Banyak Anggaran Siluman Bikin Pemprov Ogah Unggah KUA-PPAS DKI 2020?
Istilah anggaran siluman sempat populer di masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Saat itu, ada pos anggaran yang masuk lewat penganggaran elektronik, tanpa melalui pembahasan. Ahok bahkan pernah mencoret anggaran senilai Rp1,5 triliun yang disebutnya sebagai anggaran siluman karena bawahannya dipaksa memasukkan sejumlah tambahan anggaran oleh oknum anggota DPRD yang bermental korup.
Itu menjadi salah satu penyebab kenapa Ahok memaksakan penerapan e-Budgeting saat itu. Dan DKI Jakarta pun kemudian tercatat sebagai daerah yang pertama kali menerapkan sistem penganggaran ini secara penuh.
Pemprov DKI era Ahok pernah menyebut e-Budgeting tak hanya mampu meminimalisasi korupsi, tetapi juga menghemat anggaran hingga Rp4 triliun.
Tidak heran saat Anies berkunjung ke Balai kota, pada hari Kamis 20 April 2017, wajahnya sempat viral dan menjadi pembicaraan. Pasalnya di foto yang banyak beredar terlihat wajah Anies masam dan tertekuk layaknya gabion terkutuk. Sedangkan Ahok yang kalah, malah tertawa lepas.
Apakah ada kaitannya dengan penerapan e-Budgeting ini? Entahlah.., yang jelas siapapun yang ingin malingin anggaran tersebut, tentu akan merasa tertekan mengingat betapa sulitnya mengakali sistem yang ada.
Dan terbukti, sejak Anies-Sandiaga Uno menjabat, berbagai anggaran yang terlihat aneh pun selalu terpantau dan menjadi pembicaraan publik.
Sebut saja rencana Anies yang ingin merenovasi rumah dinasnya dengan lift senilai Rp 750 juta, yang tercantum di situs LKPP, kemudian ada juga anggaran kolam air mancur DPRD DKI senilai Rp 620 juta hanya untuk merenovasi satu buah kolam saja.
Itu hanya dua contoh kecil dari sekian banyak anggaran yang dianggap terlalu boros, mengada-ada dan tidak jelas manfaatnya.
Namun yang saya salut adalah muka temboknya itu. Walaupun sudah pernah ditolak, namun anggaran-anggaran aneh tersebut kembali bermunculan setiap tahunnya dalam wujud yang sama ataupun berkamuflase layaknya siluman ke dalam wujud yang berbeda. Mungkin dikiranya orang akan lelah memonitor berbagai anggaran yang ada sehingga dapat lolos.
Mulai dari membengkaknya anggaran rehab sekolah dari Rp 1,6 triliun (APBD 2019) menjadi Rp 2,57 triliun (APBD 2020).
Lalu anggaran antivirus di mana anggaran sebelum-sebelumnya hanya sekitar Rp 200 juta, melonjak hingga mencapai Rp 12 miliar tahun depan, alias naik 60 kali lipat. Alasannya kalau dulu sewa, maka sekarang mau dibeli lisensinya makanya lebih mahal.
Lho kalau bisa sewa kenapa harus beli? Kan tolol. Apalagi yang namanya software itu setiap tahun selalu berkembang dengan memunculkan versi baru.
Dan tidak ketinggalan renovasi rumah dinas gubernur, yang nilainya Rp 2,4 miliar. Padahal di kota yang sama, masih banyak warganya yang BAB langsung ke kali seperti yang viral beberapa hari belakangan ini.
Perlu pembaca ketahui, bila informasi tersebut didapat dari bocoran yang diberikan oleh Anggota Fraksi Partai Solidaritas DPRD DKI, William Aditya Sarana. Yang berkat ketelitiannya berhasil menemukan anggaran-anggaran yang “tidak wajar” kalau tidak mau disebut “kurang ajar”.
Karena faktanya hinggga menjelang akhir tahun yang tersisa dua bulan ini, pemprov DKI belum mengunggah rancangan Kebijakan Umum Anggaran – Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) DKI 2020 di laman Apbd.jakarta.go id. Sehingga dipertanyakan oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).
“Pemda DKI belum serius terhadap komitmen keterbukaan anggaran,” kata peneliti FITRA Gurnadi Ridwan melalui pesan singkat, Selasa, 8 Oktober 2019. Dalam rencana plafon anggaran 2020, pemerintah mengusulkan anggaran Rp 95,99 triliun.
Menurut Gurnadi, kebijakan pemerintah yang belum mengunggah rencana plafon anggaran 2020 menjadi rawan adanya anggaran ganjil yang berpotensi diloloskan di APBD 2020. Padahal, DKI mempunyai sejarah dana siluman dalam penyusunan anggaran rakyat itu.
“Artinya jika pemda tidak benar-benar transparan sama saja melemahkan sisi pengawasan,” kata Gurnadi. Jika pemerintah segera mengunggah rencana plafon anggaran 2020, masyarakat mampu membantu mengawasi agar anggaran siluman tidak lolos.
Benar sih yang dikatakan oleh Gunardi, bila anggaran siluman berpotensi diloloskan. Bisa jadi selama ini pemprov DKI merasa gerah karena setiap item yang terindikasi “berbiaya siluman” selalu viral dan dipertanyakan masyarakat. Akibatnya anggaran “gemuk” tersebut sering batal disahkan karena keburu direwelin warga.
Bisa jadi cara mengakalinya, ya sengaja diperlambat sampai last minute saat APBD sudah disahkan baru diupload. Dengan demikian meski tetap dicaci warga, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena anggaran itu sudah resmi dan dapat dipergunakan.
Kemudian pertanyaan terakhir, apakah penerapan e-Budgeting menjadi sia-sia? Jawabannya tidak, e-Budgeting tetap menjadi alat yang ampuh untuk mempersulit oknum yang berniat korup, karena item yang sudah dimasukkan tidak dapat diubah lagi semudah mengubah UPS menjadi USB seperti halnya kelakuan oknum DPRD korup di jaman Ahok dulu.
Namun sebagus apapun sistem yang ada, kalau dioperasikan oleh oknum-oknum bermental tidak baik, efektifitasnya tentu akan terpengaruh dan berkurang. Di sinilah peran wakil rakyat semacam William Aditya Sarana dan kawan-kawan sangat dibutuhkan untuk menyisiri anggaran siluman yang saya yakin masih banyak lagi yang belum terbongkar.
Semoga saja anak-anak muda yang kini menghuni gedung anggota dewan dapat mempertahankan idealismenya tidak saja untuk saat ini, namun hingga lima tahun ke depan. Mampu menerapkan budaya kerja yang Bersih, Transparan dan Profesional menggantikan budaya bermental korup yang telah mendarah daging. Bagaimana menurut Anda?