Kepada Pemimpin Jakarta,
Meski sudah agak terlambat, ijinkan saya sekali lagi mengucapkan selamat buat anda berdua yang telah terpilih menjadi pemimpin baru Jakarta. Harapan dan doa saya semoga anda tetap amanah dalam menunaikan janji-janji yang telah tercatat di dalam hati sanubari warga Ibukota.
Sebenarnya saya tidak terlalu suka mengungkit peristiwa-peristiwa yang telah lalu. Namun suka atau tidak suka, momen Pilkada DKI Jakarta sangat sulit bahkan sepertinya takkan mungkin bisa sirna dari ingatan bersama. Ia telah menjadi satu bagian dari sejarah proses berdemokrasi kita.
Hingar bingar kampanye saat Pilkada sebenarnya hal biasa, namun yang terjadi di Jakarta sungguh bukan hal biasa-biasa. Rakyat kita (tak hanya di Jakarta) nyaris terbelah. Pemantiknya tentu saja penggunaan isu-isu SARA untuk memobilisasi massa. Meski sebenarnya itu jelas-jelas haram digunakan, khusus di Pilkada DKI Jakarta sepertinya sudah dihalalkan. Jangankan melarang atau tegas mengambil tindakan, pihak penyelenggara pun terkesan hanya mendiamkan.
Pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta ibarat langkah mundur bagi kemajuan demokrasi kita. Hanya satu harapan, semoga itu menjadi praktik yang terakhir kalinya dan tak terulang di daerah-daerah lainnya. Kita letakkan lagi hakikat Pilkada sebagai ajang pesta demokrasi bagi warga, bukan pesta pora para pemburu kuasa yang menghalalkan segala cara.
Kepada Pemimpin Jakarta,
Sesudah dilantik dan mengucap sumpah, anda berdua telah menjadi pemimpin DKI Jakarta yang sah. Tiba waktunya sesegera mungkin menunaikan janji-janji kepada warga yaitu mewujudkan Jakarta yang maju kotanya, bahagia warganya. Ingatlah bahwa janji itu ditujukan kepada 100 % (bukan 57,96 %) warga yang sudah memilih atau tidak memilih anda.
Anda harus tegak berdiri menjadi pemimpin untuk semua. Jika sebelumnya warga sempat terbelah karena pilihan politik yang berbeda, menjadi tugas anda untuk sesegera mungkin mempersatukannya. Mustahil warga bisa merasa bahagia jika tidak mampu merasakan kehadiran pemimpin dalam setiap persoalan hidupnya.
Saya senang mendengar anda pernah berjanji akan melanjutkan sekaligus meningkatkan keberhasilan program-program petahana yang terbukti membawa Jakarta ke arah yang lebih baik. Namun sekali lagi, janji itu akan diuji lewat bukti-bukti. Waktu akan membuktikan apakah janji itu benar-benar berasal dari dalam hati atau tidak.
Berbesar hatilah untuk mengakui dan memuji keberhasilan, toh itu berarti tugas anda tinggal melanjutkan. Jangan pula terbebani harus mengarang istilah-istilah baru, hanya karena takut dianggap meniru. Tak mesti coba-coba program baru untuk memajukan Jakarta, kalau bisa tinggal melanjutkan program yang sudah ada. Sungguh tak bijak mengacaukan tatanan yang sudah baik, karena taruhannya bisa membuat Jakarta kembali menjadi kota yang semrawut, kumuh, kotor dan jijik.
Kepada Pemimpin Jakarta,
Saya juga tertarik dengan istilah “keberpihakan” yang sering anda ucapkan. Saya kira, ini perlu dipertajam dan diluruskan. Ihwal keberpihakan menurut saya harus jelas standar dan acuannya agar tak berubah-ubah saat dijalankan. Sebagai negara hukum (rechtstaat), jelas bahwa sebagai acuannya adalah hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu adagium penegakan hukum mengatakan bahwa hukum harus ditegakkan walau langit runtuh (Fiat justitia ruat caelum). Artinya, hukum harus ditegakkan kepada siapapun dan dalam kondisi apapun. Tidak boleh ada pengecualian agar tercipta keadilan sebagaimana dicita-citakan.
Selain menciptakan keadilan, hukum juga berfungsi mendidik warga agar terbiasa hidup dalam ketertiban. Persoalan dan kekacauan terjadi karena seringkali pelanggaran-pelanggaran didiamkan atau bahkan dilindungi oleh mereka-mereka yang ingin mengambil keuntungan. Ketika ada yang ingin menertibkan, digunakanlah strategi dan istilah perlawanan “para korban”. Harus disadari bahwa keberpihakan terhadap mereka yang melanggar aturan jelas-jelas sedang mendiskriminasi mereka yang setia dan taat pada aturan.
Saya cenderung lebih sepakat dengan istilah mantan pesaing anda di Pilkada Jakarta, yang kini sedang mendekam di rumah tahanan. Ia sering mengatakan, pemimpin harus lebih setia dan taat kepada konstitusi daripada konstituen. Menurut saya ini masuk akal karena konstitusi kita dilahirkan lewat pergulatan sejarah yang panjang dan telah disepakati sebagai acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara konstituen selalu hadir dalam ragam bentuk kepentingan yang berlainan sehingga tak mungkin menyenangkan semuanya di saat yang bersamaan.
Akhirnya, selamat bekerja buat duet pemimpin baru Jakarta. Selamat melanjutkan Jakarta Baru yang maju kotanya dan bahagia warganya secara berkeadilan dan sesuai aturan. Salam
#100HariKepemimpinanAnies-Sandi