketiganya bersatu di Pilkada DKI 2017, seorang Ahok pun tidak mampu menahan gempuran trio politikus gaek ini. Mereka berhasil menembus otak 28% pemilih, dan menyentuh perasaan mereka untuk memilih yang seagama. Sakitnya tuh disini.
Darimana angka 28% itu? Dari 70% warga yang puas (obyektif) dengan Ahok tapi yang memilih hanya 42%. Berarti kurang lebih 28% mampu dipengaruhi perasaannya. Data kasar inilah yang relawan Indonesia Baru harus waspadai. Tidak semua milih pakai otak, tapi cuma karena sensi. Mengapa kata dibodohi menjadi sangat relevan. Wis cetho.
Njut pie kata orang Solo. Atau lalu bagaimana? Pertama, jangan takut Gusti Ora Sare, jadi akan ada jalan keluar. Indonesia Baru itu agenda Tuhan, tidak ada satu pun tangan atau kelompok yang bisa menghentikannya. Mereka yang jahat mungkin, tapi rencanaNya tidak akan gagal. Semua agama percaya hal itu. Tuhan Maha Besar!
Yang kedua, para relawan memiliki tugas besar dalam 1-2 tahun kedepan ini untuk mengedukasi WNI, sehingga bisa belajar memilih dengan otak, daripada dengan perasaan saja. Obyektifitas datang dari pendidikan, sekuler maupun agama. Jadi tugas sekolah, lembaga pendidikan, lembaga agama, ormas, LSM, sampai komunitas-komunitas untuk mencerahkan Indonesia. Tunjukkan saja bahwa air mancur dan kolam ikan 620 juta itu berdasarkan, “Pemahaman Nenek Loe!”
Yang terakhir, hak para lawan politik untuk menggunakan segala cara untuk meraih kemenangan, selama tidak melanggar hukum. Itu yang harus terus digarisbawahi. Maka para relawan harus memiliki strategi yang berbeda untuk terus mengawal Indonesia Baru. Jangan biarkan perasaan kita dimainkan mereka, dengan terus menggila, mereka mencoba terus membuat kubu gila dan non gila. Kita harus memakai pendekatan Thomas Paine yang ikut melahirkan Revolusi Amerika melalui buku tipisnya COMMON SENSE.
Persecution is not an original feature in any religion; but it is always the strongly marked feature of all religions established by law. (Thomas Paine)
‘Tis the business of little minds to shrink; but he whose heart is firm, and whose conscience approves his conduct, will pursue his principles unto death.
(Thomas Paine)
Pendekar Solo