Baik saat kampanye maupun setelah menjabat, Anies beberapa kali pernah mengkritisi Ahok mengenai pemakaian dana CSR.
Pada 29 Oktober 2016 lalu misalnya, ketika dirinya ditanya oleh salah satu relawannya soal cara Anies mencegah korupsi, ia pun menyinggung CSR.
Anies menilai perlu adanya tata kelola pemerintahan yang benar. Dia menyinggung masalah pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR). Dana CSR yang masuk, kata Anies, penggunaannya yang tepat harus melalui APBD, bukan langsung digunakan untuk kegiatan.
“Kalau langsung kita enggak pernah tahu (sesuai atau tidak),” ujar Anies.
Contoh lainnya lagi soal ketidakyakinannya tentang dana CSR juga diungkapkannya ketika dirinya memutuskan untuk merekrut 74 orang Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
Kritikan terkait anggaran untuk tim ini yang naik dari Rp 2,35 miliar menjadi Rp 28,99 miliar, dijawab Anies dengan menyinggung dana CSR.
“Jadi di APBD (anggaran untuk TGUPP) itu ada, jangan di luar APBD, apalagi dari dana-dana CSR yang proses masuk dan keluarnya belum tentu bisa dikendalikan dengan baik,” kata Anies 20 Januari 2018.
Seakan tidak mau kalah dengan si gubernur, wakilnya Sandiaga Uno pun ikut-ikutan mengkritik kebijakan Ahok dalam menggunakan dana CSR dan kontribusi tambahan. Bahkan dia mengaku sudah mengingatkan hal tersebut jauh sebelum kontestasi Pilkada DKI.
“Ini pertama kali saya angkat dulu jauh sebelum kontestasi (pilgub) dan tahap sekarang. Bahwa dana CSR yang digunakan untuk membangun sebagai kompensasi daripada kebijakan itu harus ada oversite,” ucap Sandiaga yang saat itu statusnya masih sebagai Cawagub di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Jumat 31 Maret 2017.
Namun saat ini, kritikan yang dilontarkan dulu sepertinya harus dijilat kembali oleh mereka. Pasalnya dua infrastruktur baru yang segera dibangun di DKI Jakarta ternyata berasal dari dana non-APBD. Kedua infrastruktur itu adalah jembatan gantung untuk warga Srengseng Sawah, Jagakarsa, dan stadion kelas internasional untuk Persija.
Ketika ditanya mengenai stadion untuk Persija beberapa hari yang lalu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga memastikan stadion kelas internasional seperti ‘Old Trafford’ yang dulu pernah dijanjikannya, akan dibangun melalui kerja sama dengan pihak swasta.
“Kami sudah putuskan (pembangunan stadion) ini adalah kemitraan. Pemerintah menyediakan lahan, kami menawarkan swasta membangun, dan kami akan buka proses bidding (lelang). Begitu selesai, harapan kami bulan kedua selesai, dan bisa diperlihatkan kepada calon investor,” kata Sandiaga saat di Kemayoran, Jakarta Pusat, Jumat 2 Februari 2018.
Pembangunan infrastruktur harus bermitra dengan swasta, demikian kata Sandiaga. Sebab jika menggunakan APBD, akan mengurangi anggaran pelayanan dasar ke warga.
Sandiaga lalu mencontohkan dua infrastruktur baru di DKI yakni velodrome dan equestrian yang membutuhkan Rp 30-40 miliar per tahun untuk perawatannya. Biaya ini dianggap membebani APBD.
“Kami enggak mampu, anggaran terbatas. Kami perlukan (APBD) untuk pendidikan, kesehatan, dan lapangan pekerjaan. Jadi, kalau misalnya swasta yang mengelola lebih memiliki kemampuan mengelola infrastruktur yang lebih baik,” ujarnya.
Bagaimana APBD tidak terbatas, bila anggaran banyak terpakai untuk hal-hal yang tidak perlu, seperti menggaji anggota TGUPP yang jumlahnya sampai 74 orang yang hingga hari ini baru terbentuk satu bidang yaitu KPK KW, membangun lift di rumah dinas walau kemudian dibatalkan setelah banyak dikritisi oleh masyarakat. Belum lagi pemberian dana hibah kepada 104 organisasi yang belum tentu memiliki fungsi dan peran yang jelas di masyarakat.
Dan selain stadion, penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) dari swasta juga akan diterapkan untuk pembangunan jembatan gantung di Jagakarsa. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang pernah mendatangi dan menjuluki jembatan tersebut sebagai jembatan “Indiana Jones”, memutuskan menggunakan dana CSR untuk pembangunan jembatan tersebut agar bisa cepat. Sebab lagi-lagi pembangunan jembatan tak dianggarkan di APBD.
Jadi silahkan kita nilai sendiri saja, untuk hal-hal yang tidak penting, seperti renovasi air mancur, atau pembangunan lift di rumah dinas seperti yang saya sebutkan diatas, perjalanan dinas yang sampai naik 3 kali lipat, sudah tersedia anggaran jauh-jauh hari sebelumnya.
Tapi ketika berkaitan dengan hal lain seperti renovasi stadion dan jembatan gantung yang jelas-jelas dibutuhkan masyarakat, anggarannya tidak ada. Ujung-ujungnya ya menggunakan cara Ahok, yaitu CSR.
Perbedaannya, Ahok menggunakan CSR supaya bisa menghemat APBD, sedangkan Anies Sandi menggunakan CSR karena jatah APBD sudah habis dibagi-bagi.
Saya tidak tahu apakah di APBD yang sekarang ini sudah dipersiapkan anggaran untuk banjir atau tidak, bila tidak ada. Berdoa saja tanggul jangan sampai jebol, karena bila sampai jebol, siap-siap warga yang nanti disuruh swadaya untuk memperbaikinya sendiri atau menunggu bantuan dari swasta melalui CSR-nya.
Salam nyontek CSR.