Kalau saya perhatikan kadang-kadang bingung juga dengan kinerja gubernur dan wakil gubernur Jakarta yang sekarang ini, apakah job description alias tugas pokok dan fungsi gubernur sudah berubah?
Masalahnya begini, saat Ahok menjadi gubernur dia sering mengatakan banyak sekali tugasnya. Saking banyaknya, Ahok harus datang pagi-pagi ke Balaikota dan pulang larut malam. Itupun masih membawa beberapa koper yang berisi dokumen-dokumen yang harus dia periksa dan tandatangani.
Bukan saja hari kerja, akhir pekan pun demikian, Ahok membawa pulang pekerjaannya untuk dikerjakan dirumah dengan maksud agar hari Senin ketika semua pegawai masuk, tidak ada lagi surat-surat ataupun dokumen yang tertunda hanya karena menunggu tanda tangan gubernur.
Dengan alasan pekerjaan pula Ahok malas bepergian ke luar negeri. Beberapa kali ia menolak undangan negara lain. Bukannya sombong, menurut Ahok, pekerjaannya akan banyak dan menumpuk jika ia tinggal sehari saja.
Lazimnya, yang namanya orang kerja pasti yang ditunggu-tunggu adalah akhir pekan, tanggal merah, cuti tahunan dan cuti bersama agar bisa menghabiskan waktu dengan keluarga.
Kalau bisa libur terus deh!…yang penting mah akhir bulan gajian. Itulah mental karyawan di negeri ini termasuk saya juga, malas bekerja tetapi rajin mengharapkan gaji…
Tetapi Ahok berbeda, ketika mendapat jatah cuti, Ahok malah menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Ahok tidak ingin cuti terlalu lama dengan alasan yang sama : akan ada banyak pekerjaan yang terbengkalai.
Ahok berpendapat bahwa masyarakat Jakarta akan dirugikan apabila dirinya “dipaksa” cuti.
Nah, yang membuat saya bingung, kok gubernur dan wakil gubernur yang sekarang sepertinya berbeda. Nggak ada sibuk-sibuknya gitu…ga ada tuh cerita pekerjaannya menumpuk sampai harus dibawa pulang untuk dikerjakan dirumah.
Alih-alih kebanyakan tugas, Sandiaga Uno malah seperti mendapat komunitas baru setelah menjadi wagub. Lari sana lari sini memakai legging dengan geng barunya: Jakarta Berlari. Miris memang!
Gubernur Anies lebih parah, belum genap tujuh bulan bekerja sudah dua kali pelesiran ke luar negeri. Mending kalau ada hasilnya, lha ini nihil!…apa yang mau kita harapkan, lha wong ke luar negeri cuma ingin berfoto dengan Erdogan. Mirip anak-anak alay yg ingin ketemu artis idola…ancur…ancur..!
Dan tak mau kalah dengan Anies, Sandiaga Uno akan pergi mengunjungi Amerika Serikat untuk belajar bagaimana cara mengatasi kemacetan. Tidak tanggung-tanggung, Sandiaga mendapat jatah seminggu lamanya berada di Amerika.
Ya jelaslah tidak mau kalah, lha Sandi yang banyak keluar uang untuk kampanye masak pak Anies yang menikmati jalan-jalan…
Kepergian Sandiaga kali ini terasa getir bagi warga Jakarta. Bagaimana tidak! disaat dia mengatakan sembako mahal, daya beli menurun, listrik naik, warga miskin terpinggirkan, pemerintah gagal mengentaskan berbagai masalah ketimpangan ekonomi sama dengan rezim Najib Razak di Malaysia, dia malah dengan bangganya pamer mau pelesir.
Ibarat kata timingnya juga tidaklah pas. Saat ini warga Jakarta utamanya warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai tengah harap-harap cemas. Mereka terancam banjir kiriman karena bendungan Katulampa di Bogor sudah siaga tiga.
Sedihnya lagi, ternyata kepergian Sandiaga ke Amerika cuma ingin belajar teknologi lampu merah yang konon katanya dapat mengurai kemacetan sebesar 30%. Ha..ha..ha. Om, sehat Om? Lampu merah mana bisa atasi kemacetan!!?
Secanggih apapun teknologi lampu merah, kalau trotoar dibuat dagang, jalan protokol dibuat jalur khusus motor, becak berkeliaran, badan jalan dibuat parkiran, jalan raya ditutup dijadikan lapak jualan, kendaraan pribadi tak terkendali, urbanisasi membludak, warga tidak dipaksa naik moda transportasi masal, dan gubernurnya tunduk sama PKL, ya tetep aja macet, Om!
Disaat Sandiaga jauh-jauh ke Amerika dan baru mau belajar lampu merah untuk mengatasi kemacetan, pak Jokowi, Ahok, pak Alex Noerdin, pak menteri Basuki Hadi Mulyono dan sejumlah kepala daerah lain sedang menggeber pengerjaan MRT, LRT, jalur kereta api, kereta bawah tanah, Jalan layang, jalan tol, jembatan, bandara, tol laut dan berbagai sarana infrastruktur lainnya…
Sementara Indonesia berlari, Jakarta sebagai ibukotanya malah baru belajar merangkak. Kota-kota lain bergerak cepat mengatasi kemacetan, Jakarta diam ditempat karena gubernurnya terkungkung oleh kepentingan PKL dan “preman”…
Padahal mestinya pusat dan daerah bisa bersinergi soal mengatasi kemacetan. Lha ini bagaimana mau kompak wong gubernur dan wakilnya yang seharusnya mendukung pemerintah pusat malah menjadi oposisi. Aneh!
Om, belajar lampu merah ke Amerika Om!