Peristiwa pendakwah radikalisme buronan India yang kini bermukim di Malaysia, Zakir Naik. Menjadi salah satu topik yang paling banyak banyak dibahas beberapa hari terakhir ini oleh netizen dalam negeri, selain kasus Abdul Somad dan Papua.
Zakir yang awalnya adalah warganegara India sering memberikan ceramah yang bersifat kontroversi karena sering mendiskreditkan etnis dan agama lain, akibatnya dia pun diusir dari tanah kelahirannya, India.
Malaysia pun menjadi tempat buronan ini berlabuh. Zakir diterima oleh Malaysia ketika itu dengan alasan kemanusiaan dan memperoleh status permanent residence (PR) di Malaysia tahun 2017.
Alih-alih bersyukur bahwa ada negara yang masih mau menerima sampah seperti dirinya, si Zakir malah membuat ulah dengan mencoba melakukan adu domba antar etnis.
Tak pelak lagi, hanya dalam hitungan hari, Pemerintah Malaysia langsung mengeluarkan larangan berceramah bagi Zakir Naik di seluruh negara bagian hingga batas waktu yang belum ditentukan. Sebagaimana yang diberitakan oleh Malay Mail, larangan tersebut dikeluarkan terkait ceramahnya tentang umat Hindu dan etnis Tionghua di Malaysia. Pemerintah menganggap Zakir telah mengganggu keamanan nasional.
Merasa belum cukup, pemerintah Malaysia memerintahkan seluruh polisi di Malaysia agar tidak memberikan izin bagi acara apapun yang menghadirkan ulama buronan yang kontroversial ini. Juga larangan bagi Zakir Naik untuk berbicara di seluruh platform, termasuk media sosial.
Sejumlah menteri dan politikus Malaysia juga ikut mendesak agar Zakir keluar dari negeri jiran itu.
Tindakan cepat dan tegas ini tentu dapat dimaklumi bila melihat sejarah kelam negeri jiran. Kerusuhan antar etnis telah terjadi berkali-kali. Kerusuhan terbesar adalah kerusuhan tanggal 13 Mei 1969 yang menyebabkan 184 orang meninggal (rumor yang beredar malah menyebutkan 700 korban jiwa).
Sedangkan kerusuhan terbaru terjadi 26 November 2018, terkait pemindahan kuil Hindu yang berusia 100 tahun. Tidak diketahui jumlah korban jiwa, namun setidaknya ada satu petugas pemadam kebakaran yang diinjak-injak oleh massa dan tewas setelah menjalani perawatan di rumah sakit.
Tindakan cepat pemerintah Malaysia tidak hanya terhadap orang yang dianggap mengancam disintegrasi negara Malaysia. Hal yang sama juga dilakukan terhadap organisasi agama terlarang, semacam Hizbut Tahrir.
Sebelum Indonesia, negara terakhir yang melarang eksistensi Hizbut Tahrir adalah Malaysia. Larangan itu muncul dua tahun lalu. Pada 17 September 2015, karena dianggap sebagai ‘kelompok menyimpang’ dan menegaskan siapa pun yang mengikuti gerakan pro-khilafah ini akan menghadapi hukum.
Saat mantan Jubir Hizbut Tahrir Malaysia Abdul Hakim Othman akan melawan dengan menggelar konferensi pers pada 4 Desember 2015, langsung ditangkap pihak berwajib.
Empat tahun kemudian 8 Juni 2019, Abdul Karim Othman yang kini menjabat sebagai Presiden Hizbut Tahrir Malaysia, kembali di tahan. Bukan karena berceramah, bukan karena berpidato, namun hanya karena melakukan konferensi pers di Bandar Baru, Bangi, Malaysia. Cepat dan Tegas.
Hal yang sama tentu sulit kita temukan di Indonesia. Lihat saja bagaimana para penceramah dari organisasi terlarang semacam HTI masih bebas “merumput” di mana-mana. Bukan saja bebas, bahkan diberikan karpet merah dengan menjadi undangan untuk berdakwah di berbagai institusi pemerintah.
Belum lama ini, Felix Siauw, salah satu dedengkot HTI diundang berceramah di balai kota DKI Jakarta. Kemudian ada juga Fahmi Amhar aktivis Hizbut Tahrir malah menjadi khatib shalat Idul Adha di perumahan TNI Curug Indah Bogor. Abdul Somad bahkan dibebaskan menghina agama lain tanpa perlu untuk meminta maaf sekalipun.
Itu baru yang terekspose, entah ada puluhan atau bahkan ratusan ceramah setiap bulannya yang dilakukan oleh pendakwah dari kelompok radikal ini yang tidak diberitakan oleh media.
Sebuah ironi mengingat pemerintah selalu menggembar-gemborkan Pancasila, UUD45 dan Bhinneka Tunggal Ika namun semuanya sebatas kata tanpa tindakan nyata.
“Tidak ada toleransi sedikit pun bagi yang mengganggu Pancasila! Yang mempermasalahkan Pancasila!” Demikian kata Jokowi dalam pidatonya beberapa waktu lalu.
Lantas apa upaya, aksi nyata, tindakan konkret yang sudah dilakukan pemerintah? Jujur sampai sekarang saya belum melihatnya.
Bukan berarti saya menihilkan upaya pemerintah untuk memberantas radikalisme di negara ini. Dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa lebih. Serta lamanya HTI bercokol di negara ini (sejak 1984), menjadikannya sebagai salah satu organisasi yang memiliki jaringan luas dan sudah mulai mengakar di nusantara.
Namun setidaknya tanpa harus mencontoh negara lain, pemerintah bisa memulai dari lembaga atau institusi milik negara terlebih dahulu. Misalnya dengan mengeluarkan inpres menginstruksikan agar seluruh lembaga pemerintah dari pusat hingga daerah, dari lembaga kementerian hingga BUMN, termasuk institusi militer seperti TNI dan Polri agar tidak mengundang penceramah yang terindikasi anggota ormas terlarang.
Pemerintah juga dapat menghidupkan kembali pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, serta mewajibkan guru-guru agama di sekolah-sekolah negeri untuk menjalani sertifikasi yang diawasi langsung badan yang ditunjuk oleh pemerintah, apakah itu dari PBNU atau Muhammadiyah. Hanya guru-guru yang memperoleh sertifikasi saja yang diperbolehkan untuk mengajar.
Ketentuan sertifikasi ini jauh lebih lunak dibandingkan negara-negara lainnya seperti Mesir, Singapura dan termasuk Malaysia juga. Di negara-negara tersebut yang dikenakan wajib sertifikasi justru pendakwah/penceramah agama.
Dengan demikian, di masa pemerintahan Jokowi, walau dirinya tidak mampu membasmi radikalisme secara menyeluruh hingga ke akar-akarnya. Namun setidaknya dirinya telah mewariskan pemerintahan yang bersih dari infiltrasi radikalisme kepada penerusnya.
Ini juga sekaligus menjawab pertanyaan bila ada yang menanyakan kepada saya, apa sih yang saya harapkan dari pemerintah untuk dilakukan terkait radikalisme ini? Kalau menurut Anda?
Baca Juga:
Mahasiswa Keliru Nyanyikan Indonesia Raya, Menurut Media Lucu, Menurut Anda?