Ternyata selain Anies, Ahok juga pernah diminta untuk mengijinkan becak ada di Jakarta saat masa kampanye, 5 Desember 2016 yang lalu. Berbeda dengan Anies yang kebelet menang dan langsung menandatangani kontak politik untuk mengijinkan becak. Ahok justru menolak permintaan tersebut saat berdebat dengan orang asal Tanah Tinggi yang meminta agar becak diperbolehkan beroperasi di Jakarta, ketika di Rumah Lembang 5 Desember 2016.
Menurut Ahok bahwa larangan becak sudah ada sebelum dirinya menjabat. Aturan itu berupa Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Ahok menuturkan, bila Pemprov DKI Jakarta memperbolehkan becak beroperasi sebagai angkutan ke pasar, maka akan meluas ke jalan raya. Jumlah becak pun dianggap terus bertambah. Daripada menjadi tukang becak, Ahok lebih menyarankan agar melamar menjadi petugas transjakarta atau PPSU (Penanganan Prasarana dan Sarana Umum), dimana penghasilan dan kesejahteraan lebih terjamin.
Dan sekarang memang terbukti apa yang disampaikan oleh Ahok. Berkat kebijakan yang tidak bijak dari Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang memperbolehkan becak beroperasi di Jakarta, kini telah menarik perhatian sejumlah tukang becak dari luar Jakarta yang berbondong-bondong masuk ke Jakarta.
Meskipun menurut si Gubernur dan Wakilnya, becak akan didata dan hanya becak dari Jakarta saja yang diperbolehkan beroperasi, sedangkan becak dari luar daerah tidak akan diperbolehkan beroperasi.
Namun duo Thompson and Thomson itu tidak menjelaskan mekanismenya seperti apa? Apakah pendataan rutin dilakukan sebulan sekali, atau hanya di awal saja. Bila di awal saja, ya percuma, setelah selesai pendataan, becak akan sembunyi-sembunyi masuk lagi ke Jakarta.
Bahkan kalau di data sebulan sekali pun tidak menjamin becak luar daerah tidak akan beroperasi secara sembunyi-sembunyi terutama di daerah pinggiran Jakarta. Apalagi becak tersebut pendataannya hanya ditempel sticker doang?. Tidak sampai sebulan pun sudah copot stickernya. Bagaimana mengetahui becak tersebut dari luar daerah atau bukan, bisa saja sparepartnya dikirim dari luar daerah, lalu dirakit di Jakarta, jadinya becak made in Jakarta.
Anda mungkin mengatakan saya mengada-ngada, soal sticker dan pendataan yang tidak substansial pun dipermasalahkan. Ok, anggap saja dengan sistem sticker dan pendataan yang dilakukan pemprov sangat ketat dan luar biasa sehingga mampu mencegah becak masuk ke wilayah Jakarta. Jangankan becak luar daerah, ban becak pun tidak bisa masuk dari luar daerah tanpa sepengetahuan pemprov DKI, asumsikan saja seperti itu. Baiklah kita lanjut lagi.
Perlu diketahui, sebenarnya becak tidak benar-benar mati di Jakarta, walaupun jumlahnya sedikit, namun masih ada di daerah pinggiran Jakarta. Tapi perlu diingat, mereka selama ini beroperasi tanpa dibatasi harus dilingkungan tertentu dan tidak boleh masuk jalan raya seperti ketentuan yang akan diterapkan nanti.
Di Jaman sekarang, transportasi telah berkembang sangat pesat, sudah ada Trans Jakarta, ada juga ojek online yang mobilitasnya lebih cepat dibanding becak dan harganya lebih murah. Sedangkan becak?, sudah mobilitasnya lambat, areanya dibatasi dan tidak boleh masuk jalan raya, melalui peraturan yang akan diterapkan nanti, bagaimana mau bersaing dengan alat transportasi lainnya?.
Apakah gubernur dan wakilnya peduli, bila akibat kalah bersaing, pendapatan para tukang becak menjadi berkurang?. Konsekuensinya apa? Hanya ada 2 jalan, jalan pertama ya kembali ke kampung halaman. Sedangkan cara kedua, supaya bisa tetap survive demi sejengkal perut, mereka harus memperluas daerah operasi, berkompetisi baik dengan sesama becak maupun dengan alat transportasi lainnya. Akhirnya peraturan agar becak hanya beroperasi di lingkungan tertentu pun pasti akan dilanggar, jalan raya juga dimasuki, Jakarta yang sudah macet dan sumpek akan bertambah macet dan sumpek lagi. Kacau lagi bukan?.
Coba bandingkan dengan becak di Surabaya. Di Surabaya, pengayuh becak bahkan ditawari gaji 3,2 juta oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini bila mau beralih profesi menjadi tukang sapu. Perhatikan, Surabaya saja ingin menghilangkan becak dengan memberikan pendapatan yang memadai agar para tukang becak mau beralih profesi, sedangkan Gubernur Jakarta malah ingin menghidupkan becak kembali.
Wakilnya Anies yaitu Sandiaga Uno malah tak kalah nyeleneh, mewacanakan pelatihan genjot becak, mungkin dikiranya selama ini para tukang becak masih bingung menggenjot becak itu pakai tangan atau kaki, atau bahkan menggunakan anggota tubuh yang lain.
Tidak hanya itu, Sandi juga berencana ke depannya, agar becak dapat menggantikan motor di DKI Jakarta dengan alasan lebih ramah lingkungan dan tidak menyebabkan polusi. Bila berhasil, tebakan saya, dia juga pasti akan meminta agar mobil digantikan oleh kereta kuda, luar biasa bukan? Pemikirannya bukan out of the box lagi, tapi sudah mencapai taraf out of mind.
Yang saya tidak habis pikir bahwa ide-ide yang nyeleneh tersebut dikeluarkan oleh orang yang katanya lulusan luar negeri, apa almamaternya tidak malu punya punya alumnus seperti itu?.
Bukannya kita tidak tahu, mereka buat pelatihan ini pelatihan itu semuanya menggunakan duit APBD yang notabene berasal dari rakyat. Dan kelak akan dibangga-banggakan sebagai penyerapan maksimal, kalau perlu APBD 70 triliun lebih itu dihabiskan semua tanpa ada sisa. Soal dipakai buat apa, apakah ada hasil atau tidak, mana mereka peduli, pokoknya habis.
Sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang tersandera kontrak politik, terkesan apa yang dikerjakan hanya asal bisa memenuhi kontrak politiknya dan menyenangkan pendukungnya saja. Mereka sama sekali tidak perduli apakah akibat memenuhi kontrak politik yang mereka tandatangani tersebut, menimbulkan masalah baru dikemudian hari atau tidak.
Saya hanya berusaha berpikir dari sisi positif saja, mungkin ini adalah teguran Tuhan kepada kita. Sama seperti bagaimana kita menjelaskan pedasnya cabai kepada orang yang tidak pernah makan cabai, tentu akan sulit menggambarkannya melalui kata-kata. Satu-satunya cara adalah dengan menyuruhnya mencoba langsung.
Demikian juga dalam hal ini, setelah sebelumnya dianugerahi oleh pemimpin yang baik, ternyata sebagian besar (58%) tidak menghargai usaha dan perjuangannya untuk menyejahterakan warga Jakarta. Makanya sekarang diberikan teguran, mendapatkan pemimpin yang buruk dengan harapan bisa membuka mata dan pikiran mereka, terutama yang 58%, bahwa mereka telah membuang emas demi sepasang loyang.