1 Tahun Anies Bangun 53 Taman, Itupun Belum Selesai
Mungkin karena keseringan dibully, bisa jadi mental gubernur Anies jadi down alias minder. Akibatnya terkadang baru sedikit kerja, langsung dipamerkan agar mendapat sanjungan pendukungnya sekaligus pelipur lara atas ketidakbecusannya bekerja. Dan itulah yang terlihat dalam cuitan Anies tanggal 15 Agustus 2019 kemarin.
Dalam cuitannya itu, Anies ingin membanggakan kalau dirinya sedang membangun 53 taman seantero Jakarta yang lucunya belum selesai tapi sudah dipamerkan.
Saya pun mencoba mencari berita di media tentang pembangunan taman yang diberi nama taman Maju Bersama (TMB) ini. Dan saya menemukannya.
Dalam berita tersebut dikatakan bila saat ini sedang dibangun sebanyak 53 taman maju bersama (TMB) yang ditargetkan rampung tahun ini. Fasilitas umum ini tersebar di empat kota di DKI Jakarta.
Program Gubernur Anies Baswedan ini ada Jakarta Timur sebanyak 19 taman. Sebanyak 15 taman di Jakarta Selatan, 10 di Jakarta Utara, dan 9 di Jakarta Barat.
“Saya lihat sudah ada 15 taman yang pembangunannya mencapai 80 persen,” kata Kepala Seksi Perencanaan Pertamanan Dinas Kehutanan DKI Jakarta Hendrianto saat dihubungi, Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2019.
Namun, Hendrianto tak hafal 15 TMB yang hampir rampung. Ia hanya merinci 15 TMB itu ada di Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Timur.
Sementara itu, luas masing-masing TMB beragam. Kisaran luas mulai dari 700 meter hingga 2 ribu meter persegi dengan total luas keseluruhan berkisar 27 hektare.
“Untuk anggaran seluruhnya mencapai Rp130 miliar. Itu semuanya menggunakan APBD DKI,” pungkas dia.
Rp130 miliar? Berarti kalau dibagi dengan 53 taman, rata-rata biaya yang dikeluarkan adalah Rp 2,45 miliar/taman. Menurut pembaca itu termasuk kategori mahal, wajar atau malah murah? Tentu saja bila tidak ada pembandingnya, kita akan sulit menyebut sesuatu itu mahal atau murah.
Saya menemukan pembandingnya yang selama ini kita kenal dengan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) yang digagas oleh Ahok semasa kepemimpinannya.
Ternyata tidak semua RPTRA dibangun dengan dana Corporate Social Responsibility (CSR), ada juga yang dibangun menggunakan APBD DKI Jakarta.
Di masa akhir jabatannya, Ahok yang kemudian dilanjutkan oleh Djarot, berhasil membangun 100 RPTRA (bagian dari total 292 RPTRA selama 3 tahun kepemimpinan Ahok-Djarot).
Pembangunan 100 RPTRA ini dilakukan pada tahun 2017, menggunakan anggaran dari APBD DKI 2017 dengan total nilai sebesar Rp 152 miliar atau rata-rata Rp1,52 miliar/RPTRA.
Bukan saja keseluruhannya dapat diselesaikan 100 persen, bahkan penyelesaian seluruh RPTRA di enam wilayah tersebut, rampung dibangun lebih cepat dari target kontrak kerja yang harusnya jatuh pada Desember 2017.
Ke-100 RPTRA itu kemudian resmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat di Lapangan Silang Selatan Monas, Jakarta Pusat tanggal 10 Oktober 2017.
RPTRA yang dibangun tersebut tidak hanya terdapat sarana bermain anak-anak yang aman, CCTV untuk memantau, namun juga memiliki sarana olahraga, sebagai sarana sosialisasi dan interaksi antar warga.
Jadi kalau kita simpulkan maka akan didapat data sebagai berikut
1. Anies bangun 53 TMB, menghabiskan total dana Rp130 miliar (rata-rata Rp2,45 miliar/TMB), hingga Agustus ini tingkat penyelesaiannya baru 80 persen untuk 15 taman dari total 53 taman.
2. Ahok bangun 100 RPTRA, menghabiskan dana Rp152 miliar (rata-rata Rp1,52 miliar/RPTRA), tingkat penyelesaian 100 persen.
Coba bayangkan, sudah pertengahan Agustus, baru 80 persen, itu pun yang 80 persen cuma 15 taman dari total 53 taman. Artinya sisa 38 taman bisa jadi ada yang baru 70 persen, 60 persen, 50 persen bahkan tidak menutup kemungkinan 30 persen atau malah baru mau aduk semen doang.
Sudah terlihat bukan? Sudah lebih mahal, lambat penyelesaiannya, lebih sedikit pula jumlah tamannya. Dari perbandingan ini saja sudah terlihat mana orang yang bisa kerja dan mana yang kebanyakan ngomong tapi gak bisa kerja.
Kelebihannya yang mendapat pengakuan seluruh warga DKI hanya ada tiga, yakni kemampuannya untuk menciptakan istilah-istilah aneh seperti rumah lapis, naturasilasi, Jaklingko, pulau reklamasi menjadi pantai reklamasi dan sebagainya. Kelebihan berikutnya adalah ngeles atau menyalahkan pihak lain atas ketidakmampuannya sendiri serta mengklaim hasil kerja orang lain sebagai prestasinya.
Tidak heran bila Jakarta serasa auto pilot, kehadirannya di DKI Jakarta terlihat tidak dibutuhkan. Ada atau tidak dirinya, tidak ada bedanya bagi masyarakat Jakarta. Prestasi jeblok Anies, terang benderang menunjukkan bahwa pada dasarnya dia bukan seorang yang punya kemampuan menjadi pejabat publik. Miskin ide, konsep dan eksekusi yang lambat namun boros bukan main memperlihatkan dirinya bukanlah perencana atau konseptor ulung.
Istilah Botol (bodoh dan tolol) mungkin sudah waktunya mengalami penyempurnaan menjadi Botol Lampu (Boros, Tolol, Lambat Pula). Setujukah Anda?
Untuk membaca tulisan saya yang lain, dapat diklik di sini