Jangan tertawa! Gak Lucu….. 🙂
Gudbener adalah kombinasi kata good dan benar, yang artinya harapan kepada beliau supaya menjadi pejabat yang baik dan benar, sebuah harapan untuk penjabatnya menjadi amanah. Jelaskan kenapa pembaca dilarang tertawa 🙂
Sebelum membahas Pergub edisi teranyar 42/2019 tentang PBB-P2, kita kilas balik sejenak.
Dalam satu bulan ini, Gudbernur DKI Jakarta, mengeluarkan tiga Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Sebut saja Pergub DKI Nomor 38 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Pergub Nomo 259 tahun 2015 tentang Pembebasan PBB-P2 atas rumah, rumah susun sederhana sewa dan rumah susun sederhana dengan nilai jual objek pajak sampai dengan Rp 1 miliar.
Pergub ini ditandatangani oleh AB pada tanggal 9 April 2019 dan diundangkan pada 15 April 2019. Dalam pergub ini, terutama pasal 4A yang menyiratkan kebijakan PBB-P2 untuk hunian dibawah Rp 1 miliar akan dihapuskan.
Kebijakan ini menimbulkan keresahan masyarakat. Sehingga, Gudbener pun mengeluarkan video khusus untuk menjelaskan pergub tersebut. Dan melayangkan surat hak jawab pemberitaan kepada banyak media atas pemberitaan yang dinilai salah.
Tak lama kemudian, AB mengeluarkan Pergub DKI Nomor 41 tahun 2019 tentang Pengenaan PBB-P2 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Objek Pajak Bangunan Berupa Rumah Tahun Pajak 2019. Pergub ini ditandatangani AB pada 12 April 2019 dan diundangkan pada 15 April 2019.
Dalam pergub ini, pasal 3 diatur pengenaan PBB-P2 dikecualikan terhadap obyek pajak berupa tanah kosong. Terhadap tanah kosong yang tidak dibangun apa pun akan dikenakan berlaku PBB-P2 sebesar dua kali yang terhutang pada tahun berkenaan.
Kemudian, bila tanah kosong tersebut dibangun ruang terbuka hijau oleh wajib pajak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum secara cuma-cuma, maka pengenaan PBB-P2 akan diberikan potongan sebesar 50 persen.
Namun, bila lahan kosong tersebut dibangun sebuah bangunan oleh wajib pajak, maka tetap akan dikenakan PBB-P2 dengan jumlah yang tetap.
Berselang 15 hari dari Pergub Nomor 41/2019, AB kembali mengeluarkan Pergub terkait PBB. Yakni Pergub DKI Nomor 42 tahun 2019 tentang Pengenaan pembebasan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) untuk pegawai negeri sipil (PNS), TNI, Polri, Guru, Dosen dan veteran atau pejuang kemerdekaan. Pergub ini diterbitkan pada tanggal 24 April 2019.
Dalam pasal 2 pergub tersebut, pembebasan PBB-P2 100 persen dapat diberikan kepada wajib pajak
1. Orang pribadi yang berprofesi sebagai Guru dan Tenaga Kependidikan dan/atau Dosen dan Tenaga Kependidikan Perguruan Tinggi, termasuk pensiunannya;
2. Veteran dan Perintis Kemerdekaan;
3. Penerima gelar Pahlawan Nasional;
4. Penerima Tanda Kehormatan berupa Bintang dari Presiden Republik Indonesia;
5. Mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden, mantan Gubernur dan mantan Wakil Gubernur;
6. Purnawirawan; dan/atau
7. Pensiunan (PNS).
Pasal 3 5. a.&b menyiratkan “Pembebasan PBB P2 untuk guru, pensiunan PNS dan purnawirawan TNI/Polri berlaku sampai 2 generasi di bawahnya. Sedangkan sisanya dapat gratis hingga 3 generasi adalah pahlawan, penerima bintang tanda jasa dari presiden”, ungkap Gudbener.
Seperti diketahui dalam UU PDRD P-2 Kepala daerah (dalam hal DKI, Gubernur) diberi kewenangan untuk memberikan keringanan. Wewenang ini dipakai sepenuhnya oleh Gudberner DKI untuk membuat produk hukum berupa Pergub.
Pergub 42/2019 mendapat banyak pujian dari berbagai media cetak dan sambutan positif dari sebagian kalangan masyarakat, Namun ada juga kritik dari masyarakat lainnya. Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna menilai positif kebijakan Anies itu. Di satu sisi Anies memang menggratiskan PBB pada sejumlah profesi yang dianggap punya jasa pada bangsa dan negara. Namun di sisi lain, Anies juga meningkatkan tarif PBB di kawasan bernilai ekonomi tinggi.
