Panasnya suhu perpolitikan nasional menyisakan residu sosial-politik seusai KPU pusat menetapkan hasil akhir perolehan suara masing-masing peserta berdasarkan Real Count data KPU. Sebagaimana biasanya, muncul pelbagai pernyataan tendensius disertai sejumlah tudingan terkait soal ini dan soal itu dari pihak-pihak yang merasa tidak puas. Respons mereka masih sebatas wajar jikalau para pihak tersebut mampu mengungkapkannya secara proporsional, tidak sekadar asal tuding, dan disertai dukungan argumentasi yang kuat berbasiskan pada fakta dan data yang sebenar-benarnya.
Jangan biasakan membanjiri ruang-ruang publik kita dengan semburan pelbagai fitnah, dusta, berita-berita bohong dan/atau informasi separuh benar (hoax)! Sayangilah masyarakat kita yang sudah sangat kelelahan mencerna pelbagai informasi di tengah perjuangan mereka menafkahi keluarganya. Apalagi masih banyak anggota masyarakat kita yang belum mampu memilih, memilah-milah, dan mencerna informasi secara benar.
Agenda persatuan
Sayangilah juga Republik tercinta ini agar jangan sampai terpecah-belah tatkala masing-masing pihak merasa saling curiga dan tidak mudah saling percaya. Namun, seyogianya kita pun mampu bertindak bijaksana dengan tidak menafikkan sama sekali bahwa pelbagai anasir golongan tertentu masih giat bekerja cukup serius dan mereka begitu sangat konsisten berusaha menerapkan agenda politik dan/atau menyusupkan kepentingan gelap mereka dengan mengurbankan substansi kesatuan dan persatuan NKRI. Kenalilah dan tandailah ciri-ciri pihak-pihak anasir gelap tersebut.
Janganlah begitu murahnya memberi mereka panggung publik untuk menyuarakan niat busuk mereka tebarkan rupa-rupa kebencian, anti kemajemukan, dan merongrong upaya Pemerintah mewujudkan tujuan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dalam bingkai NKRI!
Beruntunglah bahwa mayoritas masyarakat bangsa kita masih cukup solid dan mampu bersatu dengan tekad saling melengkapi. Masing-masing pihak dan/atau secara bersama-sama berusaha menangkal dan menanggulangi upaya-upaya dari pihak-pihak/anasir golongan tertentu (semisal eks-HTI/Isis, beserta ormas-ormas lain yang sejenisnya) menerapkan agenda gelap mereka untuk mensuriahkan Indonesia. Kerja sama masyarakat beserta dukungan seluruh jajaran pertahanan keamanan, badan intelijen, dan institusi penegakan hukum sejatinya telah mampu menjaga kedaulatan dan muruah Ibu Pertiwi.
Saya memaknai positif pertemuan Presiden Joko Widodo dan mantan calon presiden Prabowo Soebianto di dalam sebuah rangkaian gerbong MRT baru-baru ini. Pertemuan tersebut tidak dapat lepas dari konteks politik kekinian seusai putusan gugatan hukum di MK dan kontroversi upaya hukum berikutnya ke MA. Semoga pertemuan kedua tokoh bangsa tersebut segera menyejukkan suasana perpolitikan nasional. Dengan dasar suasana yang lebih kondusif, maka menyusul kemudian kita masing-masing dapat berfokus kembali bekerja secara serius membangun dan mensejahterakan negeri ini.
Gelar adat Suku Dayak
Tidak kalah menariknya momen pemberian gelar adat suku Dayak kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Poernama (BTP alias Ahok) baru-baru ini. Pertama kali saya membaca informasi tentang pemberian gelar adat tersebut kepada BTP melalui beberapa postingan di grup WhatsApp Indovoices. Saya memang tertinggal banyak postingan grup WA kami (nyaris 2.000 buah!). Penyebabnya tidak lain adalah kerusakan serius pada perangkat ponsel saya selama sepekan terakhir ini. Ponsel tersebut merupakan eks peninggalan semasa saya aktif bekerja sebagai pengemudi ojek online. Kini dengan berat hati, saya terpaksa harus mengistirahatkan satu-satunya ponsel androids tersebut entahlah mungkin untuk selama-lamanya (emoticon wajah melas).
Jangan tanyakan adakah kendala atau bagaimanakah kerepotannya bagi seseorang, yang sepanjang beberapa tahun terakhir ini telah terbiasa beraktivitas dan bekerja dengan dukungan sebuah ponsel cerdas? Namun, percayalah bahwa bagi siapa pun yang telah terlatih menyederhanakan gaya hidupnya serta tidak membiarkan diri bergantung 100 persen pada peralatan apa pun, senantiasa akan menemukan langkah-langkah praktis untuk mengatasinya. Sehingga, entah siapa pun pengguna ponsel cerdas merk apa pun seyogianya mampu menyikapi segala sesuatu secara terukur agar dirinya mampu bertindak bijak melebihi “kecerdasan”ponsel itu sendiri!
