Beberapa hari ini beredar ajakan di berbagai WAG untuk melakukan aksi jalanan mengepung Balaikota DKI Jakarta. Isinya pun bermacam-macam, ada yang mengatasnamakan “Relawan Jokowi”, ada yang mengatasnamakan Presidium Rakyat Nusantara (PRN) dan mungkin juga nama-nama lainnya.
Aksinya pun sudah ditetapkan, hari ini jam 2 sore, bahkan para relawan diminta mengenakan atribut organisasinya masing-masing. Tuntutannya adalah untuk melengserkan Anies.
Apakah ajakan ini perlu dituruti? Tidak perlu menurut saya.. bahkan tidak penting banget. Kenapa? Karena cara-cara yang dilakukannya itu keliru.
Terlepas dari kontroversi seorang Anies yang lebih pintar ngomong daripada kerja, suka rasis dan tidak berprestasi serta seabreg kekonyolan yang dipertontonkannya. Namun perlu diingat bila Anies itu terpilih secara konstitusional. Ada sebanyak 58 persen warga Jakarta yang memberikan suaranya untuk dia.
Memang benar bila selama kampanye, kubu Anies sering memainkan politik identitas, dalam hal ini adalah identitas agama. Bahkan Djarot Saiful Hidayat yang beragama sama pun pernah diusir oleh gerombolan pendukung Anies, dari salah satu masjid saat kampanye dulu. Hanya gara-gara menjadi Cawagub yang mendampingi Ahok ketika itu.
Namun bukan berarti kita harus ikut-ikutan barbar seperti kelompok mereka yang pekerjaannya cuma dari demo. Banyak hal yang sebenarnya dapat kita lakukan tanpa harus keluar dari konstitusi. Kita bisa melakukan “Class Action” atau gugatan terhadap kebijakan pemprov yang dianggap merugikan masyarakat.
Kita bisa menggugat pemprov ke pengadilan agar pemakaian anggarannya dapat dibuat secara transparan. Atau bahkan mendesak DPRD, toh DPRD itu adalah wakil rakyat juga bukan? Kalau kemudian anda menjawab, wah anggota dewan mah gak bisa diharapkan. Pertanyaannya, kalau gak bisa diharapkan, kenapa mau anda pilih? Pilihlah yang benar-benar mau bekerja.
Di sisi lain kita juga dapat memanfaatkan sisa waktu yang ada sebelum sampai ke pilkada DKI Jakarta 2022 nanti. Caranya, edukasi warga, berikan pendidikan politik, lakukan sosilalisasi kepada masyarakat agar kelak jangan mudah dibodoh-bodohi dengan politik identitas.
Berikan perbandingan dan gambaran akan jadi seperti apa Ibukota seandainya dipimpin oleh orang yang ahli menata kota dengan yang cuma ahli menata kata.
Ke depan, pilihlah orang yang benar-benar mau bekerja untuk warga bukan yang cuma bisa basa-basi tanpa prestasi.
Dan itulah yang kami lakukan sebagai penulis, kami mengkritisi langkah-langkah pemprov yang kami rasa keliru sekaligus mencoba mengedukasi masyarakat melalui tulisan yang kami buat.
Bagi yang lainnya, bisa berjuang melalui medan yang dikuasainya. Yang pintar buat meme politik, silahkan buat meme politik yang bijak sekaligus menjitak. Yang suka berorganisasi silahkan berorganisasi. Yang mau melakukan Class Action, silahkan berikan ajakan ke masyarakat untuk beramai-ramai melakukan Class Action terhadap kebijakan yang dirasa keliru.
Saya rasa cara-cara demikian lebih terhormat daripada harus mengepung balai kota segala. Apa iya dengan mengepung balai kota lantas Anies rela lengser? Belum tentu dan mustahil rasanya. Malah sangat beresiko disusupi oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang ingin memperkeruh suasana. Belum lagi pihak pendukung Anies akan terpancing untuk melakukan tindakan serupa.
Akhirnya yang terjadi apa? Habis tenaga, habis biaya untuk beli nasi bungkus, tujuan belum tentu tercapai, malah bisa berakhir bentrok dan jatuh korban. Bisa-bisa malah Anies yang mendapat simpati dari warga dan semakin populer namanya.
Jadi please deh, lebih cerdaslah sedikit, gak perlu ikut-ikutan cara atau ajakan konyol seperti itu. Kalau Anies bisa bertahta hari ini, itu akibat kecerobohan sebagian besar warga. Ini bukan salah Anies, ini adalah salah warga yang memilihnya. Ingat ada istilah yang menyebutkan pemimpin pintar ada karena adanya pemilih yang pintar, sebaliknya pemimpin bodoh hadir berkat adanya pemilih bodoh yang gampang dikibuli, gampang terhasut politik identitas, pemalas dan masa bodoh.
Ada waktunya kita menurunkan pemimpin yang tidak berkompeten seperti itu dan tentu saja dengan mekanisme yang lebih terhotmat dan konstitusional, bukankah begitu kawan?