Awal mula Kebijakan Ganjil Genap terjadi pada saat ASIAN GAMES dan ASIAN PARA GAMES 2018, dengan tujuan agar memperlancar arus Transportasi para Atlit lokal maupun Luar negeri dalam perjalanannya dari tempat asal Penginapan sampai ke Venue pertandingan. Walaupun banyak yang kontra, tetapi kebijakan itu diterima akhirnya oleh masyarakat, karena Negara sedang punya event besar untuk mengharumkan nama baik dan reputasi Negara sehingga masyarakat lambat laun menerimanya, apalagi saat itu hanya temporary saja, yaitu selama acara ASIAN GAMES dan ASIAN PARA GAMES berlangsung. Dampaknya memang luar biasa, Acara Pertandingan Olahraga akbar itu sukses luar biasa dan kemacetan juga cukup turun, walaupun banyak orang yang kebingungan mencari alternatif untuk menghindari GANJIL GENAP Zona bagi mereka yang Nomor Polisi kendaraan pribadinya tidak sesuai dengan tanggal saat itu.
Kemudian Cara ini mulai diadopsi lagi oleh Pemprov DKI untuk dibuat sebagai Solusi mengurangi kemacetan sekaligus Polusi udara, mengingat Jakarta sudah dinobatkan sebagai Kota paling Polutif sedunia. Hubungannya apa? Jika jumlah kendaraan yang beroperasi berkurang dan kemacetan juga berkurang, udara akan lebih bersih dan yang akan menerima manfaatnya adalah masyarakat sendiri. Dalam menindaki pemikiran tersebut, maka ditempuhlah perluasan Ganjil Genap untuk seterusnya yang akan mulai aktif 9 September 2019.
Rencananya, kebijakan ini akan diterapkan pada setiap Senin sampai Jumat, kecuali Hari Libur Nasional, dari pukul 06.00 – 10.00 dan 16.00 – 21.00. Kendaraan bernomor plat ganjil beroperasi pada tanggal ganjil, dan kendaraan bernomor plat genap beroperasi pada tanggal genap. Sejak 7 Agustus sampai 8 September ini adalah periode sosialisasi; adapun pemberlakuan ganjil genap ini mulai 9 September 2019.
Sejumlah ruas jalan yang terkena kebijakan tersebut antara lain: Jl. Pintu Besar Selatan, Jl. Gajah Mada, Jl. Hayam Wuruk, Jl. Majapahit, Jl. Medan Merdeka Barat, Jl. M.H Thamrin, Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Sisingamangaraja, Jl. Panglima Polim, Jl. Fatmawati (mulai simpang Jl. Ketimun 1 sampai simpang Jl. TB Simatupang), Jl. Suryopranoto, Jl. Balikpapan, Jl. Kyai Caringin, Jl. Tomang Raya, Jl. Jenderal S. Parman (mulai dari simpang Jalan Tomang Raya sampai simpang Jalan KS. Tubun), Jl. Gatot Subroto, Jl. M.T Haryono, Jl. H.R. Rasuna Said, Jl. D.I Panjaitan, Jl. Jendral A. Yani (mulai simpang Jl. Perintis Kemerdekaan sampai simpang Jl. Bekasi Timur Raya), Jl. Pramuka, Jl. Salemba Raya, Jl. Kramat Raya, Jl. St. Senen, dan Jl. Gn. Sahari.
Sebagai pengecualian, ada beberapa kendaraan bermotor yang boleh memasuki kawasan ganjil genap ini, yakni kendaraan yang membawa masyarakat disabilitas, ambulans, pemadam kebakaran, angkutan umum (plat kuning), kendaraan listrik, sepeda motor, angkutan barang khusus BBM dan BBG. Selain itu adalah kendaraan para Pimpinan Lembaga Tinggi Negara Republik Indonesia yakni: Presiden/Wakil Presiden; Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah, dan Ketua Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi/Komisi Yudisial/Badan Pemeriksa Keuangan.
Pengecualian juga berlaku untuk kendaraan dinas operasional berplat dinas, TNI dan POLRI, kendaraan Pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga Internasional yang menjadi tamu negara, kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas, kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Polri, seperti kendaraan pengangkut uang (Bank Indonesia, antarbank, pengisian ATM) dengan pengawasan dari Polri.
Selain jalan-jalan tersebut, sejumlah gerbang tol yang akan mengarah pada rute yang dikenakan ganjil genap juga dikenakan kebijakan ini, sehingga bisa meminimalisasi pelanggaran karena yang akan melanggar sudah dicegat di awal perjalanan.
