KPK Lama Tidak Bernyali, KPK Baru Harus Lebih Berani!!!
KPK dan OTT, OTT dan KPK, dua kata itu hampir identik. Kalau ada OTT (Operasi Tangkap Tangan), hampir dapat dipastikan KPK lah yang melakukan, demikian juga sebaliknya, kalau ada KPK di suatu tempat atau daerah, berarti sedang ada yang terkena OTT.
Seakan-akan kerjaan lembaga itu tidak ada yang lain selain OTT. Fungsi pencegahan pun hampir terlupakan. Sanking banyaknya OTT yang dilakukan oleh KPK, setahun itu bisa puluhan sampai ratusan orang yang tertangkap.
Tapi anehnya peringkat korupsi Indonesia tidak kunjung naik. Kalau ada naik pun sangat lambat, lebih lambat dari jalannya seekor keong. Apalagi kalau si keong diberi sepatu roda dan dipasang roket di punggungnya. Wushhhh….. ngeng.. ngenggg… Bablas cangkangnya..
Contohnya saja tahun kemarin, 2018. Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya naik satu tingkat dari tahun sebelumnya, dari 37 (2017) ke 38 (2018). Jika dibandingkan pada 1998, skor IPK Indonesia berada di angka 20, artinya dalam 20 tahun kita cuma naik 18 poin, satu tahun tak sampai satu poin, rata-ratanya.
Mungkin itu juga salah satu sebab yang membuat Jokowi menitipkan pesan kepada Mahfud untuk menaikkan indeks penegakan hukum di Indonesia yang masih di bawah angka 50.
Apalagi Jokowi juga pernah bercerita soal kasus korupsi besar kepada Mahfud saat menunjuk Mahfud menjadi Menko Polhukam. Walau tidak membeberkan kasus secara detail, Mahfud menyampaikan bila Jokowi sudah melaporkan kasus besar itu ke KPK. Anehnya kasus korupsi besar itu tak kunjung diungkap.
“Presiden menunjukkan, menyampaikan laporan ke KPK, ini, ini, ini, tapi enggak terungkap. Coba sekarang diperkuat itu kejaksaan, kepolisian. Sehingga kita normal kembali,” kata Mahfud saat menjamu para tokoh di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin 11 September 2019.
KPK yang merasa disalahkan pun buru-buru memberi penjelasan terhadap kasus yang dimaksud. Kasus pertama ialah korupsi pembelian helikopter Agusta Westland-101 dan yang kedua, kasus korupsi di Pertamina Energy Trading Limited atau Petral. Masing-masing baru satu tersangka yang diproses.
Kasus pengadaan helikopter berdasarkan kontrak adalah Rp 514 milliar. Tetapi, terjadi mark up atau peningkatan drastis menjadi Rp 738 milliar sehingga negara dirugikan sebesar Rp 224 milliar.
Bila itu masih belum mampu membuat Anda tercengang, maka hasil audit forensik terhadap Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) akan membuat anda meleletkan lidah. Nilainya 1000 kali lipat lebih dari kerugian skandal markup helikopter AW101, yakni US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun… Astaga dragon.
Wajar bila Jokowi merasa geram dengan lembaga anti rasuah ini yang lebih asyik OTT uang ratusan juta daripada mengungkap skandal ratusan miliar hingga triliunan itu.
Apalagi yang diproses hanya pemain kecilnya. Sementara tokoh yang memiliki pengaruh besar kelas kakap seperti Muhammad Reza Chalid tidak tersentuh sama sekali, bahkan disebut-sebut sebagai “Mr. Untouchable”.
Bukan cuma tidak tersentuh, orang yang pernah dimasukan ke daftar pencarian orang atau DPO ini malah terlihat muncul di acara yang digelar oleh Partai Nasdem, sebagai tamu yang diundang langsung oleh Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh tahun 2018 lampau.
.”Kerugian negara yang dikembalikan oleh KPK itu Rp 3,4 triliun. Sedangkan anggaran KPK itu Rp 15 triliun.” Demikian yang pernah dilontarkan oleh Masinton Pasaribu.
Bukan, bukan masalah untung rugi yang saya soal, karena memang KPK bukan lembaga bisnis. Sah-sah saja kalau pengembalian lebih kecil dari anggaran. Dengan catatan, kalau semua korupsi kakap sudah diungkap, kasus-kasus yang merugikan negara ratusan hingga triliunan rupiah sudah selesai. Ya silahkan mau OTT yang ratusan juta.
Tapi faktanya tidak seperti itu kan?
Apa yang dapat saya tarik dari pernyataan Mahfud MD ini?
Saya menyimpulkan bahwa Presiden Jokowi melihat KPK selama ini, kurang atau bahkan tidak berani dalam mengungkap kasus-kasus besar! Nyali orang-orang yang duduk di KPK tidak ada!. Jokowi berani membubarkan Petral, namun KPK lebih sibuk OTT recehan daripada menuntaskan kasus kelas kakap itu.
Mau beraksi sekarang? Pun sudah terlambat, dengan sisa waktu satu bulan tidak banyak yang bisa dilakukan oleh KPK yang lama. Akankah KPK yang baru lebih bertaji? Semoga saja.