Kembali ke soal pemberian gelar adat kepada BTP, saya pun menyambut positif momen “sisipan” tersebut dapat nyempil di tengah-tengah keriuhan pelbagai isu nasional lainnya. Saya memang tertinggal atau bahkan kehilangan beberapa momen penting lainnya sebagai dampak kerusakan ponsel pribadi. Namun, saya pun menandai secara khusus kepentingan pemberian gelar adat satu suku tersebut bukan hanya sebatas bagi seorang BTP, yang kebetulan beretnis suku berbeda. Sambutan masyarakat etnis suku Dayak kepada seorang tokoh nasional, yang pernah “dikurbankan” tatkala beliau dipaksakan menyandang status terpidana dan kemudian masih menanggung pelekatan label stigmatis oleh pihak golongan intoleran radikal, tentu saja itu sesuatu banget!
Pernyataan ini mencuat dengan mengingat bahwa wajah Ibukota Jakarta yang sebelumnya dalam trend berubah menuju perbaikan dan kemajuan, sekarang justru berbalik 180 derajat ke arah semakin porak-poranda setelah kendali pemerintahan daerah dikuasai oleh seorang ahli tata kata. Ya, predikat Gubernur DKI Jakarta pasca dan seusai mantan trio gubernur unggulan Joko Widodo-BTP-Djarot, tidak lebih sekadar menguasai kendali pemerintahan tetapi tanpa yang bersangkutan menunjukkan keseriusan, ketulusan hati, dan kemampuan manajerial memimpin jalannya pemerintahan secara bertanggung jawab!
Pemberian tanda pada kata-kata bercetak tebal tersebut bermaksud menegaskan perbedaan makna di antara menguasai dan memimpin. Bagi saya pribadi, kepemimpinan pada level manapun sejatinya senantiasa berorientasi ke arah kemajuan dan kesejahteraan. Sebaliknya, kekuasaan lebih sering berorientasi ke arah eksploitasi apa pun dengan menyalahgunakan kewenangan pemerintahan secara sesuka-suka diri sendiri dan atau menjalankannya demi kepentingan golongan sendiri.
Kejayaan Indonesia Raya
Terus terang saja, hingga sekarang Tuan Anies Baswedan dan jebloknya kinerja pemerintahannya semakin merepresentasikan profil yang bersangkutan tidak lebih sekadar seorang yang sedang menguasai pemerintahan. Ya, dia seorang penguasa alih-alih sedang memimpin jalannya roda pemerintahan secara patut diteladani!
Pada sisi lain, meskipun terbilang cukup prematur penarikan kesimpulan apa pun terkait pemberian gelar adat kepada BTP tetapi sudah cukup terasa urgensi kepentingannya. Saya pribadi menandainya secara khusus momen bersejarah tersebut bagi seorang BTP, sembari terbayang-bayang betapa wujud ibukota sekarang kian porak poranda setelah di tangan gubernur wanprestasi sekelas seorang pemagang. Kemudian, bahwa ini masih sesuai tahap-tahapan agenda pemindahan ibukota Republik Indonesia sebagaimana telah dipastikan ke luar Jawa (kemungkinan besar ke Kalimantan). Sehingga, kehadiran seorang BTP di bumi Kalimantan semakin menunjukkan relevansi dan makna keistimewaan dirinya seiring sambutan masyarakat suku Dayak. Besar harapan bahwa beberapa tanda-tanda ini kelak semakin terhubung dengan proyeksi masa depan kejayaan Indonesia Raya.
Akhir kata, jelang presiden petahana menyelesaikan periode pertama pemerintahannya, hendaklah setiap pihak sepakat mengarus-utamakan makna persatuan dan kesatuan bangsa hingga senyata-nyatanya dengan menyisihkan pelbagai kepentingan pribadi dan kepentingan golongan sendiri.
Berikanlah keleluasan sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo untuk memilih bakal calon menteri-menteri kabinet berikutnya sesuai hak prerogatifnya. Abaikan dan sisihkanlah silang pendapat tidak produktif terkait isu pemulangan seseorang, yang patut diduga sengaja raib ke luar negeri demi menghindari sejumlah kasus hukum yang pernah menjerat oknum bersangkutan. Isu tersebut sama sekali tidak penting, dan bahkan itu tidak lebih merupakan konsekuensi logis dari perbuatan dirinya sendiri, yang terindikasi senantiasa melecehkan wibawa hukum di negara manapun. Maka, seyogianya yang bersangkutan tidak berhak memaksa Pemerintah Indonesia untuk campur tangan mengurus kepentingan dirinya!
Bukankah, sebelum dan sesudahnya, serta bahkan hingga sekarang, rekam jejak dari yang bersangkutan tidak lepas dari aksi-aksi provokasi dengan menyemburkan pelbagai narasi terindikasi berpotensi pecah-belah, selain begitu sering menistakan wibawa Negara?
Oleh Heru DME