Peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) setiap tanggal 10 Agustus baru-baru ini disusul kemudian dengan pengiriman ikon sejarah kebangkitan teknologi Indonesia itu sendiri, berupa pesawat terbang N250 Gatotkaca.
Ke mana? Bukan dikirimkan ke operator penggunanya, melainkan ke rumah peristirahatan terakhirnya: sebuah museum! Tepatnya ke Museum Pusat Dirgantara Mandala (MPDM).
Sempurnalah sudah sebuah ironi. Satu bangsa besar masih serba gamang, merangkak terseok-seok bermimpi menjadi sebuah negara maju modern, bak punguk merindukan tumbuh mandiri dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang kedirgantaraan.
Apakah yang kita pantas banggakan tatkala seluruh upaya sebelumnya, ternyata hanya dibiarkan menghuni MPDM?
Tak kan pernah lagi ia mewujudkan impian besar dari para pendahulu kita. Terbang tinggi dan hilir-mudik melintasi langit sebagai penghubung aktif konektivitas antar-pulau di seluruh wilayah Republik ini.
Saya sepakat dengan penilaian Alvin Lee, seorang pengamat penerbangan nasional, bahwa Pemerintah kita belum sepenuhnya memiliki komitmen untuk membangun industri penerbangan dalam negeri secara mandiri.
“Sejauh ini saya melihat komitmen Pemerintah baru sebatas ucapan, ucapan mendukung dan sebagainya,” ujar Alvin kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (15/4).
Bahkan, Alvin pun mengkhawatirkan bahwa pengembangan pesawat N219 potensial senasib dengan N250. Semoga tidak!
Oleh sebab itu, ke depan Alvin berharap Pemerintah Indonesia dapat membuktikan komitmen utama dalam membangun industri penerbangan, semisal dengan dukungan pendanaan hingga kemudahan regulasi. Ia mengatakan bahwa kedua hal tersebut merupakan penghambat utama industri dalam negeri menciptakan pesawat tanpa campur tangan negara lain.
Produktivitas Embraer
Namun, agar penilaian kita masih tetap proporsional dan tidak sekadar menuding kurangnya komitmen Pemerintah, sebaiknya industri penerbangan dalam negeri pun wajib pula memperbaiki dirinya sendiri.
Berkaca pada Embraer (diresmikan 1969), pabrikan pesawat milik Brazil tersebut hanya tujuh tahun lebih tua daripada PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Hanya saja perbedaannya pun terlihat sangat jelas.
Torehan prestasi Embraer benar-benar pantas untuk dibanggakan. Embraer dan Bombardier sang pesaing dari Kanada, keduanya merupakan sesama pabrikan pesawat komersial terbesar ketiga di dunia (membuntuti Boeing dan Airbus).
Sejak diresmikan sebagai badan usaha milik negara pada tahun 1969, Embraer telah mengirimkan lebih dari 8.000 pesawat pelbagai jenis hingga kuartal kedua 2020! Namun, tentu saja, bukanlah berarti bahwa Embraer sama sekali kebal dari ancaman kesulitan besar.
Pemerintah Brazil pernah “terpaksa” melakukan privatisasi pabrikan BUMN mereka tersebut pada 7 Desember 1994, saat itu ternyata demi membantunya terhindar dari risiko kebangkrutan.
Alhasil, hingga 2008 struktur kepemilikan Embraer telah berubah tercatat meliputi: Bozano Group 11,10%; Previ 16,40%; Sistel 7,40%; Dassault Aviation 2,1%; EADS 2,1%; Thales 2,1%; Safran (sebelumnya bernama Snecma) 1,1%; Pemerintah Brazil 0,3%; sisa saham diperdagangkan secara terbuka.
Namun, meskipun Pemerintah Brazil terlihat seolah-olah sebagai pemegang saham minoritas, uniknya kedudukan Pemerintah masih tetap sangat kuat dalam AD-ART Embraer, yaitu sebagai satu-satunya pemegang hak veto.
Dan sembari Brazil menginvestasikan dana milik negara secara minimalis, Pemerintah mereka tetap berkomitmen memberikan kontrak berkelanjutan untuk pengadaan pelbagai produk dirgantara kepada Embraer. Sehingga, tidaklah mengherankan bahwa catatan penjualan perusahaan tersebut bertahan luar biasa.
Embraer dan anak-anak usahanya secara keseluruhan mampu mempertahankan produktivitas mereka, baik pada lini produksi, lini pemasaran, dan hingga lini perbaikan serta layanan purnajual.
Padahal, sejatinya postur nasional Brazil sebagai pemilik Embraer tidaklah lebih baik daripada profil nasional negara kita. Mereka pun belum sepenuhnya lepas dari ancaman bahaya budaya korupsi. Bahkan dalam hal peringkat, kedudukan Indonesia justru lebih baik yaitu di posisi 85, dibanding Brazil yang menduduki posisi 106 dari 153 negara di dunia (2019).
Sebagai catatan, pada tahun yang sama (2019) beberapa negara sesama anggota ASEAN berada di posisi masing-masing, yaitu berturut-turut Singapura 4, Brunei 35, Malaysia 51, Vietnam 96, Thailand 101, Filiphina 113.
PTDI sejak didirikan pada 26 April 1976, telah mengalami beberapa kali pergantian nama, antara lain PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) hingga sekarang.
Pabrikan di bawah Kementerian BUMN ini memiliki beberapa anak usaha, meliputi
IPTN North America, Inc., PT Nusantara Turbin & Propulsi, dan PT General Electric Turbine Service.
Entahlah melalui lini usaha yang mana PTDI mengandalkan kinerja pemasaran mereka secara per bagian dan atau secara keseluruhan?
Bandingkan Embraer yang berkesan cukup agresif membangun jaringan pemasaran mereka tersebar secara cukup meluas, meliputi kantor komersial Embraer China di Beijing, Embraer North America (Fort Lauderdale, Florida, Amerika Serikat; Nashville, Tennessee, Amerika Serikat; Hartford, Connecticut, Amerika Serikat), Embraer Eropa (Paris), Embraer Singapore (Singapura), Embraer Australia (Melbourne).
Mengutip kembali Alvin Lee, saya sependapat bahwa kebutuhan transportasi udara nasional telah mengalami perubahan. Trend masa depan adalah milik pesawat berukuran kecil dan menengah, alih-alih pesawat berbadan besar. Trend tersebut kiranya dan justru sesuai dengan kondisi serta keadaan mayoritas bandara di Indonesia.
Jikalau kita benar-benar sepakat agar jangan terulang kembali ironi N250, dibutuhkan tekad kuat kita bersama untuk mendukung sepenuhnya keberlangsungan dan kesinambungan pembangunan industri penerbangan dalam negeri.