Sejumlah pejabat yang dicopot Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa waktu lalu, akhirnya mengadukan pelanggaran prosedur perombakan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Pengaduan tersebut terkait tidak dijalaninya sejumlah prosedur sebelum mencopot seorang pejabat dari posisinya, seperti tidak adanya proses pemanggilan, pemeriksaan, dan sebagainya.
Seperti yang kita ketahui, Anies telah mencopot sejumlah kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD), pada bulan Juni 2018 yang lalu. Mereka yang dicopot, ada yang pensiun, dimutasi, hingga dijadikan staf.
Salah satu yang menjadi korban pencopotan tersebut adalah mantan Wali Kota Jakarta Timur Bambang Musyawardana. Bambang yang mengaku baru pensiun bulan Oktober mendatang.
“Saya nganggur. Nggak ditempatkan,” kata Bambang saat dimintai konfirmasi, Senin16 Juli 2018.
Pemberhentiannya pun hanya disampaikan Anies kepada Bambang melalui pesan eletronik.
“Yang saya masalahkan selama ini saya belum terima keputusan gubernur yang asli, hanya saya di-WA dipensiunkan,” ucapnya.
Selain dirinya, kejadian yang sama juga dialami oleh mantan Wali Kota Jakarta Barat Anas Effendi dan mantan Wali Kita Jakarta Pusat Mangara Pardede. Bambang bahkan mengatakan masa pensiun mereka lebih lama dibanding dirinya.
Sedangkan mantan Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi mengaku tak pernah diperingatkan atau ditegur terkait kinerjanya sebelum dicopot. Tri mengaku hanya menerima telepon sehari sesaat pencopotan, bahwa ia tak lagi menjabat.
“Enggak pernah dipanggil, cuma lewat telepon doang, besok serah terima jabatan,” kata Tri ketika dihubungi, Senin 16 Juli 2018.
Dalam SK yang diberikan Gubernur Anies Baswedan, Tri mengaku ia ditempatkan di Badan Pembinaan Sumber Daya Manusia (BPSDM). Namun ia tak menempati jabatan struktural.
“Enggak ada jabatan, pelaksana aja. Pelaksana pada BPSDM, tunjungan jabatan nol, tidak ada,” kata dia.
Tri mengaku keterangan ini telah disampaikannya ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
Akibat tindakan Anies, kini KASN tengah menyelidiki dugaan pelanggaran aturan dalam perombakan pejabat DKI yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Adapun dugaan pelanggaran dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Pegawai Negeri Sipil. Pasal 24 ayat (1) dalam peraturan itu menyebut sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin, setiap atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin.
Tak urung Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi juga ikut bersuara mempertanyakan alasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberhentikan wali kota karena alasan pensiun.
Apalagi alasan Anies tersebut terkesan mengada-ada, pasalnya wali kota yang dilantik Anies juga ada yang memasuki usia pensiun.
“Pak Anies kan bilang kalau pergantian wali kota ini karena pejabat sebelumnya memasuki pensiun. Itu yang dia tunjuk juga ada yang usia pensiun tapi dilantik,” ujar Prasetio di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Senin 16 Juli 2018
Prasetio mengatakan usia pensiun pejabat biasanya 58 tahun. Namun pejabat eselon 2 bisa saja menjabat sampai 60 tahun.
Mantan Wali Kota Jakarta Pusat Mangara Pardede berusia 58 tahun. Namun, kata Prasetio, Wali Kota Jakarta Utara yang baru yaitu Syamsudin Lologau usianya sudah lebih dari itu namun tetap dilantik.
Jadi tidak heran kalau Gubernur yang sekarang dipanggil dengan sebutan Gabener. Gimana mau benar kalau kerjanya terkesan asal-asalan, padahal lulusan luar negeri dan berlatar belakang dunia pendidikan. Namun caranya jauh dari istilah orang terdidik yang tentunya tahu dan mengerti soal prosedur.
Memang benar, bahwa merotasikan pejabat dan sebagainya adalah kewenangan dari seorang Gubernur, namun bukan karena memiliki kewenangan seperti itu lantas dapat dipergunakan seenak jidatnya. Seiring dengan kekuasaan yang besar, datang juga tanggung jawab yang besar dan sepertinya kata-kata itu tidak dipahami oleh Anies. Kekuasaannya dia mau, tapi tanggung jawabnya dia tidak mau.
Belum lama ini saya baru menulis mengenai tindakannya yang memberhentikan Direktur Utama Jakpro. Berikut saya lampirkan link nya bagi yang belum membaca.
https://www.Indovoices.com/umum/ketika-dirut-jakpro-yang-baru-adalah-kawannya-kawan-anies/
Coba bayangkan, yang diangkat sebagai Dirut Baru untuk menjadi pengganti Dirut lama ternyata adalah kawan dari satu kost Sudirman Said, yang merupakab kawannya Anies. Mending kalau Dirut yang baru memiliki kemampuan lebih di bandingkan Dirut lama. Faktanya Dirut yang baru, yakni Dwi Wahyu Daryoto yang saat ini duduk sebagai direktur SDM, Teknologi Informasi dan Umum Pertamina ternyata diketahui tidak lulus asesmen kompetensi bakal calon direktur BUMN tapi anehnya bisa diangkat menjadi Dirut.
Nah kembali ke masalah pencopotan pejabat yang dilakukan Anies tersebut. Kenapa terkesan terburu-buru?, sampai-sampai prosedur pun dikangkangi. Apakah karena sudah tidak tahan karena didesak terus oleh pendukungnya yang ribut meminta jatah?. Kalau tujuannya hanya untuk menampung pendukungnya, bagaimana lagi kita bisa mengharapkan pejabat-pejabat yang terpilih nantinya lebih bagus kerjanya dari yang lama?.
Soal kapabilitas, soal profesionalitas dikesampingkan, yang diutamakan hanyalah kedekatan personal alias nepotisme. Padahal kita tahu, nepostime itu erat kaitannya dengan kolusi dan korupsi. Mustahil si Gubernur tidak tahu akan hal ini, kecuali kalau dia memang bermaksud sengaja membuat kacau Jakarta sehingga pemerintah pusat bertindak. Kalau ditindak, kan dirinya bisa playing victim sebagai gubernur yang dizolimi dan memancing simpati pendukungnya. Apakah demikian tujuan Anda, Pak Gubernur?.
Trailer Pencopotan Walikota