Pada tulisan sebelumnya, saya ada membahas soal lawan Jokowi yang tidak jelas keberadaannya, tapi kalau kita melihat peta politik, memang ada dua sosok yang kemungkinan akan menjadi lawan Jokowi, yaitu Anies dan Prabowo. Namun sebaliknya jika melihat UU Pemilu yang baru, maka ada kemungkinan Prabowo tidak nyapres 2019 nanti kecuali dia berani bayar harga yang cukup mahal tentunya. Lengkapnya bisa baca di sini : Jokowi dan Lawannya yang Tidak Jelas Siapa.
Namun demikian, tetap ada hal yang mesti diwaspadai oleh Jokowi dan para pendukungnya. Mengingat kampanye yang seharusnya belum waktunya sudah mulai terlihat melalui baliho-baliho berisi tulisan “Prabowo Presidenku” dengan slogan-slogan layaknya penjajah. Nampaknya memang ada yang ngebet bangat ingin berkuasa namun takut gagal lagi hingga harus mencuri start kampanye. “Moso gagal mene” mungkin begitu pikirnya.
Atau mungkin juga sengaja meninggikan satu sosok yang lama tapi ternyata ingin memperkenalkan sosok lainnya yang lebih Fresh? Taukan siapa yang saya maksud? hmm… menarik..
Namun, siapapun nanti yang diusung, yang lebih mengkhawatirkan justru pada slogannya bukan pada sosok yang ada di baliho yang beredar, silakan perhatikan baliho di bawah ini :
Sejujurnya tidak ada yang salah jika seandainya Prabowo atau sosok satunya nyapres lagi di 2019, itu hak mereka tentunya. Namun demikian, pertanyaannya kenapa harus pakai rebut dan kenapa harus dibandingkan dengan Jakarta?
Padahal kalau memang mampu, sanggup dan berprestasi ya tinggal calonkan diri seperti biasa dan bersaing secara sehat dan sportif serta berkompetisi sesuai aturan (bukan berebutan tanpa aturan). Kalau memang bagus dan punya track record yang baik ya pasti akan dipilih.
Kenapa mesti pakai rebut?? Apakah ingin jadi penjajah? Karena hanya penjajah yang selalu mendapat kekuasaan dengan merebut paksa milik orang. Apa sudah begitu ngebet ingin berkuasa sehingga jika perlu harus menggunakan cara penjajah untuk mendapat kekuasaan tersebut hingga harus mengadaikan keutuhan bangsa ini?? Dengan alasan ingin menyelamatkan bangsa ini tapi kalian bersikap layaknya penjajah. Amit-amit jabang bayi sikap kalian itu.
Memang kata rebut dalam baliho hanyalah sebuah istilah atau slogan yang mereka gunakan, tidak seperti penjajah benaran yang merebut dengan menawan rakyat lemah dan rakyat daerah yang ingin direbut dijadikan budak. Memang tidak demikian.
Prabowo kalaupun ingin “merebut” ya Beliau juga mesti melewati prosedur yang sudah tersedia dan mesti sesuai UU Pemilu yang baru.
Lalu kenapa Jakarta yang jadi perbandingan? Saya pikir ini SANGAT SUPER SUPER SERIUS yang harus jadi perhatian Jokowi dan Pendukungnya.
Sekali lagi saya tekankan, ini harus ditanggapi dengan SANGAT SUPER SUPER SERIUS oleh Jokowi dan pendukungnya, jangan sampai abai dengan hal-hal yang sudah terjadi di Jakarta. Anda mungkin yakin terhadap Jokowi sah-sah saja, tapi jangan terlalu santai dan terlena oleh prestasinya. Di mata orang bodoh, prestasinya Jokowi sungguh tidak ada artinya.
INGAT APA YANG TELAH TERJADI DI JAKARTA? Seorang pelayan yang serius melayani rakyat yang berprestasi dan sangat berdedikasi harus dikalahkan dengan cara yang begitu busuk, jijik dan hina serta dijebloskan ke dalam penjara.
Tentu kita semua tidak -akan- lupa bagaimana cara mereka memenangkan Pilkada di Jakarta. Biarlah mereka menuding kita belum move on. Lah.. orang mereka baik pendukung ataupun yang didukung sampai sekarang juga belum bisa move on dan masih jelek-jelekin Ahok yang sudah dipenjara, sok-sokan ngomongin kite.
Lagipula, bagaimana mungkin kita terus-terusan membiarkan mereka membudayakan cara jijik dan hina tanpa prestasi dalam setiap pemilihan?
Sudah saatnya kita move back dan pelajari cara dan pola mereka yang hina, kemudian dengan serius mencari cara menangkalnya dengan cara yang lebih benar dan cerdas tentunya.
Jadi di sini kata rebut sangat bisa kita artikan cara mereka untuk memenangkan Pilkada Jakarta yang sangat tidak manusiawi, yang mengoyak-ngoyak persatuan bangsa itu akan mereka perluas hingga nasional nantinya. Yang menjadikan rakyat bodoh sebagai tawanan di dalam kerangkeng isu surga dan neraka.
