Salah satu ciri pemimpin yang cakap adalah dia akan mampu membuat skala prioritas dalam program kerjanya. Dia akan dengan bijaksana mendahulukan program berdasarkan urgensinya. Mana persoalan yang “tidak mendesak dan tidak penting”, “tidak mendesak tetapi penting“, “penting tetapi tidak mendesak” , dan persoalan mana yang memang “sangat penting dan sangat mendesak” .
Dari situ kita bisa membedakan apakah seorang pemimpin tersebut cukup cakap dalam memimpin dan pantas di gaji tinggi, ataukah dia seorang pemimpin yang kurang bijak dan sudah sepantasnya dicopot dari jabatannya.
Dan tentu kalau saya membicarakan kepemimpinan dan pemecatan pasti para pembaca sudah tahu arahnya kemana. Pastilah arahnya ke gubernur Anies. Mengapa gubernur Anies? karena bagaimanapun dia adalah pemimpin Ibukota Jakarta terpilih saat ini yang pernah dipecat Jokowi.
Jelas gubernur Anies telah gagal total menentukan skala prioritas kebijakannya dalam membangun Jakarta melanjutkan apa yang sudah dilakukan Ahok. Apa yang ditempuh Jauh dari Rencana Pembangunan Jangka menengah Daerah atau RPJMD Pemprov DKI Jakarta.
Pertama, pengoperasian becak. Ini saya masukkan pada kategori: “tidak penting dan tidak mendesak”. Tidak penting karena memang di Jakarta sudah tidak sepantasnya kita menggunakan tenaga manusia untuk moda transportasi, dan tidak mendesak juga karena tanpa becak pun ibu-ibu tetap bisa belanja di pasar.
Kedua, program OK OCE. Ini masuk kategori “Penting tetapi tidak mendesak”. Mengapa demikian, karena OK OCE sebenarnya hanyalah program dimana pengusaha yang sudah ada di ajak bergabung. Ini penting untuk menjaga iklim usaha di Jakarta, tetapi tidak mendesak. Kapan pun bisa bergabung. Tidak ada pengaruhnya dengan jumlah omzet penjualan…
Disini rumah DP 0 rupiah saya kategori yang ketiga yaitu: “mendesak tetapi tidak penting”. Harga tanah di Jakarta semakin tinggi dan semakin tidak terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tentu rumah adalah sebuah kebutuhan yang mendesak, tetapi menjadi tidak penting karena ternyata ini adalah program untuk orang kaya. Tidak usah DP 0, orang kaya bisa kredit rumah tapak di pinggiran Jakarta. Lebih untung dibandingkan cicil rusun 20 tahun yang tidak jelas kepemilikannya. Akan beda urusan jika yang dibangun adalah rusunawa untuk relokasi warga.
Lalu apa yang masuk kategori keempat “sangat penting dan sangat mendesak”? Jelaslah penggusuran dan normalisasi sungai. Banjir yang selalu melanda Ibukota Jakarta mengakibatkan perekonomian lumpuh, korban jiwa dan harta benda. Kerugian moril dan material juga tidaklah sedikit. Jelas! Jakarta darurat normalisasi sungai.
Dan sayangnya, gubernur Anies malah menempatkan normalisasi sungai Jakarta pada kategori “tidak penting dan tidak mendesak” sementara becak malah menjadi prioritas utamanya. Apa tidak terbalik-balik. Sungai menyempit yang jelas-jelas menjadi penyebab utama banjir tak kunjung dinormalisasi. Pemukiman kumuh yang berdiri dibibir sungai dibiarkan entah sampai kapan…
Sebenarnya ada satu lagi solusi pemukiman kumuh seperti diatas yang digagas gubernur Anies saat kampanye. Pemukiman kumuh tidak akan digusur tetapi akan dilukis. Coba bayangkan, betapa saktinya gubernur Anies yang akan melukis rumah pinggir sungai. Namun entah mengapa, ide cemerlang itu menguap begitu saja…
Tidak hanya masyarakat, para pengamat pun gemas dengan sikap gubernur Anies ini. Salah satunya dari pakar tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna saat diwawancara detikcom.
“Pemprov DKI sebaiknya harus tegas dan jelas dengan rencana penataan. Artinya, jika terjadi dialog dengan warga, Pemprov DKI harus bisa menempatkan posisinya dengan rencana yang matang dengan segala risiko yang harus dihadapi.”
Dan bukannya merespon dengan besar hati, gubernur Anies malah masih ngotot dengan ide naturalisasi yang nyeleneh itu. Tak pelak, usul naturalisasi ini ditanggapi dingin oleh Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.
“Naturalisasi sungai itu cocok di wilayah Bogor atau Depok yang bantaran sungai masih ada ruang untuk ditanami. Di Jakarta kalau tebing sungai tidak ditalud secara struktural akan mudah longsor. Memerlukan lahan yang luas lebar di kiri-kanan sungai. Yang penting lebarkan dan perdalam alur sungai yang ada. Setelah itu, mau dinamakan istilah ‘normalisasi’ atau ‘naturalisasi’ silakan. Nggak urgen. Yang urgen adalah action segera membenahi bantaran sungai,” paparnya gemas.
Beginilah kalau pemimpin menang karena SARA, akhirnya kualat karena memfitnah Ahok tukang gusur. Hanya tampil asal beda dengan Ahok, rasain sekarang menjadi bulan-bulanan pengamat dan tertawaan warga jakarta yang waras dan sadar bahwa Jakarta memang darurat normalisasi, bukan naturalisasi apa lagi lukisan rumah kumuh…
Kita lihat sampai dimana ngototnya gubernur Anies ini. Apakah masih bersikukuh dengan naturalisasi dan menanam pohon dipinggir sungai ciliwung, apakah akan dilukis, ataukah akan segera sadar dan berbesar hati menormalisasi sungai yang artinya akan melanjutkan penggusuran program Ahok.
Selamat menjilat ludah sendiri!!