
“Karena yang dikerjakan simpel kok cuma buat lubang. Jadi bukan sesuatu yang luar biasa,” demikian kata Anies saat menjelaskan ujicoba vertikal drainase di Pondok Labu, Jakarta Selatan, 4 Desember 2018 yang lalu.
Anies menjelaskan, nantinya seluruh wilayah akan dibangun drainase vertikal melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah yang saling terintegrasi. Seakan-akan cukup membangun drainase vertikal, lantas permasalahan banjir sudah dapat teratasi.
Satu tahun berlalu, tidak jelas berapa ratus atau bahkan berapa ribu drainase vertikal yang sudah dibangun Anies.
Sementara itu dengan percaya dirinya, ia juga melanjutkan dengan memangkas anggaran penanggulangan banjir senilai Rp 500 miliar dari total Rp 850 miliar.
https://metro.tempo.co/read/1270842/anies-potong-anggaran-pengendalian-banjir-tahun-ini-rp500-m
Padahal dengan sisa Rp 350 miliar, bagaimana mau maksimal? Harusnya yang dipotong itu anggaran-anggaran yang tidak berguna, seperti anggaran jalan-jalan keluar negerinya Anies, anggaran TGUPP, anggaran hibah ke ormas yang tidak jelas pemanfaatannya. Nah itu yang layak dipotong. Bukannya malah menyasar ke anggaran penanggulangan banjir yang sangat mendesak dan berpengaruh langsung ke masyarakat.
Tawaran bantuan dan kerjasama dari kementerian PUPR pun dilecehkan Anies yang dengan sengaja mengirimkan staf yang tidak tahu apa-apa.
“Kami ingin kolaborasi, tetapi kami pengen nanya yang dimaksud oleh [Gubernur] DKI naturalisasi sungai itu opo? Kami undang sudah dua kali, yang datang stafnya yang tidak mengerti. Kami menunggu,” ujar menteri PUPR, Basuki Hadimuljono ketika itu.
https://m.bisnis.com/ekonomi-bisnis/read/20190404/45/907740/menteri-pupr-normalisasi-sungai-di-jakarta-berhenti-sejak-2-tahun
Penantian menteri PUPR tak kunjung membuahkan hasil hingga akhir tahun.
Tidak cukup sampai di situ, seakan ingin mengejek peringatan dari alam. Anies lebih memilih terbang ke Lombok pertengahan Desember 2019, untuk meresmikan sekolah, daripada mengurusi warganya yang sedang kebanjiran.
Dan benar saja, tanggal 1 Januari 2020. Pertama kali membuka hp di tahun baru, hanya ada dua info yang ramai berseliweran. Ucapan selamat tahun baru 2020 dan berita tentang banjir di DKI.
Vertikal Drainase yang menjadi unggulan Anies untuk menaklukkan banjir malah berbalik dipermalukan oleh air dalam jumlah besar yang tidak mampu ditampungnya.
Anies juga mendapat sentilan dari Basuki Hadimuljono yang mengutarakan kekecewaannya kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lantaran normalisasi sungai Ciliwung yang baru dilakukan sepanjang 16 kilometer (km) dari total 33 km.
“Mohon maaf bapak gubernur, selama penyusuran kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 km itu yang sudah dinormalisasi baru 16 km,” ujar Basuki ditemui di Monas, Jakarta Pusat, Rabu 1 Januari 2020.
Dan perlu pembaca ketahui, yang 16 kilometer itu pun hasil peninggalan Jokowi-Ahok-Djarot. Sementara era Anies, 1 senti meter pun tidak ada. Terbukti dari apa yang disampaikan oleh Jokowi.
Menurut Jokowi, upaya pengendalian banjir di keempat DAS itu telah dilakukan sejak jauh hari. Namun, upaya itu terkendala sejak 2017 lantaran masalah pembebasan lahan.
Dan siapa yang bebal tidak ingin membebaskan lahan? Siapa yang ngotot hanya ingin menggeser tanpa menggusur? Siapa yang anggap remeh kalau mengatasi banjir hanya perlu buat lubang? Pembaca pasti sudah tahu siapa kutu kupret yang saya maksud.
Akibat kebebalannya, kini warga DKI Jakarta dan Anies akhirnya harus menerima konsekuensi diterjang banjir.
Bila warga Jakarta diterjang banjir air, maka Anies diterjang banjir hujatan, akibat petantang petenteng anggap enteng dan ketidakbecusannya sebagai seorang gubernur.
Tapi bukan Anies namanya kalau menerima kesalahannya dengan lapang dada. Ilmu ngeles dan mencari kambing hitam pun dikeluarkan.
Komentar Jokowi yang menyebut salah satu penyebab banjir adalah warga yang buang sampah sembarangan, ditanggapinya dengan menyebut Bandara Halim Perdana Kusuma tetap banjir meski tidak ada sampah.
Tak cuma itu, Anies juga menyalahkan penanganan banjir yang dilakukan gubernur sebelumnya. Menurutnya, normalisasi Sungai Ciliwung pada era Gubernur sebelumnya tetap tak bisa menghalau banjir di kawasan Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.
Dia lupa kalau banjir tidak bisa dihalau karena dia sendiri tidak melaksanakan kewajibannya, menyelesaikan 17 km yang belum ia normalisasi hingga sekarang.
Anies pun menyebut pemulihan dan pencegahan banjir di masa depan sangat bergantung pada pembangunan dua waduk yakni Waduk Ciawi dan Sukamahi.
Hanya saja, kata dia, semua ini bergantung pada sikap pemerintah pusat dalam hal pembangunan dan antisipasi bencana banjir.
Jadi maksudnya, bila Jakarta masih banjir, salahkan gubernur terdahulu, atau salahkan pemerintah pusat akibat belum selesainya Waduk Ciawi dan Cimahi.
Luar biasa bukan? Ahok disalahkan, pemerintah pusat dilempari tanggung jawab untuk menutupi ketidakbecusannya. Sementara si Anies tinggal klaim menjadi prestasinya kalau Jakarta tidak banjir lagi ke depannya