Baru-baru ini, dimulai dari pidato Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, istilah pribumi semakin gencar kita lihat dan dengarkan di berbagai media dan berbagai kesempatan. Menurut saya pribadi, kata “pribumi” dalam pidato Anies tidak berbau SARA, melainkan sesuai konteksnya. Meskipun bagi banyak Kalangan kata “pribumi” sangat berbau SARA dan tidak etis dalam dunia politik. Perbedaan pendapat itu sah sah saja.
Tetapi ketika kata “pribumi” dijadikan istilah untuk menunjuk pada golongan tertentu saja dari keseluruhan warga negara Indonesia, akan sangat berbahaya dan sangat sarat dengan persoalan SARA. Apalagi menyebut diri atau kelompok sendiri sebagai “Aku Pribumi” sementara yang lain non-pribumi.
Padahal kalau kita kembali merujuk pada Sumpah Pemuda yang akan kita rayakan pada 28 Oktober 2017 nanti, tidak ada kata “pribumi” atau ungkapan istilah “Aku Pribumi”. Di sana satu kata “pribumi” pun tidak disebut, makna tersirat pun tidak ada.
Anda masih ingat isi dari Sumpah Pemuda? Kalau tidak ingat, saya sertakan di bawah ini:
-
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
-
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
-
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Sumpah Pemuda mengandung makna yang sangat penting direnungkan manusia Indonesia zaman now terutama para generasi muda, generasi milenial. Sebab kelihatannya manusia Indonesia sudah mulai kehilangan arah. Kehilangan arah ketika melihat saudara sebangsa berdasarkan rasa se-agama, se-etnis, se-budaya, dan se-warna kulit bukan lagi rasa se-bangsa, se-negara, se-tumpah darah Indonesia sebagaimana digaungkan para pemuda Indonesia, pejuang kemerdekaan.
Kami putra dan putri Indonesia
Para pemuda yang menggaungkan Sumpah Pemuda terdiri dari organisasi dan kelompok-kelompok. Ada orang Sumatera, Jawa, Betawi, Batak dan bahkan Tionghoa. Artinya, para pemuda yang menyatakan diri putra dan putri Indonesia adalah keseluruhan mereka yang menginginkan negara dan bangsa Indonesia merdeka. Mereka mengikrarkan janji persatuan dalam keberbedaan.
Mereka tidak sedang memikirkan “aku pribumi”. Justru ketika mereka mengaku diri sebagai “aku pribumi” adalah penghinaan paling menyakitkan. Sebab istilah ‘pribumi’ pada waktu itu hanya untuk menunjukkan orang-orang jajahan. Jadi kalau ada manusia zaman now, menyatakan diri sebagai ‘aku pribumi’, maka mereka itu yang menyatakan dirinya ‘yang terjajah’.
Putra dan putri adalah mereka yang dilahirkan oleh ibu. Maka putra dan putri Indonesia adalah mereka yang dilahirkan oleh Indonesia, dilahirkan oleh satu rahim, yaitu ibu pertiwi Indonesia. Entah etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Manado, dll., entah agamanya Islam, Katolik, Kristen, Budha, Hindu dan Konghucu, entah asalnya dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Bali, dll., adalah putra dan putri Indonesia. Putra dan putri Indonesia itu juga bermakna mereka yang dengan sadar, mau, bangga dan berkomitmen menjadi warga negara Indonesia.
Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia
Menurut saya, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia itu memiliki makna yang sangat dalam. Mengaku bermakna tidak sekedar mengucapkan kata-kata, seperti pejabat sekarang yang bersumpah tetapi kemudian melanggar sumpahnya. Mengaku mengandaikan adanya keharusan, kewajiban dan tanggung jawab.
Maka mereka yang mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, harus siap, wajib, dan bertanggung jawab terhadap Indonesia. Tidak boleh tinggal diam jika Indonesia hendak dirusak, disakiti, dan dihancurkan, baik dari luar maupun dalam Indonesia. Indonesia yang dimaksud bukan hanya keislamannya, kekatolikannya, dll., bukan pula hanya kejawaannya, kebatakannya, dll. melainkan Indonesia secara keseluruhan.
Itulah makanya, ketika HTI mau mengubah Pancasila, harus dibubarkan. Ketika ISIS mengancam dengan teror-teror bom bunuh diri, harus ditumpas. Ketika PKI bangkit, harus dihanguskan. Ketika ada kelompok-kelompok tertentu yang mencoba memecah belah dengan mengotak-kotakkan putra dan putri Indonesia, harus diluruskan. Termasuk mereka yang mengaku diri ‘aku pribumi’ harus disadarkan, bahwa kita tidak lagi dijajah Belanda, kita sudah merdeka.
Mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia
Mungkin sekarang generasi milenial akan sangat mudah membantah pemahaman soal kebangsaan yang dipahami secara sempit, modal Google, yaitu kesamaan bahasa, agama dan budaya, serta sejarah. Sehingga mereka yang memahaminya seperti itu lalu mau mendirikan khilafah, membersihkan budaya dari keturunan asing, khususnya Tionghoa kecuali Arab, dan berbangga dengan istilah ‘aku pribumi’.