Selain itu, isu sara, fitnah dengan isu-isu murahan seperti utang yang menggunung, meme-meme tenaga kerja china, bangkitnya PKI dll serta menelantarkan mayat yang berbeda pilihan politik tentu akan tetap mereka gunakan untuk Pilpres nantinya. Siapapun calonnya.
Walaupun Jokowi seorang Muslim yang taat, tidak pernah menista atau menghina agama apapun. Jangan berharap penelantaran mayat yang berbeda pilihan tidak akan terjadi saat kampanye Pilpres 2019 nantinya.
Slogannya aja yang akan dimodifikasi, kalau di Pilgub DKI 2017 “tidak mensholatkan jezanah pendukung & pembela penista agama“, maka DI Pilpres 2019 kemungkinan akan menjadi “tidak mensholatkan jenazah partai pendukung & pembela penista agama” atau “tidak mensholatkan jezanah partai pendukung Perppu Ormas 2/2017” serta ada banyak modifikasi lain yang bisa digunakan. Seperti penzdoliman dan kriminalisasi Ulama.
Najis memang, padahal dari sekian banyak tokoh agama yang ada di Indonesia, hanya sekian persen saja (tidak sampai 1%) yang ditangkap. Itupun dengan alasan yang jelas seperti provokasi, adu domba, penghinaan dan menyebarkan fitnah dengan tuduhan yang mengada-ngada.
Sungguh itu cara-cara yang lebih parah dari penjajah, Belanda yang menguasai bangsa ini dengan mengadu domba serta memecah belah bangsa ini. Kalau dulu penjajah Belanda hanya menggunakan isu Pribumi dan Non-Pribumi mengadu domba bangsa ini.
Mereka, yang haus kekuasaan, selain menggunakan isu Pribumi dan Non-Pribumi, juga menggunakan isu-isu lain seperti kafir dan Non-kafir. Kafir di sini bukan soal ketaatan kepada Tuhan, tapi soal apakah anda memilih calon yang mereka usung atau tidak. Mereka memang pantas disebut penjajah Zaman now sesungguhnya, namun bertopengkan nasionalis hanya karena ber-KTP WNI.
Di sini jelas kecerdasan berpikir rakyat akan sangat diuji.
Kalau rakyat Jakarta, sebuah kota yang besar, kota metropolitan, Ibu Kota negara di mana informasi sangat terbuka dan mudah diakses aja mudah dipengaruhi dengan isu-isu yang sebenarnya tidak ada hubungannya, bagaimana dengan rakyat di daerah lain yang kotanya tidak sebesar Jakarta?
Jadi, jangan pernah ada pikiran bahwa rakyat sudah cerdas. Sebagian rakyat memang sangat cerdas tapi banyak juga yang tidak dan mudah dipengaruhi seperti yang terjadi di Jakarta. Waspadalah..
Bukankah saat Pilkada DKI banyak dari pendukung Ahok-Djarot -termasuk saya- yang yakin dengan kemenangan mereka serta selalu berpikir kalau rakyat sudah cerdas dan tidak mudah dibodohi dengan isu murahan serta terlena hingga lupa mengantisipasi cara-cara hina mereka? Jangan sampai itu terjadi lagi dalam memenangkan Jokowi di Pilpres 2019 nanti.
Sebuah tulisan emas telah tercatat menembus batin kita yang menginginkan pemimpin jujur, profesional dan berdekasi tinggi bahwa Pilkada Jakarta telah menjadi Pilkada terbrutal yang pernah ada.
Akankah kita membiarkan ada tulisan lain tercatat kembali menembus batin setiap kita bahwa Pilpres 2019 menjadi Pilpres terbrutal, terkeji sepanjang masa?
Saya kira tidak mungkin kita rela, tapi itulah yang kemungkinan akan terjadi. Mereka (lawan Jokowi) yang haus kekuasaan tidak akan perduli, tapi kita mesti perduli karena ini soal masa depan Bangsa ini.
Jangan sampai masa depan Bangsa ini diserahkan kepada sosok yang memanfaatkan kebodohan rakyat untuk berkuasa bukan prestasi yang dipakai.
Saya tahu ada sebagian pendukung Jokowi yang bukan pendukung Ahok, tapi saya yakin kalian pasti juga jijik dan tidak ingin Jokowi kalah dalam pemilihan yang brutal dan tidak manusiawi, ya kan?
Jadi, mari persiapkan hati dan pikiran kita untuk fokus memenangkan Jokowi di 2019.
Orang bijak tidak melakukan kesalahan yang sama 2x, Jakarta biarlah jadi pelajaran berharga buat kita untuk lebih fokus dan serius dalam memenangkan Jokowi di 2019. JANGAN TERLENA LAGI..
Ok lah Sekian..
Hans Steve