“Itu memang bentuk apresiasi yang sudah berjuang pada masyarakat dan diberikan ruang untuk tidak bayar pajak,” kata Yayat. Lain Yayat, lain pula Nirwono , Nirwono mengatakan “Kalau saya lihat kebijakannya cenderung politis, artinya ingin menyenangkan semua orang,” “cuma politis” ujar Nirwono dalam sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/4).
Saya memaklumi komentar2 masyarakat dan para pengamat yang beraneka ragam diatas. Tetapi jika kita jujur perhatikan dengan seksama Pergub ini dimulai dari konsideran yang keliru, ada kesalahan fundamental. Karena diawali oleh salahnya konsideran dalam memberikan dispensasi pengenaan pajak PBB-P2. Konsideran utama Gudbener memberlakukan Pergub ini. “Bahwa untuk memberikan pembebasan seluruhnya PBB P2 sebagai bentuk penghargaan atas jasa jasa perjuangan dan pengabdian yang telah diberikan kepada bangsa dan negara kepada Guru dan Tenaga Kependidikan, Dosen dan Tenaga kependidikan PT, para veteran RI, penerima gelar pahlawan…..”
Frasa “Jasa jasa perjuangan dan pengabdian” dipakai sebagai alasan, seolah olah hanya profesi Pendidik saja yang berjasa di Republik ini? Profesi lainnya lebih rendah jasanya alias profesi kelas dua. Cara berpikir partisan dan sektoral ini sangat tidak layak ada dalam diri seorang sekelas Gudbener. Bagaimana mungkin dia mau mengejawantahkan sila ke 5 Pancasila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kalau cara nalarnya seperti itu? Sebuah produk hukum dimulai dengan konsideran yang keliru akan berujung kepada aturan yang salah pula. Bandingkan dengan Ahok ketika dia membebaskan PBBP2 dengan nilai objek pajak 1 Milyar. Konsideran yang dipakai adalah “dalam rangka meringankan beban hidup wajib pajak orang pribadi akibat perlambatan ekonomi“. Ahok sangat jelas, konsideran nya jelas, diberlakukan kepada seluruh masyarakat wajib pajak, tidak ada kelompok profesi masyarakat yang dikecualikan. Memang suatu Peraturan yang baik itu harus dimulai dari konsideran yang benar pula. Gudbener sudah keluar kontek dan gagal paham dalam membuat suatu produk hukum dengan pemahaman yang tidak nyambung.
Selain alasan diatas , timing yang dilakukan pun tidak tepat, Gudbener melakukan revisi lebih dikarenakan oleh kepanikan atas reaksi masyarakat terhadap perubahan-perubahan Pergub sebelumnya, bukan karena adanya urgensi yang mendesak. Bayangkan dalam 1 bulan Gudbener membuat 3 Pergub untuk isu yang sama, betapa dungu nya beliau? Terindikasi tidak adanya perencanaan yang matang dari kerja beliau, aturan hukum dibuat begitu reaktif, bukan karena suatu kebutuhan yang yang direncanakan dari awal, setelah menuai protes dari masyarakat Gudbener segera membuat aturan baru, alhasil produk aturannya compang camping disana sini. Bukan kah suatu produk hukum yang baik itu harusnya dapat berlaku selama mungkin, agar dapat di sosialisasi dan diimplementasi dengan efektif dan efisien. Suatu produk hukum yang berubah rubah dalam waktu singkat ( apalagi dalam 1 bulan 3 x) adalah ketidakpantasan.
Tak bisa dipungkiri, pasca Pilpres 2019, banyak lembaga survey menempatkan AB sebagai kandidat terkuat untuk capres 2024. AB menyadari posisi jabatannya yang exotic ini untuk mendongkrak elektebilitas maupun popularitas. Karena DKI terletak di jantung pusat pemerintahan, menjadi pusat sorotan media. Sekecil apapun kesalahan akan menggerus popularitas, dan mengundang kritik, karier politik masa depan taruhannya.
