Indovoices.com –Kebijakan izin ekspor benih udang lobster atau benur kerap diutak-atik sejalan dengan pergantian jabatan menteri yang memimpin institusi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Saat KKP dipimpin oleh Menteri Susi Pudjiastuti, wanita kelahiran Pangandaran itu melarang ekspor benur. Berdasarkan data yang kembali dihimpun Medcom.id, Jumat, 25 Desember 2020, kala itu Susi melarang ekspor agar komoditas tersebut tidak habis dijual dengan nilai ekonomi yang rendah.
Susi mengatakan sejak 2000, lobster di laut Indonesia makin langka akibat banyaknya benih yang diekspor. Dengan alasan tersebut, Susi akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia.
Kemudian Susi membudidayakan bibit lobster hingga menjadi lobster dewasa lantaran nilai jual dan ekonomi yang bakal didapatkan nelayan dan negara akan lebih tinggi.
Ia membandingkan dalam satu koper terdapat bibit lobster sekitar 8.000 ekor, harganya setara dengan dua unit sepeda motor Harley Davidson atau 60 unit sepeda Brompton. Namun ketika dibudidayakan hingga dewasa, nilainya setara dengan 20 unit motor Harley Davidson atau 600 sepeda Brompton.
Buka kembali keran ekspor
Seiring dengan pergantian kepemimpinan di periode kedua Presiden Jokowi, pucuk pimpinan KKP dipercayakan kepada Edhy Prabowo. Politikus Gerindra itu pun serta merta mencabut larangan ekspor benih lobster dengan alasan merugikan masyarakat.
Edhy mencabut aturan yang dikelurakan oleh Susi dan kembali mengizinkan ekspor benur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020. Pelegalan ekspor ini dilakukan untuk menggairahkan sektor perikanan budidaya dengan alasan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan.
“Izin (ekspor lobster) yang sudah kami keluarkan ada 26 bahkan akan tambah sampai 31 izin,” kata Edhy, 7 Juli lalu.
Edhy pun membantah pandangan Susi terkait keberadaan lobster yang semakin punah. Menurutnya keran ekspor benih lobster tidak akan mengancam keberlangsungan ekosistem lantaran satu ekor lobster bisa bertelur hingga satu juta. Sebaliknya, kebijakan itu akan menutup celah penyelundupan.
Sejak kebijakan itu dibuka kembali, angka ekspor benih lobster menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor benih lobster mencapai 15,16 juta dolar Australia untuk 6.024 kg benih selama September 2020. Nilai ini meningkat dari Agustus yang hanya meraih 6,42 juta dolar Australia untuk 4.215 kg.
Namun baru seumur jagung, aturan anyar yang melegalkan ekspor benur ini menyandung Edhy sebagai tersangka dugaan korupsi. Pria asal Sumatra Selatan itu diduga menerima uang sebesar Rp3,4 miliar dan USD100 ribu dari PT Aero Citra Kargo, sebagai satu-satunya eksportir benih lobster di Indonesia.
Atas kasus tersebut, Edhy pun mengundurkan diri dari jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan. Jabatan tersebut diisi sementara oleh Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Semasa melaksanakan tugas sebagai Ad Interim Menteri Kelautan dan Perikanan, Luhut menghentikan sementara penerbitan surat penetapan waktu pengeluaran (SPWP) ekspor benih lobster pada 26 November 2020. Penghentian sementara ini berlaku hingga waktu yang belum ditentukan.
Kini, Menteri Kelautan dan Perikanan definitif telah ditentukan. Sakti Wahyu Trenggono dipercaya Presiden Jokowi untuk menduduki jabatan tersebut. Artinya nasib tata kelola benih lobster berada di genggamannya.
Mantan Wakil Menteri Pertahanan itu segera mengevaluasi regulasi terkait tata kelola izin ekspor. Jika ekspor benih lobster dinilai merusak lingkungan, ia akan menyetop kebijakan itu secara permanen.
“Soal benur akan kita evaluasi karena saya cinta keberlanjutan lingkungan,” kata Sakti.
Pelarangan vs pengelolaan
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Suradi Wijaya Saputra menilai pelarangan penangkapan dan ekspor lobster yang pernah diterapkan tidaklah efektif.
Hal ini dikarenakan kebijakan itu tak mampu menghentikan penyelundupan ekspor benur meski tujuan utamanya menjamin keberlanjutan ekosistem dan menguatkan industri lobster di dalam negeri.
Serupa, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI bidang ekologi laut Puji Rahmadi menyebut pelarangan ekspor merugikan nelayan atas aksi penyelundupan. Mereka mengumpulkan benur dari nelayan dengan harga rendah dan menjualnya ke luar negeri dengan harga tinggi.
Pada 2015, penyelundupan yang berhasil digagalkan senilai Rp27,3 miliar dan meningkat menjadi Rp71,7 miliar di 2016. Dari 2015 hingga Juni 2019, pemerintah menggagalkan sebanyak 263 kasus penyelundupan benih lobster dan menyelamatkan 9.825.677 ekor benih lobster yang diperkirakan bernilai Rp1,37 triliun.
Jika melihat kebijakan Edhy, Puji mengatakan secara teori sangat bermanfaat bagi keberlanjutan stok lobster liar yang ada di laut Indonesia. Dengan terjaganya stok yang ada di alam, maka masyarakat dapat memanfaatkan keuntungannya secara berkelanjutan.
Meski demikian, perlu ada peraturan yang mampu mengkompromikan dan mensinergikan kebutuhan dan pemanfaatan secara ekonomi dan kepentingan perlindungan terhadap stok alam agar fungsi ekologi tetap terjaga.
“Mungkin yang perlu dilakukan adalah menentukan jumlah tangkapan maksimum yang tidak menimbulkan kerusakan terhadap ekosistem. Dari angka tersebut dapat ditentukan strateginya dengan pembatasan usaha penangkapan,” jelas Puji.(msn)