Oleh: Wahyu Sutono
Ketika bulan ini Bangladesh resmi melarang beroperasinya ‘Rikja’ (sejenis becak) karena dianggap sudah tak layak dengan pertumbuhan kendaraan, hingga dianggap menjadi salah satu penyebab kemacetan dan sering menjadi penyebab kecelakaan, di Jakarta yang nota bene kota metropolitan justru akan mengizinkan kembali beroperasinya becak untuk mengakomodir janji kampanye Anies Sandi, bahkan akan dibuatkan jalur khusus untuk area pinggir kota.
Nampaknya rencana ini cukup serius, sebab kendati dikritik berbagai pihak, Anies tak bergeming, bahkan melontarkan salah satu pembelaannya yang membandingkan dengan Jepang seperti yang ia cuitkan: “Becak di Jepang, apakah mereka miskin dan bodoh?” Rupanya Anies lupa bila di belahan dunia manapun pekerjaan yang kurang manusiawi semakin ditekan, terlebih di negara-negara maju. Para pengayuh becak inipun tak semua setuju, karena banyak yang berharap adanya perubahan pekerjaan yang menjanjikan masa depan.
Jinrikisha nama becak di Jepang hanya ada di daerah wisata dan jumlahnya tak sebanyak becak di Indonesia. Misalnya di Kuil Asakusa Tokyo dan Arashima Kyoto, halmana para penarik jinrikisha ini sekaligus bertindak sebagai pemandu wisata yang menguasai bahasa asing. Bahkan tak sedikit yang fasih berbahasa Indonesia. Mereka akan langsung menyapa mas atau mbak bila jumpa dengan wisatawan dari Indonesia. Tapi jangan kaget bila tanya ongkosnya, karena per 15 menit bisa mencapai sekitar 5000 yen.
Jinrikisha berasal dari kosa kata Jin (manusia), Riki (kekuatan atau tenaga), dan Sha (kendaraan). Jadi jinrikisha berarti kendaraan yang ditarik oleh tenaga manusia. Saat Jepang menjajah Indonesia, jinrikisha ini dibawa mereka ke Indonesia, tapi pada perkembangannya orang Indonesia lebih kreatif lalu dibuat menjadi roda tiga dan dikayuh seperti sepeda, seperti yang umum sekarang kita lihat.
Lalu mengapa namanya becak dan bukan jinrikisha. Itu karena orang Tionghoa menyebutnya ‘Be Chia’ (dalam dialek Hokkian) yang artinya kereta. Lalu orang Indonesia mendengarnya becak, dan akhirnya sampai sekarang disebut becak. Seperti kita ketahui bahwa saat itu Tiongkok pun dijajah oleh Jepang, dan jinrikisha dibawa ke Tiongkok. Mungkin yang pernah nonton film mandarin pasti pernah melihat be chia ini.
Jadi sungguh ironis bila kendaraan jadul yang seharusnya sudah ditinggalkan, sekarang akan dimunculkan kembali. Padahal sejak era orba becak terus dikurangi, dan Soeharto menginstruksikan agar dibuang ke laut untuk dijadikan rumpon. Bahkan Bang Ali Sadikin yang kala itu jadi Gubernur DKI Jakarta sempat merumponkan 40.000 becak. Positifnya, selain kota lebih tertata, juga dapat dijadikan berkumpulnya ikan, yang walau saat itu lebih berguna untuk area memancing Soeharto di laut.
Lebih ironis lagi DPRD DKI Jakarta yang sejatinya memiliki fungsi pengawasan terkesan melakukan pembiaran terhadap kebijakan pemkot yang nyeleneh. Seolah lupa bila Asian Games sudah semakin dekat, dimana nanti akan berkumpul ribuan wakil dari semua negara Asia. Begitupun TGUPP yang bejibun dan dibentuk sebagai tim ahli seolah tak bekerja sesuai harapan warga Jakarta. Apakah karena berisi orang-orang yang saat kampanye mendukung Anies Sandi, sehingga keahlian dan profesionalitas menjadi nomor dua.
Jangan kaget bila tak lama lagi becak akan menyemut di Jakarta, dan tak terbayang seperti apa keruwetan di beberapa ruas jalan di Jakarta. Akhir-akhir ini saja para pengayuh becak sudah mulai bermunculan, bahkan ada yang berani muncul di jalan raya, walau itu hanya satu dua saja. Kedepannya sangat mungkin eksodus becak dari berbagai daerah akan kembali ke Jakarta seperti yang diberitakan bahwa dari Indramayu sudah siap-siap mengirim becaknya ke Jakarta.
Sejatinya bila Anies mau cerdas, bisa membuat berbagai program yang lebih menarik. Misalnya dialihkan menjadi supir bajaj modern, atau ‘Becak Wisata’ dimana para pengayuh becak ini diarahkan ke berbagai tempat wisata yang memungkinkan. Tentunya dengan pembenahan dan pelatihan terlebih dahulu, sehingga para pengayuh becak ini memiliki kepribadian yang menarik, serta setidaknya mampu berbahasa Inggris sehari-hari, sehingga ongkosnyapun bisa disesuaikan kemampuan dan peruntukkannya. Selain itu becak-becak ini dibenahi dulu agar terlihat unik, menarik, dan berciri khas.
Kemudian bagi yang tidak tertarik, bisa dialihkan pada sektor lainnya sesuai kemampuannya. Buat apa ada ‘Program Oke Oce’ bila tak dapat mengakomodir mereka menjadi SDM yang berdaya guna dengan pekerjaan yang lebih manusiawi, ketimbang mengayuh becak yang penghasilannya tak seberapa. Yang namanya ‘Keberpihakan’ itu tidak harus seperti ini juga kan. Tapi yang lebih memberikan manfaat bagi semua pihak. Jangan niatnya mau berpihak pada segelintir orang kecil, tapi kemudian mengorbankan orang kebanyakan, dan kota menjadi lebih kurang tertata.
Jadi bagaimana mau kotanya maju, warganya bahagia bila masih banyak keluhan. Mungkin Pemkot Surabaya bisa dijadikan contoh yang berhasil mengalihkan pekerjaan mengayuh becak menjadi Satpam, Penjaga Sekolah, Petugas Kebersihan, dan lainnya. Dengan semrawutnya Pasar Tanah Abang dan Kota tua saja sudah bikin malu dan keluhan banyak pihak, janganlah kemudian ditambah dengan kebijakan yang nyeleneh ini. Fokuslah kerja, dan belajar dari para pendahulunya, dan bukan justru mengkambinghitamkan pendahulunya yang jelas-jelas memang ciamik kinerja dan prestasinya.
“Salam Jakarta Baru”