Beban lain adalah, prestasi Gudbener selalu dibandingkan dengan prestasi Gubernur sebelumnya. Celakanya 3 Gubernur sebelumnya menunjuk kan standard kinerja yang tinggi. Jokowi, BTP dan Djarot, sudah memberi rekam jejak yang mengesankan, sehingga Gudbener ada dalam bayang bayang ke 3 Gubernur terdahulu , terutama dengan petahana BTP yang fenomenal kinerjanya dan sampai hari ini pun AB tidak bisa keluar dari bayang-bayang BTP. Terkesan Gudbener punya prinsip asal bukan peninggalan BTP, sehingga apapun produk peninggalan BTP dan betapa bagus pun itu “harus” di degradasi oleh Gudbener. Contoh bagaimana gudbener begitu “kekeuh” dengan isu naturalisasi daripada normalisasi, tidak ada normalisasi dalam 2 tahun terakhir karena tidak adanya pembebasan lahan oleh Pemprov DKI, akhirnya Jakarta disepanjang aliran Ciliwung tenggelam lagi. Jangan jangan besok warisan2 fenomal BTP seperti jalan layang semanggi 2 pun akan ditebang oleh gudbener 🙂 atau jangan jangan Kalijodoh yang sudah disulap menjadi taman interaksi yang bagus akan dibiarkan kumuh dan dikembalikan fungsinya sebagai tempat lokalisasi? 🙂 Semoga gudbener masih cukup waras untuk tidak melakukan itu! Sejak hari pertama kepemimpinan Gudbener sudah tertatih tatih mengimbangi kinerja para pendahulunya, belum lagi harus memenuhi janji janji kampanye yang tidak realistis untuk diwujudkan, sehingga Gudberner terjebak dalam lingkaran setan janji janji kampanye.
Well, kita perdalam dan kita bedah, lebih jauh dimana ngawur nya Pergub ini.
“Orang pribadi yang berprofesi sebagai Guru dan Tenaga Kependidikan dan/atau Dosen dan Tenaga Kependidikan Perguruan Tinggi”. Profesi guru dengan adanya tunjangan kinerja guru dan sertifikasi guru sebenarnya bukanlah kelompok yang rentan membayar pajak PBB. Mereka tidak lebih layak menerima dispensasi ini dibandingkan dengan tenaga kerja lainnya seperti, petugas kebersihan, supir angkutan umum, pegawai negeri lainnya, petugas medis, petugas keamanan, dan seterusnya. Sekali kita memberikan dispensasi berdasarkan ego sektoral profesi, kita akan terjebak pada perdebatan tak berujung siapa yang lebih berjasa kepada Republik ini. Inilah kebodohan yang paling mendasar yang dibuat oleh Gudbener Dispensasi ini hanya akan menyulut kecemburuan sosial dari profesi lainnya. Privelege yang diberi kan kepada guru dan dosen berlebihan! Gudbener menggunakan kewenangan nya secara ngawur, mentang mentang dia anak seorang guru, pernah jadi dosen dan pernah menjadi menteri pendidikan. Sesungguhnya ada ratusan profesi lagi yang juga besar jasanya untuk Republik ini. Dasar pemikiran yang sempit, dan kurang menghargai profesi profesi lainnya, sangat jauh dari nilai nilai sila ke lima (5) Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bagaimana mau mengimplementasikan Pancasila secara murni dan konsekuen, kalo dalam hal sekecil ini saja Gudbener gagal paham. Ada ratusan profesi dan kelompok masyarakat yang termarginalkan yang rentan sesungguhnya lebih membutuhkan penghapusan pengenaan pajak PBB P2 ini, kenapa mereka justru tidak mendapatkannya, ada apa dengan Gudbener?
“Perintis dan Veteran Kemerdekaan”, sebenarnya untuk kelompok yang secara teoritis sudah sangat kecil populasi , Gudbener seharusnya tidak hanya sekedar memberi dispensasi PBB P2, melainkan menyediakan tunjangan kesejahteraan hari tua, mencakup seluruh kebutuhan hidup mereka. Jikalau Gudbener menganggap mereka berjasa kita sangat meng apreasisinya! Masalah nya kelompok ini di DKI Jakarta diperkirakan tidak lebih dari 500 orang! Republik ini sudah merdeka 74 Tahun, mereka yang pernah ikut merintis Kemerdekaan dan menjadi veteran pastilah sudah sangat uzur lebih dari 90 tahun usianya. Saya meyakini mereka dengan kategori ini tidak akan lebih dari 500 orang di DKI, Selayaknya Gudbener menggunakan uang operasional pribadinya untuk men support segelintir veteran ini, atau cara lain membuat Pergub tersendiri, dengan menjamin semua kebutuhan hidup mereka di hari tua berasal dari dana APBD DKI yang besar itu, daripada di dihibahkan gak jelas kepada yayasan dan ormas yang tidak jelas kontribusinya. Ironis sebenernya, kebijakan Gudbener ini lebih ke politis pencitraan. Para veteran itu memang layak dibebaskan pengenaan pajak PBB P2, tapi sialnya kemungkinan besar tempat tinggal/ rumah hunian pun mereka belum/tidak punya? Begitu lah ngawur cara pikir Gudbener.
