Munir Said Thalib adalah salah satu bukti sejarah betapa kejahatan HAM itu sangat mengerikan. Mengerikan bukan karena korbannya sangat banyak dan cara mematikannya sangat mengerikan, tetapi juga karena pengungkapan kasusnya pun mengalami nasib yang sangat mengerikan, yaitu dimatikan.
Saya jujur harus bilang, bahwa Munir memang dimatikan. Dimatikan karena begitu berbahayanya orang bernama Munir tersebut. Munir seperti pisau tajam yang akan menghunus dan balik membantai para pembantai HAM. Seperti punya kekuatan besar dibaliknya, Munir siap membongkar beberapa kasus HAM yang diyakini akan menjadi sebuah pionir untuk pemberantasan HAM lainnya.
Sayang, semua itu kini sirna. Munir berhasil dimatikan dengan sebuah skenario cantik dan di masa yang sudah jauh dan tenang dari masa-masa reformasi. Para aktor intelektual tersebut sudah memperhitungkan semuanya dengan baik, bahkan menunggu saat dimana militer kembali menguasai negeri.
Ya, karena kasus Munir terjadi saat pemerintahan yang dipimpin sipil berganti dipimpin oleh militer. Apalagi yang memimpin punya mertua yang juga sering dikait-kaitkan dengan kasus pelanggaran HAM 1965, Sarwo Edhie. Jadi semuanya klop. Munir dibunuh dan kasusnya akan diusahakan oleh pemimpin yang dilema karena mertuanya bisa saja kena efek domino.
Kemudian semua berjalan dengan baik sampai sekarang dan semuanya tertutup rapi. Yang paling menyedihkan apalagi kalau bukan hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir aslinya tidak tahu ada dimana. Sebuah kejadian yang sangat tampak kesengajaannya untuk sepelekan kasus Munir.
Lalu sebenarnya siapakah yang membunuh Munir?? Kalau saya harus menyimpulkan, maka jawabannya adalah banyak. Tetapi kalau ditanya siapakah eksekutornya, maka ada beberapa kemungkinannya. Karena kematian Munir tersebut menggunakan strategi intel yang sangat luar biasa.
Beberapa nama menguak dan bahkan sudah ada yang ditahan. Tetapi pembunuh atau eksekutor sebenarnya masih bebas berkeliaran, begitu juga yang menjadi aktor intelektualnya. Pollycarpus Budihari Priyanto hanya jadi umpan untuk menyenangkan para penuntut kepastian hukum Munir. Tetapi fakta sebenarnya siapa yang membunuh tidak pernah diungkapkan.
Untuk itulah, maka seorang saksi kunci “membisikkan” kepada saya bahwa pembunuh sebenarnya adalah orang yang duduk di samping Munir. Logikanya sangat jelas bahwa Munir mati besar kemungkinan ada keterlibatan pemerintahan belanda. Ada dua kemungkinan yang saya coba tarik.
Hal pertama adalah mengapa Munir dibunuh saat akan menuju Amsterdam?? Padahal Munir bisa saja dibunuh saat masih transit di Singapura. Mengapa harus menunggunya saat sudah dekat dengan Belanda?? Hal yang menurut saya sangat mencurigakan. Apalagi Munir meninggal menurut saksi yang merawat 2 jam sebelum sampai ke Amsterdam.
Hal kedua adalah ketidakmauan pemerintah Belanda menyerahkan hasil visum Munir. Mereka juga bahkan tidak ingin masalah ini diungkit lagi meski sudah ada jaminan para tersangka tidak akan dihukum mati. Sebuah tindakan yang menimbulkan kecurigaan. Kecurigaan yang akhirnya menjadi kecurigaan bahwa ada “orang Belanda” yang terlibat.
Siapakah orangnya?? Saksi tersebut menduga orang yang di samping Munir. Menurut apa yang dianalisanya, orang yang duduk disamping Munir tersebut adalah seorang ahli kimia. Pembunuhan Munir memang harus dilakukan seorang ahli supaya semuanya bisa berjalan dengan baik.
Pollycarpus hanyalah sebuah pengalihan isu dari isu utamanya. Munir adalah korban politik di Belanda yang mengambil kesempatan keinginan beberapa penjahat HAM di Indonesia. Semua skenario berjalan dengan baik, dan ditutup dengan sempurna oleh pemimpin militer yang bungkam dan hanya membuat TPF penghasil copyan kajian.
Kasus Munir ini menurut saksi kunci tadi akan mustahil terkuak karena keterlibatan pemerintahan Belanda yang sejak awal memang tidak mau berkerja sama. Sebuah fakta yang sangat menyedihkan.
Salam Munir.