Sejak Pilkada DKI Jakarta 2017 berakhir, Jakarta memang seperti memasuki era baru. Kalau dulu sekitar 5 Tahun yang lalu hingga beberapa bulan yang lalu, yang jelek-jelek diusahakan untuk dirapikan serapi-rapinya, bahkan kadang harus berperang urat syaraf antara pemerintah provinsi, aparat dan rakyat.
Kini agak berubah, yang rapi-rapi pun sedang disembrawutkan mengatas-namakan rakyat kecil. Bahkan, aturan yang melarang pun dilanggar oleh pembuat kebijakan.
Kita bisa melihat penataan Tanah Abang. UU jalan dilanggar demi mendapat citra pro wong cilik, pengguna jalan yang juga ada wong cilik-nya ditutup, trotoar yang pejalan kakinya yang juga ada wong cilik-nya dijadikan tempat parkir motor. Kemudian saat dikritik dibilang tidak pro rakyat kecil. Aneh kan?
Kita juga bisa melihat rumput monas yang diizinkan untuk diinjak, pergub yang sudah sangat baik dalam menjaga rumput Monas ini rencana akan dicabut, mengatasnamakan siapa? Rakyat kecil atau demi nanti bisa memfoya-foyakan APBD dengan alasan ingin menanam rumput monas lagi? Entahlah…
Trus yang terbaru saat meminta BPN untuk membatalkan HGB di Reklamasi yang terkesan ngotot dan maksa. Padahal, untuk membatalkan tidak semudah itu, sedangkan HGB di pulau Reklamasi itu sudah sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. Tidak hanya itu, saat Anies disarankan untuk mengugat ke PTUN, dia pun menolak. Haizzzz… macam anak kecil, ini tidak mau, itu tidak mau…
Pertanyaannya jika kelak HGB itu tidak dibatalkan apa yang terjadi?
Apakah akan membawa-bawa nama wong cilik lagi? Karena kalau kita ingat saat masa kampanye, Pembatalan proyek reklamasi juga mengatas-namakan wong cilik.
Menurut asumsi saya pribadi, mungkin kelak Anies akan beralasan, “Loh… Pembatalan HGB kan demi wong cilik kok ditolak oleh BPN”.
Sekali lagi itu hanya asumsi kemungkinan yang akan terjadi.
Luar biasa memang Gubernur baru Jakarta ini yang sedemikian pro wong cilik hingga tidak bisa berpikir yang sewajarnya.
Padahal, antara pro rakyat kecil dengan taat aturan adalah dua hal yang berbeda. Boleh pro rakyat kecil, tapi jangan sampai mengabaikan aturan yang ada. Sederhananya begitu.
Saya selalu bertanya-tanya, kenapa yang positif tidak dilanjutkan saja dan ditingkatkan lebih baik lagi, hmm… atau minimal dipertahankan dan dijaga supaya tidak menjadi lebih buruk lagi?
Kenapa Harus dirusak sedemikian rupa?
Apa karena Gubernur Zaman Now-nya menganut sistem “Asal beda dengan Ahok”? Belum move on dari bayang-bayang Gubernur lama?
Di Jakarta Zaman now, Gubernur-nya sendiri seperti mengajak atau lebih parahnya mengajarkan serta memberi contoh buruk kepada rakyat bahwa boleh untuk melakukan segala hal buruk termasuk melanggar aturan dan prosedur mengatas-namakan rakyat kecil.
Asal mengatas-namakan rakyat kecil, maka sebagai Gubernur, Beliau akan melakukan keberpihakan walaupun itu mengacaukan segala tatanan yang ada, melanggar UU ataupun melakukan perusakan serta menghabiskan anggaran yang asalnya dari pajak bukan wong cilik. hufff…
Ini jelas sangat membahayakan Kota Jakarta selaku Ibu Kota Indonesia. Mau jadi apa Indonesia ini jika Ibu Kotanya dikelola secara sembrawut dan sangat jauh dari profesionalitas seorang pemimpin, pemimpin yang memimpin berdasarkan kesan buruk pribadi (harus beda) dengan Gubernur terdahulu? Ada dendam pribadilah istilahnya.
Atau karena ingin menciptakan citra wong cilik demi sebuah ambisi kekuasaan? hmm… entahlah..
