Jagad twitter seminggu yang lalu digegerkan dengan pertanyaan Kakek Kampret yang membangunkan Mahfud MD. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini mendapatkan pertanyaan yang membuatnya berang dan melaporkannya ke polisi. Ada warganet yang menganggap laporan ini sebagai bentuk kekurangmatangan beliau dalam berdemoraksi. Menurut saya, sebagai negarawan, jelas sikap dan tindakan beliau tidak grusa-grusu. Mengapa? Dasar pertimbangan saya adalah pertama, dia sudah memberi kesempatan kepada pemilik akun Kakek Kampret untuk meminta maaf saat dia mengklik tanda ‘like’ di medsosnya. Namun, Kakek Kampret, sebut saja begitu, malah menantang balik. Dia merasa seakan-akan pertanyaannya benar sehingga Mahfud tidak menjawabnya.
Bagi Anda yang belum tahu atau belum sempat baca kasus ini, Kakek Kampret mengunggah pertanyaan ini: Saudara mahfud @mohmahfudmd apa bener Mobil Camry punya anda Plat B 1 MMD adalah setoran dari pengusaha besi kerawang ex cabub PDIP. Jika bener atas dasar apa pemberian itu kakek sekedar bertanya” disertai ikon tertawa.
Karena merasa tidak ditanggapi, Kakek Kampret mencuit lagi: Saudara mahfud @mohmahfudmd kenapa anda ga jawab pertanyaan kakek ini. Apa bener Toyota Camry B 1 MMD dari pengusan besi karawang, mantan ex cabub karawang dari PDIP..? saudar mahpud jawab lah” masih diakhiri dengan ikon orang tertawa.
Inilah yang membuat orang sekaliber Mahfud pun marah. “Dalam kalimat itu bertanya, tapi ini nistaan. Sama dengan saya bertanya kamu berzina dengan ibumu apa benar? Itu kenistaan meskipun pertanyaan. Mengapa tidak berzina dengan mertuamu saja? Itu kan hinaan,” ujar Mahfud usai melaporkan kasus di Mapolres Klaten, Jumat (1/3/2019). (detik.com).
Karena dilaporkan, akun @KakekKampret di twitter diganti menjadi “wartawan kampret” dengan username @KuliTinta. Setelah diganti, apakah kasusnya ikut berhenti? Kita tunggu. Jika dihentikan, ada saja orang yang menghina seseorang lalu mengganti akunnya dan berkicau kembali.
Pertanyaan Buruk dan Pertanyaan Konyol
“Tidak ada yang namanya pertanyaan buruk.” Pernah dengar kalimat itu? Kalimat yang tampak bijak itu justru berasal dari guru yang tidak bijak. Mengapa? Guru—dosen termasuk di dalamnya—seringkali justru menjadi contoh orang yang suka dan sering melontarkan pertanyaan buruk. Setelah memberikan kuliah yang panjang tanpa jenda, saat mendekati jam kuliah selesai, bahkan bel peringatan pun sudah berbunyi, ada saja dosen yang bertanya, “Ada pertanyaan?”
Konyol bukan?
Pertama, waktunya sudah habis. Mengapa tidak menanyakan itu di awal dan di tengah perkuliahan, bukan di bagian ujung dari akhir? Ini sama saja memberikan pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
Kedua, seandainya ada mahasiswa yang angkat tangan, apakah dosen masih memberi waktu untuk bertanya dan menghabiskan waktu mata kuliah berikutnya untuk menjawab pertanyaan. Kontraproduktif, bukan?
Ketiga, dosen tersebut jelas tidak mempunyai manajemen waktu yang baik. Sebelum mengajar, dia tentu punya lesson plan kapan pembukaan, kapan penjelasan dan sebagainya.
Lalu, apa itu pertanyaan yang baik? Lebih dari sepuluh tahun yang lalu, saya pernah membaca buku menarik. Judulnya The Art of Asking: Ask Better Questions, Get Better Answers. Terry J. Fadem mengungkapkan bahwa pertanyaan yang baik bisa meningkatkan kesuksesan dan taraf hidup kita. “Ask better questions, get better answers, achieve better results!” tulisnya.
Empat Jenis Pertanyaan
Sebaliknya, pertanyaan yang buruk membuat yang ditanya jengkel dan sang penanya tidak mendapatkan apa pun selain kemarahan. Sebagai dosen yang puluhan tahun mengajar, saya membagi pertanyaan mahasiswa menjadi empat. Pertama, mahasiswa yang benar-benar bertanya karena tidak mengerti materi dan memahami apa yang saya jelaskan. Kedua, mahasiswa yang ingin mendapat konfirmasi dari apa yang pernah dia pelajari entah dari membaca atau mengikuti kuliah orang lain. Ketiga, mahasiswa yang hanya ingin menguji kompetensi dosen. Keempat, mahasiswa yang ingin menunjukkan bahwa dia ‘sudah tahu’ atau ‘lebih tahu’ dari dosen maupun rekan-rekannya sesama mahasiswa. Nah, dua jenis pertanyaan terakhir itulah yang pernah saya dapatkan.