Masalah tentunya akan muncul dengan Kebijakan ini, yang pertama tentunya akan memberikan celah bagi pengguna kendaraan Roda empat pribadi. Pengguna mobil pribadi bisa memakai pelat nomor ganda, alias yang asli dan palsu, yang satu berpelat nomor ganjil dan satu lagi genap. Mereka tinggal menyesuaikan kapan aturan ganjil dan genap diterapkan secara bergantian. Ada alasan yang membuat orang memilih mengakali dengan pelat palsu ketimbang beralih ke transportasi umum, yaitu fasilitas pendukung yang kurang baik, misalnya pedestrian.
Pengamat kebijakan transportasi Azas Tigor Nainggolan mendukung rencana perluasan sistem ganjil dan genap di Jakarta. Sistem tersebut dinilai efektif untuk mengurangi polusi udara. Meski demikian, aturan tersebut dinilainya hanya merupakan solusi sementara untuk mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor di wilayah DKI. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor tentunya akan mengurangi gas buang emisi kendaraan bermotor sebagai penyumbang polusi di Jakarta, tetapi tidak akan menjadi Solusi efektif karena Pemilik Kendaraan yang sudah mampu tetap akan mencari celah misalkan dengan membeli kendaraan baru jika sebelum
nya berplat Ganjil, kali ini mereka membeli Plat Genap dan sebaliknya.
Kebijakan ini menjadi cacat jika tidak ada pengecualian bagi warga. Pemerintah Provinsi selaku pemrakarsa harus memikirkan pengecualian kebijakan Ganjil Genap ini untuk mereka yang memiliki urgensi tingkat tinggi, misalnya Dishub dan Polisi Lalu lintas harus memberikan Prioritas pengecualian buat mereka yang membawa Penumpang yang sedang kritis, misalkan Post-accident atau sedang mengalami penyakit kritis dan mereka sedang mengalami saat saat Kritis. Ini harus dipikirkan, karena kondisi mereka tidak mungkin untuk diarahkan untuk mencari Rute alternative maupun menunggu sampai Jam Ganjil Genap usai. Penulis tidak setuju jika Dishub mengarahkan penggunaan Ambulance sebagai solusi dalam menghadapi Kebijakan Ganjil Genap bagi mereka yang sedang mengalami kecelakaan maupun Kondisi kritis, karena di Jakarta, Ambulance masih belum sepenuhnya sigap dalam menghadapi saat darurat sang pasien. Keluarga pasien seringkali dihadapkan pada pilihan sulit ketika memanggil Ambulance, misalkan harus negosiasi harga dulu sebelum pihak Ambulance sepakat mengirimkan Ambulancenya, bahkan terkadang saat Keluarga pasien membutuhkan ambulance, terkadang mereka tidak sigap hanya dengan alasan yang lucu, misalkan Supir sedang ibadah, supir sedang sarapan atau sedang didalam Kamar kecil.
Sumber kecacatan berikutnya, Kebijakan ini seringkali tidak disertai solusi, mestinya Dishub dan Polisi Lalu lintas atau bahkan Pemerintah provinsi memberikan Rute alternative kepada masyarakat jikalau Warga akan melewati Zona Ganjil Genap sehingga mempermudah Warga dalam beraktivitas. Seringkali, Pemprov, Dishub dan Polisi lalu lintas hanya memberikan informasi Zona Ganjil Genap tetapi warga diminta mencari alternative sendiri, yang seringkali terkadang membuat banyak warga tertilang dan terjebak dalam Zona Ganjil Genap.
Kalau saya sedang berada di kawasan Senopati, misalnya, saya harus berjalan cukup jauh untuk tiba di halte terdekat. Sama halnya kalau saya sedang berada di kawasan Patal Senayan. Kebon Jeruk, Antasari, TB Simatupang, dan sebagainya. Masih sangat banyak wilayah yang belum terjangkau oleh angkutan umum yang layak. Ini menjadi lucu, jikalau tujuan penggunaan Ganjil Genap untuk mengarahkan agar Pengguna Kendaraan Bermotor pindah ke Transportasi umum. Ini yang menjadi masalah, Warga disuruh mencari sendiri jalur yang ada Transportasi umumnya, tetapi seringkali lingkungannya masih tidak nyaman, Warga masih saja dihadapkan pada bahayanya begal yang tiba tiba menarik tas jinjing atau Handphone, bahkan ketika Warga sudah mendapatkan Transportasi umumnya, masih juga dihadapkan berdesak desakkan didalam Transportasi umum.
Ini yang harus dipikirkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jika ingin kebijakan ini diberlakukan selamanya. Jangan sampai kebijakan hanya untuk mengurangi kemacetan dan Polusi tetapi level Polusi tetap saja ada, karena bagaimanapun Pengecualian Mobil mobil yang diinformasikan diatas, tetap saja konsumsi Gas kenalpot yang membahayakan tubuh Warga, terutama Warga yang sudah mau pindah dari kendaraan pribadinya ke transportasi umum.