Anda, yang memahami makna bangsa hanya sekedar kesamaan, itu keliru. Pemikiran Anda sempit. Memang bangsa adalah kelompok manusia yang memiliki kesamaan, tetapi bukan kesamaan seperti yang kamu ingini. Ketika para pemuda bersumpah untuk berbangsa Indonesia yang satu, kenangan dan pemikiran mereka mengarah pada kesamaan batin dan sejarah, serta tujuan dan cita-cita yang sama. Mereka tidak hanya memikirkan bahwa aku Jawa, aku Islam, atau aku yang lain, melainkan aku dan kamu Indonesia.
Mereka tidak bodoh. Mereka bukan tidak menyadari perbedaan. Mereka pun bukan tak mengantisipasi masa depan. Melainkan mereka berpikiran jenius, maju dan antisipatif. Kegeniusan mereka terletak pada kesadaran akan asal dari berbagai agama dan kepercayaan, tanah kelahiran, budaya, dan bahasa. Mereka tidak mau terkungkung oleh pemikiran sempit. Mereka pun tak mau hanya memanfaatkan satu golongan untuk mencapai tujuan.
Mereka sadar bahwa zaman akan memaksa manusia untuk berbaur dan bergaul antar agama, etnis, dan lain sebagainya. Mereka sadar bahwa akan tiba waktunya suatu saat Indonesia ini akan menyadari perbedaan itu sebagai suatu yang menyakitkan sekaligus membahagiakan. Mereka sadar bahwa setelah merdeka, perjuangan bangsa tidak akan lebih mudah dan ringan, melainkan semakin berat, karena harus melawan bangsa sendiri. Maka mereka mengaku bersatu, sebagai antisipasi dan juga legitimasi bahwa mereka juga dulu bersatu.
Dan itulah yang terjadi sekarang. Musuh Indonesia bukan lagi penjajah dari luar, melainkan dari saudara sebangsa dan setanah air sendiri. Kenapa? Karena tidak ada rasa sebangsa dan setanah air, yaitu bangsa Indonesia. Kehilangan rasa sebangsa itu berarti kehilangan kebatinan sejarah yang membangun bangsa ini.
Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
Tentang bahasa ini mau mengatakan kepada kita dua hal. Pertama, adanya perbedaan bahasa dari masing-masing daerah maupun etnis. Para pemuda sadar bahwa setiap daerah memiliki bahasanya sendiri yang sangat unik. Bahasa itu bukan menjadi penghalang persatuan, melainkan semakin memberi keunikan tersendiri terhadap bangsa Indonesia.
Kedua, mengakui keberadaan setiap bahasa yang berbeda itu. Para pemuda bukan hanya sadar akan perbedaan bahasa setiap daerah, melainkan juga mengakui keberadaannya. Pengakuan ini tampak pada pilihan kata persatuan, bukan menyatukan.
Ketiga, bahasa pemersatu adalah bahasa Indonesia. Saya sendiri berasal dari daerah Samosir, Sumatera Utara, yang menggunakan bahasa Batak Toba. Beda lagi dengan pembaca yang mungkin dari Aceh, Jawa, Kalimantan, Papua, dll. Anda tidak mungkin memahami tulisan ini bila saya menggunakan bahasa Batak Toba. Tetapi karena saya menggunakan Bahasa Indonesia, Anda pasti tahu arti dari setiap kata yang saya tuliskan. Yah meskipun belum tentu memahami isinya.
Padahal mungkin Anda bukan dari daerah saya, tetapi Anda memahami saya bukan. Di sinilah letak kegeniusan para pemuda bahwa harus ada bahasa yang menyatukan manusia-manusia Indonesia yang berbeda agar antara satu dengan yang lain dapat berkomunikasi dengan baik untuk mewujudkan cita-cita bersama. Kita dipersatukan oleh bahasa Indonesia. Luar biasa.
Kesimpulan
Sumpah Pemuda adalah bukti perbedaan setiap warga negara. Sumpah Pemuda adalah keniscayaan yang tak mungkin kita pungkiri. Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah kesatuan bangsa Indonesia dalam perbedaan. Sumpah Pemuda adalah legasi generasi para pejuang yang seharusnya kita junjung tinggi.
Bagaimana dengan generasi zaman now? Adanya istilah ‘aku pribumi’, khilafah, intoleransi, dan korupsi adalah bukti memudarnya semangat Sumpah Pemuda dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Entah karena politik, entah karena agenda kelompok tertentu, entah karena irisan teknologi, tetaplah disebut memudar.
Oh iyah… Mahasiswa kemarin yang demo Jokowi-JK itu adalah manusia-manusia buta, sebab menuntut tanpa bukti. Bagaimana mungkin mahasiswa demo pemerintah yang sudah susah payah membangun perbatasan, daerah tertinggal, dan infrastruktur, menjaga perkembangan ekonomi, dan berjuang mempertahankan keutuhan NKRI dari rong-rongan HTI. Lah kog didemo. Matamu kamu letakkan di mana?
Sumpah Pemuda itu bukan sumpah murahan. Sumpah itu disertai tumpahnya darah dalam perjuangan kemerdekaan. Sumpah itu sumpah sejati pemuda Indonesia. Sumpah itu tidak seperti pedemo yang teriak-teriak di jalanan dan di podium kampanye. Sumpah pemuda itu tidak disokong nasi bungkus, melainkan disokong keinginan untuk masa depan Indonesia yang jaya.