“Penerima gelar pahlawan dan tanda Penghormatan lain”, jumlah mereka pun tidak signifikan. Sebaiknya kepada mereka yang berjasa ini diberikan saja tunjangan khusus , dengan tunjangan tersebut mereka yang sejatinya pahlawan dan cinta tanah air, berjasa pada Negara pastilah patriot berjiwa besardan akan legowo membayar pajak PBB, kalaupun masih tidak mampu mereka tetap dapat diberikan dispensasi khusus sesuai ketentuan dalam UU PDRD P2, jumlah mereka tidak lah banyak .
Kemudian mantan Presiden, wakil presiden; mantan Gubernur dan wakil gubernur, berapa orang sih jumlahnya? Kenapa harus di eklusifkan dalam Pergub? Apakah mereka benar benar tidak mampu? Case isteri mantan Gubernur Henk Ngantung, adalah sebuah pengecualian, kenapa akhirnya harus di masukkan ke dalam daftar dispensasi? , bukan kah untuk mantan pejabat ini disediadakan tunjangan pensiun yang sudah sangat baik sekarang ini? Logika cari muka Rakyat yang nyaris tak masuk akal, Nies.
Khusus kepada Purnawiran dan pensiunan adalah hal yang wajar dan baik untuk diberikan dispensasi. Tetapi akan lebih baik diberikan kepada semua kelompok pensiunan!! Demi asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lantas harus bagaimana? 🙂
Gudbener sejatinya harus meminta maaf atas aturan Pergub yang dibuatnya itu jauh dari nilai nilai Pancasila sila ke 5 (lima) keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
DPRD DKI harus segera memanggil Gudbener untuk meminta pertanggungjawaban atas aturan yang sembrono dan tidak berkeadilan tersebut, jikalau perlu wacanakan impeachment karena Gudbener telah gagal menjalankan amanat Pembukaan UUD 45 dan Pancasila.
Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Dirjen Otonomi Daerah harus turun tangan menegur Gudbener untuk mencabut dan merevisi ulang Pergub PBB P2 no 42/2019.
Masyarakat, warga DKI yang merasa diperlakukan tidak adil dapat mengajukan uji materi ke MA.
Oke lah, sebagai warga yang baik dan mengingkan Indonesia yang betterthangood, dengan maksud ingin mematuhi perintah “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu”. Saya ingin memberikan sumbang saran bagaimana bagusnya pajak PBB P2 ini di revisi kedepan
Maksud dan niat baik Gudbener harus kita hargai dan apresiasi. Sejatinya Pergub itu harus berkeadilan sosial dan dapat berlaku untuk semua kelompok masyarakat. Pengenaan PBB P2 ini sudah pernah diuji di MK. Yang Mulia Hakim MK belum dapat mengabulkan permohonan pembatalan UU pajak PBB P2, lebih karena pertimbangan praktis ekonomis, daripada pertimbangkan hukum adanya benturan UU 12 /85 jo UU 28/2009 dengan UUD 45 pasal 28 H (1), karena masih besarnya dana pajak yang dibutuhkan untuk pembangunan Daerah Daerah.
Sebagai jalan keluarnya Gudbener harusnya melakukan ini.
Yang perlu gudbener lakukan sederhana, bebas kan saja semua pengenaan pajak PBB untuk tempat tinggal rumah pertama dari setiap warga DKI (Indonesia) tanpa pengecualiaan. Berapun ukuran rumahnya, berapapun nilai objek NJOP tempat tinggal itu, selama tempat tinggal pertama dan difungsikan sebagai hunian , bisa anda bebaskan pengenaan pajak PBB nya. Dasarnya adalah UUD 45 pasal 28 H (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapalkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” Konsideran ini dapat mematahkan semua konsideran yang dipakai oleh UU Pajak PBB no 12 tahun 1985 jo UU PDRD P2 28 tahun 2009. Dan anda tidak akan kehilangan sumber pendapatan PBB P2 secara signifikan.
Oh ya walau sudah memberi saran kepada anda untuk bagaimana bertindak seharusnya, anda bukan lah orang yang akan saya dukung baik dalam pilgub mendatang apalagi pilpres 2024! catet itu bro!
Salam betterthangood Indonesia
Jakarta 29 April 2019