Dalam manajemen operasional sebuah perusahaan yang sehat, kita pasti akan selalu menemukan konflik. Mengapa? Karena selalu ada perbedaan kepentingan antara seorang leader atau pimpinan dengan bawahannya. Disinilah profesionalitas kerja seseorang diuji. Jika seorang pemimpin dan bawahannya terlihat mesra, selalu sepakat dan tidak pernah terlibat konflik dalam kaitan dengan pekerjaan, hampir dapat dipastikan salah satu dari mereka atau bahkan dua-duanya tidak profesional.
Anggap saja misalnya saya memimpin sebuah departemen atau divisi disebuah perusahaan. Tentu tugas dan tanggng jawab saya adalah memastikan operasional perusahaan berjalan dengan baik. Bukan saja memikirkan layanan terbaik kepada customer, memastikan keuntungan dan pendapatan perusahaan tetapi juga memikirkan kenyamanan bekerja para karyawan atau staff saya.
Ambil contoh begini. Suatu hari staff saya meminta ijin untuk tidak masuk kerja karena satu dan lain hal. Disisi lain, ada pekerjaannya yang tidak bisa digantikan oleh staff lain sehingga jika anak buah saya ini tidak masuk kerja, bisa berdampak pada kelancaran operasional perusahaan yang mungkin saja bisa membuat perusahaan kehilangan pendapatan ataupun merugi. Maka sebagai seorang profesional saya harus mengutamakan kepentingan perusahaan dan mengambil langkah tegas untuk memaksa anak buah saya untuk tetap mementingkan pekerjaan daripada kepentingan pribadinya. Disinilah akan muncul konflik diantara sesama rekan kerja.
Sama halnya dengan perusahaan, tata kelola pemerintahan haruslah profesional. Meskipun mereka bekerja sama, antara Gubernur atau Eksekutif dengan DPRD atau Legislatif pastilah terdapat perbedaan kepentingan. Gubernur tentu membutuhkan uang untuk eksekusi program-programnya, sementara DPRD sebagai lembaga legislasi harus mensupervisi dan memastikan anggaran yang akan dibelanjakan tidak boros dan tepat sasaran. Tidak semua program harus disetujui untuk menjaga keseimbangan. Nah disinalah akan muncul konflik.
Tetapi saya melihat Gubernur Anies dan wakilnya sejak awal mentargetkan akan merangkul semua pihak dalam membangun Jakarta. Berbeda dengan Ahok, Gubernur Anies dan Sandiaga Tidak akan ribut-ribut dengan DPRD, akan berkomunikasi dengan baik dan lain sebagainya. Padahal pernyataan itu justru mengkonfirmasi bahwa Gubernur Anies tidak mampu profesional dalam memimpin khususnya mengelola anggaran di DKI Jakarta. Karena jika profesional tentulah akan selalu ada perdebatan alot dalam pembahasan anggaran sebagai dinamikanya.
Sebagai contoh sikap Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Sandiaga Uno, yang mengatakan bahwa anggaran rehabilitasi kolam air mancur di depan gedung DPRD DKI sebesar Rp 620 juta, ditujukan untuk menambah kesejukan hubungan antara eksekutif dan legislatif.
Ini luar biasa. Uang rakyat yang semestinya digunakan sebaik-baiknya untuk kemakmuran warga malah dipakai untuk me-mesra-kan hubungan dengan “supervisornya”. Apa saya boleh menyebut ini hadiah atau gratifikasi? Bukankah itu diharamkan KPK? Kalau tidak lalu apa? Bagaimana jika dana perbaikan kolam tersebut dirasa terlalu mahal? Apakah akan tetap diteruskan demi kesejukan hubungan?
Nasibmulah, warga Jakarta!
“Mungkin perlu juga air mancur seperti di sini kan? Jadi, air mancur itu menambah kesejukan diantara kita. Air itu sumber kehidupan. Jadi kalau airnya mancur, kehidupannya juga terpancur,” kata Sandiaga, di Balai Kota DKI, Jakarta. Jadi teman-teman di depan mau juga ada air mancur, ya kita hargai sebagai bentuk mungkin menambah kesejukan, dan meningkatkan persatuan. Baru ini nyambung antara eksekutif dan legislatif. Alhamdulillah, jadi sejuk,” tambahnya.
Begitulah jawaban Sandiaga yang sok filosofis. Apakah perbaikan kolam 32 m2 sebesar 620 juta rupiah itu masuk di akal? Jika iya, lalu dimanakah letak keberpihakannya? Mengenai kolam air mancur ini sudah saya bahas disini :
https://www.Indovoices.com/event/100harikepemimpinananiessandi/bengkak-di-semua-lini-kemana-arah-anggaran-anies-sandi/
Beruntunglah Sandiaga segera sadar dan kemudian mengatakan bahwa besaran dana perbaikan kolam tersebut bisa saja berubah. Ya jelas harus diubah jika sebuah pemborosan uang rakyat digunakan untuk menyejukkan hubungan dengan “atasanya”. Sekali lagi membuktikan bahwa Gubernur Anies dan Sandiaga tidak cermat dalam menyusun anggaran. Itu baru perbaikan kolam. Bukankah ada ratusan anggaran yang lain?
Dan lihatlah, wakil kita di DPRD sekarang diam. Sepertinya sepakat terhadap sebuah pemborosan dan arogansi kekuasaan. Apakah kebocoran-kebocoran ini akan selalu terjadi? Bisa iya bisa juga tidak. Iya kalau kita diam, bosan dan jemu untuk bersuara menyaksikan kejanggalan-kejanggalan anggaran. Tidak kalau kita punya semacam kerinduan untuk tetap mengawal kinerja Gubernur dan wakilnya yang dipilih 58% warga Jakarta ini.
Sudah diakomodir dengan air mancur 620 jutanya, DPRD semakin larut dalam kesejukan dengan uang kunjungan kerja yang nilainya mencapai Rp 107,7 miliar dalam satu tahun dan berpotensi menjadi “plesiran keluarga” mengingat jumlahnya mencapai 7.752 orang. Padahal, jumlah anggota Dewan hanya 106 orang saja. Hmm…(jadi ingat pak Ahok… Tears)
Lihat : apbd.jakarta.go.id
Benar-benar war biasah!! Terakhir saya mau ingatkan Gubernur Anies dan wakilnya Sandiaga Uno bahwa menjadi pemimpin bukanlah untuk disukai semua orang. Namun ada tugas dan tanggung jawab yang lebih “sakral” untuk dijunjung tinggi daripada sekedar menyejukkan hubungan dengan Legislatif yakni : kesejahteraan dan keberadilan bagi seluruh warga Jakarta.
Benar-benar menyedihkan! 100 hari kepemimpinan Anies-Sandi, sepertinya suasana semakin sejuk dan mesra.
Selamat menikmati kesejukan hubungan ini, Jkt58!!