Entah kesambet setan apa, Anies Baswedan menjelang Asian Games 2018 yang lalu memutuskan untuk membangun monumen bambu di tengah Bundaran HI.
Monumen bambu yang diberi nama Getih Getah ini dibuat oleh seorang seniman bernama Joko Avianto atas permintaan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika itu.
Uang Rp550 juta yang merupakan konsorsium 10 BUMD pun dikucurkan untuk memuaskan ego seorang Anies Baswedan, entah apa fungsinya selain jadi tempat persembunyian tikus.
Apalagi mengingat keberadaan karya seni ini terbilang sangat kontras dengan kondisi Bundaran HI yang modern, gedung-gedung pencakar langit yang tinggi dan megah yang terdapat di sekitarnya.
Bukan berarti instalasinya tidak bagus, instalasinya bagus karena memiliki makna dan bernilai seni, apalagi instalasi ini dibuat oleh seorang seniman bambu bernama Joko Avianto. Namun karena dibangun di tempat yang keliru menjadikan karya seni ini bukannya memperindah wajah Ibukota, malah memperburuknya. Ibarat rumah gedongan namun di tengah halaman depannya didirikan kandang ayam.
Terbukti, jangankan tamu Asian Games, bahkan warga yang melintasi jalan tersebut juga enggan berfoto di depan instalasi bambu tersebut. Instalasi bambu ini juga menjadi olok-olok warganet. Beberapa malah membandingkannya dengan ilustrasi orang yang sedang bersenggama.
Akhirnya, Karya seni tersebut hanya mampu bertahan 11 bulan dari waktu pemasangannya, yaitu dari 16 Agustus 2018 hingga dibongkar pada Rabu 17 Juli 2019 malam. Uang berbiaya Rp550 juta ini pun terbuang percuma.
Pemborosan instalasi bambu ini hanyalah satu dari sekian banyak pemborosan yang dilakukan oleh Anies selama menjabat sebagai gubernur DKI.
Yang lainnya? Sebut saja soal pohon plastik yang dipasang di Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat menjelang Lebaran dan Asian Games. Pohon yang mengganggu pejalan kaki itu sempat menghebohkan media sosial.
Apalagi kemudian Koalisi Pejalan Kaki juga menyoroti keberadaan pohon plastik di trotoar yang menghalangi pejalan kaki. Komunitas itu merasa miris karena pohon asli ditebang, tetapi pohon imitasi justru bermunculan dengan alasan untuk memperindah trotoar.
Anggaran yang digelontorkan mencapai Rp2,2 miliar rupiah (ada versi lain yang menyebutnya Rp8,1 miliar). Hanya dipajang beberapa hari, setelah ramai menjadi pembicaraan masyarakat, pohon plastik kemudian dicabut. Kini pohon plastik itu pun sudah tidak diketahui nasibnya ada di mana.
Masih seputar pelaksanaan Asian Games 2018 yang lalu, Trotoar baru di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, terlihat indah dengan adanya area hijau. Namun, di balik keindahannya, trotoar baru itu menyimpan polemik salah konsep karena area hijau yang ditanami rumput menghalangi warga mengakses halte.
Konyolnya untuk menutupi kekeliruannya, Anies pun beralasan penanaman rumput itu hanya sementara dan akan dibongkar dan diganti dengan trotoar keras setelah Asian Games selesai ketika itu. Entah berapa anggaran yang harus dihabiskan untuk menutupi kekeliruannya.
Yang terakhir dan tak kalah menghebohkan adalah soal waring hitam ala Anies yang dimaksudkan untuk menutupi bau kali Item menjelang pelaksanaan Asian Games. Anggaran yang harus dikeluarkan mencapai Rp580 juta.
Jaring seharga Rp 580 juta itu hanya berumur kurang dari empat bulan, dan segera menjadi sampah karena rusak.
Tingkah Anies menutup Kali Item dengan waring pun menjadi tertawaan media internasional. Salah satunya Media Channel News Asia, yang mengulas tentang penutupan Kali Item dengan waring dalam artikel berjudul ‘Jakarta covers up ‘stinky, toxic’ river near Asian Games village’.
“Sungai beracun, berbau busuk dekat Wisma Atlet Asian Games di Jakarta ditutup oleh jaring nilon hitam karena ketakutan akan merusak pemandangan saat Asian Games berlangsung,” tulis Channel News Asia ketika itu.
Dari sederet contoh di atas, kita sudah dapat melihat bagaimana orang ini mengatur anggaran. Tidak becus, mungkin itu ungkapan paling tepat. Baginya penyerapan anggaran bukanlah bagaimana memanfaatkan anggaran semaksimal mungkin untuk membangun dan menyejahterakan warga DKI.
Namun baginya penyerapan anggaran itu adalah bagaimana menghabiskan anggaran secepat cahaya terlepas program yang dijalankannya bermanfaat atau tidak. Sungguh kasihan, 42 persen warga DKI harus bersabar 2 tahun lagi memelototi tingkah laku Anies menghambur-hamburkan anggaran. Sementara pendukungnya yang 58 persen? Cukup dijejali saja soal seiman dan sejenisnya saja, mereka sudah cukup puas.