Gubernur Anies tersenyum sumringah tatkala Jakarta dinyatakan mendapat predikat WTP atau Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Tak hanya gubernur Anies, Sandiaga dan sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta pun memberikan standing aplaus atas pencapaian ini. Maklum, sudah sejak 2012 baru kali ini predikat ini mampir ke Jakarta.
Lalu apakah dengan predikat ini otomatis membuat publik semakin percaya kepada Anies dan Sandiaga dalam mengelola keuangan DKI yang APBD nya mencapai 70 triliun? Seharusnya iya. Tetapi sayangnya yang terjadi justru sebaliknya, predikat ini malah mengundang cibiran publik.
Lha apa tidak dicibir, predikatnya WTP tetapi banyak sekali anggaran siluman yang tidak wajar, proyek abal-abal, hingga alamat palsu penerima dana hibah. Sebut saja dana renovasi kolam DPRD, tender lift rumah dinas gubernur, hingga rehab berat 119 sekolah di Jakarta.
Ini belum termasuk program menghambur-hamburkan uang untuk sebuah program yang sifatnya temporari dan tidak menyelesaikan persoalan seperti mengecat kampung kumuh, pembangunan bedeng ilegal di Kampung Aquarium, pengadaan pohon palsu hingga 35 miliar dana untuk buka puasa bersama.
Program dibuat situasional dan serba dadakan hingga akhirnya dana terbuang namun warga Jakarta tidak merasakan manfaatnya baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Lha begini kok bisa-bisanya mendapat predikat WTP. Wajarlah kalau WTP ini malah diplesetkan netizen menjadi Wajar Tanpa Prestasi. Sangat memalukan!
Coba bandingkan dengan kementerian KKP dibawah kepemimpinan menteri Susi yang banyak melakukan penghematan, memberikan asuransi kepada nelayan, mengembalikan triliunan rupiah kepada negara, dan segudang prestasi lainnya malah hasil auditnya disclaimer. Apakah seperti ini kualitas audit keuangan dari BPK?
Wajarlah Bu Susi kecewa dan terheran-heran dengan hasil audit kementeriannya.
Kalau mau jujur, sejak BPK diberi predikat “ngaco” oleh Ahok saat mengaudit Sumber Waras dan salah satu auditornya divonis bersalah telah menerima suap dan gratifikasi, publik sesungguhnya sudah tidak lagi percaya dengan BPK.
Apalagi ditambah dengan fakta bahwa predikat wajar tanpa pengecualian ini tidak menjamin sebuah instansi atau daerah bebas korupsi.
Ada sebuah daerah yang dinyatakan WTP tetapi ternyata banyak ditemukan dikorupsi. Sebaliknya, ada juga sebuah kementerian yang membenahi sistem keuangan bahkan mengembalikan potensi kerugian uang kepada negara malah “disclaimer”.
Anomali seperti inilah yang kemudian membuat publik sudah tidak begitu antusias menanggapi hasil audit dari BPK karena tidak ada persesuaian antara predikat dengan kenyataan di lapangan.
Lalu mengapa gubernur Anies masih saja bangga dengan predikat WTP meski jelas-jelas tidak sesuai dengan kinerjanya mengelola keuangan? Kemungkinan ada dua hal :
Pertama, gubernur Anies bermental kekanak-kanakan. Hanya anak-anak yang bangga dengan predikat dan nilai rapor, orang yang pemikirannya dewasa akan lebih bangga dengan kemampuan ketimbang nilai rapor.
Kedua, gubernur Anies orientasinya hasil dan bukan proses. Orang yang berorientasi pada hasil biasanya minim kreasi dan menyukai cara-cara instan. Jiplak sana contek sini yang penting dapat nilai bagus. Begitulah kira-kira…
Membicarakan kepemimpinan gubernur Anies memang tidak ada matinya, kadang tulisan baru sampai di draft sudah muncul lagi isu baru yang tak kalah koplak. Dan besok saya akan tulis kekoplakan- kekoplakan yang lain. Tapi tunggu besok yah,, sekarang laper mau cari ketoprak dulu…abis itu tidur..
Selamat koplak!