Ketika mengajar program doktoral di Jakarta, seorang mahasiswa bertanya kepada saya, “Apakah ngeblog dan ngevlog itu bermanfaat atau hanya mencari popularitas belaka?”
Good question! Saya jelaskan bahwa siapa pun dan apa pun yang di-up load di media sosial selalu diiringi motivasi yang mengunggahnya. Namun, sebaik apa pun karya kita, jika tidak sampai ke publik, manfaatnya tidak banyak kalau tidak saya katakan tidak ada. Hanya diri kita yang mendapatkan manfaat itu yaitu untuk mengasah keterampilan kita.
Pertanyaan Jebakan
Di dalam sebuah seminar, seorang mahasiswa bertanya kepada saya begini, “Pak Xavier, apakah mungkin Tuhan yang Mahakuasa itu menciptakan batu yang sedemikian besar sehingga Dia pun tidak sanggup mengangkatnya?”
Pertanyaan yang ‘menjebak’—untuk menunjukkan dia kritis atau bisa jadi ingin mempermalukan saya di depan audience—saya jawab dengan pertanyaan juga: “Izinkan saya untuk bertanya satu pertanyaan saja: ‘Menurut Anda, pernahkan Tuhan menciptakan sesuatu hanya karena iseng?’” Case closed!
Pertanyaan yang Baik
“If I had an hour to solve a problem and my life depended on the solution, I would spend the first 55 minutes determining the proper question to ask… for once I know the proper question, I could solve the problem in less than five minutes.”— Albert Einstein
Bayangkan jika seorang jenius seperti Albert Einstein, jika memiliki waktu hanya satu jam, dia memilih untuk menghabiskan waktu 55 menit untuk menentukan pertanyaan yang layak untuk ditanyakan, karena begitu tahu pertanyaan itu, dia bisa menyelesaikan masalah kurang dari lima menit. Setiap kali hendak menulis kolom, termasuk tulisan ini, saya membutuhkan waktu lebih lama untuk berpikir ketimbang mengeksekusi gagasan menjadi tulisan.
Pertanyaan yang baik tidak harus bertalu-talu maupun bertele-tele, melainkan, menurut Clarivia.com, harus mengandung lima hal ini.
Pertama, membuka pikiran. Jenis pertanyaan ini bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab hanya dengan ‘Ya’ dan ‘Tidak’. Kalau jawabannya seperti itu, berhenti sudah. Saat mementor jurnalis baru, saya meminta mereka untuk menghindari pertanyaan seperti ini.
Kedua, sederhana dan singkat. Saat saya belajar jurnalistik dulu, ada ungkapan ‘kasar’ yang menyadarkan kami, yaitu KISS. Keep it simple stupid. Ada yang mengganti kata ‘stupid’ dengan ‘Silly’ yang artinya sami mawon. Justru karena ‘kekasarannya’ itulah kami ingat sampai sekarang.
Ketiga, memberi kesempatan yang ditanya untuk menyampaikan nilai-nilai yang dianutnya. Dengan kata lain, pertanyaan kita memberi kesempatan kepadanya untuk mengeksplorasi dirinya sendiri dengan melakukan ziarah batin.
Keempat, pertanyaan itu sendiri memicu inovasi dan kreativitas. Satu pertanyaan jenis ini bisa membuka banyak pintu kemungkinan di depan kita. Saat memasukinya, kita menemukan banyak sekali kemungkinan dan perspektif baru yang bisa jadi mengagetkan kita sendiri. Bisa juga membuka pintu yang lain yang makin memperkaya batin dan wawasan kita.
Kelima, meregangkan daya pikir baik yang ditanya maupun yang bertanya. Saat mendapatkan pesanan tulisan dari redaktur media online, saya pakai kesempatan itu untuk menggali lebih jauh apa yang media itu harapkan dan apa dampaknya yang diharapkan dari pembaca. Hanya dengan pertanyaan singkat seperti, “Dampak atau manfaat apa yang Mbak, Mas atau Bro harapkan dari tulisan saya nanti?” saya mendapatkan banyak masukan dari pengasuh media mainstream.
Jadi, bagi Kakek Kampret dan kita semua, alangkah bijaknya jika kita belajar memikirkan pertanyaan yang hendak kita lontarkan. Apakah negatif dan mencerminkan ‘korupsi’ atau ‘degradasi’ nurani? Atau sebaliknya pertanyaan yang baik yang ‘konstruktif’ dan memancing ‘inovasi’ agar mendapatkan jawaban yang baik pula? Setuju Pak Mahfud?
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.