Kita bisa melihat kebijakan dalam menata PKL Tanah Abang, sungguh di luar nalar manusia. Hanya karena para PKL mengatas-namakan rakyat kecil, langsung difasilitasi dengan penutupan jalan. Kepentingan pengguna jalan yang jauh lebih besar dari para PKL yang sebenarnya sudah disediakan tempatnya di Blok G Tanah Abang pun diabaikan.
Apakah nanti setiap ada PKL di trotoar akan difasilitasi dengan penutupan jalan? Mudah-mudahan sih tidak. Karena kalau itu terjadi, sungguh tidak kebayang kondisi Jakarta kelak.
Mungkin kelak Jakarta akan disebut kota PKL karena seluruh jalan ditutup untuk PKL.
Apapun itu, yang jelas ini benar-benar sebuah kemunduran bagi bangsa ini, dimana semua pelanggaran dan kesembrawutan boleh dilakukan di Ibu Kota asal mengatas-namakan rakyat kecil.
Rakyat kecil bebas melanggar bagaikan raja yang tidak pernah salah, karena ada Gubernur yang akan melakukan keberpihakan pada mereka.
Rakyat kecil rajanya, sedangkan Gubernur seperti menteri yang siap bekerja memfasilitasi rajanya. Jadi agak terbalik memang, tapi itulah fakta Jakarta Zaman Now. Haizzzz…. memprihatinkan
Mereka lupa tidak semua pengguna jalan yang jalannya ditutup itu rakyat kaya atau mampu, ada juga rakyat kecil yang terbiasa lewat sana saat pulang kerja ingin buru-buru pulang ketemu keluarga. Namun karena ditutup, ada rakyat kecil yang harus mutar jauh saat ingin pulang.
Sekali lagi, jadi sebenarnya ini keberpihakan kepada rakyat kecil yang mana ataukah sebenarnya hanya ingin berpihak pada Preman sana atau membangun citra wong cilik demi ambisi kekuasaan?
Konyol memang pemikiran (andai benar) seperti itu yang ditunjukkan oleh orang berpendidikan. MEMALUKAN SEKALI…
Jangan ditiru ya nak, se-pro wong cilik apapun, rakyat tetap harus dididik untuk bertangung jawab dan taat aturan, bukan malah sebaliknya.
Terakhir, ada sebuah pernyataan yang keluar dari mulut Gubernur yang menurut saya sangat konyol, yang seolah-olah mencari pembenaran. Bukannya intropeksi, tapi malah mencari pembenaran. Haizzz
Tanah Pemprov saja bisa dipakai untuk mal, tanah negara dipakai mal, kenapa rakyat kecil mau pakai jadi ribut? Kenapa rakyat kecil mau pakai tanah negara jadi ramai? Mau dipakai buat mal, kita semua diam
Sumber: Anies Sebut Tanah Negara Dijadikan Mal, Namun Tidak Jelaskan Lokasinya
Entah pengusaha besar mana, entah mall mana, juga tidak bisa dijelaskan secara detail, tapi bisa-bisanya mengeluarkan pernyataan yang sendiri tidak bisa pertanggung-jawabkan.
Ini benar-benar pro wong cilik bangat, sampai tidak sadar kalau itu pertanyaan konyol yang tidak semestinya diucapkan oleh seorang Gubernur.
Logikanya sederhana saja, kalau memang benar ada pengusaha yang seperti itu (melanggar aturan dan illegal), ya seharusnya sebagai Gubernur ya menindak setegas-tegasnya. Ini kok sudah dibiarkan, bahkan dijadikan alasan untuk membenarkan kebijakan yang ngawur dan pro kesembrawutan serta melanggar aturan?
Gubernur punya kuasa untuk menindak toh? Cabut izinnya atau diultimatum untuk melengkapi izinnya??
Kalau tidak berani ya bilang tidak berani, jangan dijadikan alasan untuk melakukan pembenaran atas kebijakan yang melanggar aturan.
Menjadi wajar ketika dia harus disepak jauh-jauh dari jabatan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan oleh Jokowi.
Lah.. orang bukannya mempertahankan atau meningkatkan yang sudah bagus serta memperbaiki yang jelek-jelek, ini malah hanya bisa merusak yang sudah bagus.
Jujur harus kita katakan, Jakarta sedang memasuki era kemunduran karena dipimpin oleh orang yang tidak berpengalaman yang menangnya menggunakan ayat dan mayat.
Ok lah Sekian..
Hans Steve