Beberapa hari terakhir Jakarta mulai ditutupi oleh awan mendung, di beberapa tempat hujan dengan intensitas kecil hingga sedang juga sudah mulai mengguyur, tanda sudah masuk ke musim penghujan.
Setidaknya ada 129 kelurahan dan 180 titik di seluruh Jakarta yang diperkirakan terancam oleh banjir. Hal ini dikarenakan ada delapan aliran sungai di DKI Jakarta yang tidak dinormalisasi sejak Februari 2018 akibat tak adanya pembebasan lahan oleh Pemprov DKI.
Padahal di masa Gubernur Kafir menjadi pelayan warga, melalui normalisasi dirinya sudah berhasil menurunkan titik banjir yang ketika awal dirinya menjabat mencapai 2000 titik menjadi 80 titik di akhir masa jabatannya.
Alih-alih mengurangi atau minimal mempertahankan prestasi tersebut, di masa pemerintahan gabemer seiman yang banyak bacot tapi malas kerja, Jumlah titik banjir kembali meningkat. Hal ini menandakan ketidak seriusan si gabener untuk membenahi kota DKI Jakarta ini.
Sebenarnya tanda ketidakseriusan itu sudah terlihat sejak awal dirinya menjabat tahun 2017 lampau. Baru beberapa hari menjabat, Jakarta sempat mengalami banjir, si gabener pun berjanji akan menaturalisasi sungai. Sayangnya janji tersebut hanya terealisasi hingga ke mulutnya saja tanpa ada tindakan lebih lanjut.
Bahkan di tahun 2018, si gabener melalui pengajuan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2018, ingin mengurangi empat program penanggulangan banjir dengan nilai total mencapai Rp242 miliar.
Tak pelak usulan pencoretan itu pun sempat dikritisi oleh Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi dalam rapat pembahasan APBD-P 2018.
“Masalah anggaran banjir, saya lihat sekarang ini kenapa diturunkan? Seharusnya ditambah. Misalnya suatu saat kekurangan anggaran, kita sudah siap. Ini yang buat anggaran sopo?” ucap Prasetio di Gedung DPRD DKI Jakarta, Rabu 29 Agustus 2018. Bahkan Prasetio meminta Anies untuk berpikir ulang. Jangan sampai mengganti hal yang sudah baik di pemerintahan sebelumnya.
Bisa jadi karena mendapat penolakan dari anggota DPRD, Anies lagi-lagi mengemukakan niatnya untuk menaturalisasi sungai.
Anies mengatakan, konsep ini telah berhasil dilakukan di Singapura. “Sebaiknya, dilihat terlebih dahulu contoh proyek sebelumnya dari beton menjadi natural. Paling mudah itu melihat contoh dari Singapura,” ujarnya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu 10 Oktober 2018.
Anies bahkan menegaskan tidak melakukan normalisasi dengan cara membeton karena fokus pada naturalisasi.
“Anda tidak ketemu betonisasi. Karena yang kita lakukan adalah naturalisasi,” kata Anies di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa 8 Oktober 2018.
Tidak tahu apakah Anies asal cuap atau cuma ngibul, fakta penelusuran saya menunjukkan jika sungai-sungai di Singapura justru dibeton, seperti gambar di bawah ini.
Akibat kengeyelannya, Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) pun belum bisa melanjutkan normalisasi sungai di Jakarta pada 2019, karena terkendala lahan yang belum dibebaskan.
Namun lucunya, si Anies Baswedan malah lempar tanggung jawab ke anak buahnya dan meminta Kepala Dinas Sumber Daya Air Teguh Hendrawan untuk bertanggung jawab atas pembebasan lahan yang belum tuntas tersebut.
“Dia (Teguh) suruh tanggung jawab tanya sama dia, dia suruh tanggung jawab,” kata Anies kepada wartawan di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu 7 November 2018.
Saya jadi terheran-heran, kok bisa ya ada atasan seperti itu. Harusnya sebagai seorang gubernur, Anies dapat memantau kerja bawahannya, bisa melalui pertemuan yang rutin digelar dengan para kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebulan sekali ataupun laporan-laporan rutin yang dibuat setiap bulannya.
Kalaupun ada hambatan terhadap kinerja bawahannya, Anies kan bisa memanggil kepala SKPD yang bersangkutan untuk ditanyakan letak permasalahannya, diberikan teguran atau bila memang tidak memiliki kapabilitas yang cukup, ya diganti dengan yang lebih mampu. Bukannya malah menyalahkan bawahan, karena bisa jadi bawahan tidak becus bekerja karena punya atasan yang tidak becus bekerja juga.
Bukan cuma itu saja, Anies melalui bawahannya, SUKU Dinas Sumber Daya Air (SDA) Jakarta Utara telah menyiapkan 8 ribu karung pasir sebagai langkah antisipasi datangnya banjir pada musim hujan. Artinya dirinya pun sudah menyakini kalau Jakarta bakal banjir di puncak musim penghujan nanti.
Menurut Kepala Suku Dinas SDA Jakarta Utara Santo, nantinya 8.000 karung pasir tersebut akan dibagikan secara merata di setiap enam kecamatan di wilayah Jakarta Utara.
Luar biasa bukan? Sebuah terobosan yang sama sekali tidak terpikirkan oleh gubernur lainnya maupun sebelumnya. Saya membayangkan saat wartawan menanyakan kepada dirinya kenapa harus menggunakan karung pasir, bisa jadi dirinya akan menjawab.
“Pengadaan karung pasir itu adalah inisiatif pemprov. Jangan halangi, jangan rendahkan, dan mari kita izinkan rakyat menyambut banjir dengan kemampuannya, dengan ketulusannya”
“Jangan sekali-kali anggap rendah karung dari plasik atau goni. Itulah karung yang tersedia di rumah-rumah rakyat kebanyakan. Penjualnya rakyat kecil. Perajinnya pengusaha kecil. Pabriknya ada di desa-desa. Biarkan hasil produksi rakyat kecil, hasil dagangan rakyat kecil ikut mewarnai Ibu Kota. Jangan hanya gunakan beton besar buatan pabrik yang ukuran kekayaannya sudah raksasa”
Jadi warga Jakarta, silahkan mempersiapkan diri Anda sebaik mungkin menyambut musim hujan ini. Setidaknya ada hikmah yang bisa kita petik. Bila selama ini kita kerap dituduh mengkritisi kebijakan gabener yang sekarang karena dipengaruhi rasa suka dan tidak suka. Bisa jadi musim hujan atau banjir, dapat menjadi juri yang adil untuk membuktikan mana gubernur yang bekerja dengan sepenuh hati dan mana gabener yang gede bacot alias cuma pintar menata kata doang tapi malas bekerja. Bukankah begitu kawan?