Indovoices.com-Ketika saya kuliah di Bogor dan Jakarta, saban hari naik angkutan umum dan kereta api. Ketika kuliah di Bogor naik kereta api dari Stasiun kereta api Juanda ke Stasiun Bogor. Mahasiswa banyak yang naik kereta api. Kegiatan saya Bogor -Jakarta adalah diskusi, seminar, dan kegiatan lain untuk menambah wawasan.
Ketika itu, ada pertanyaan saya. Apa yang membedakan mahasiswa antar kampus?. Pengalaman saya dalam kereta api adalah hampir semua mahasiswa UI yang naik di stasiun UI atau turun di UI senang ditanya keilmuwannya. Mahasiswa HUKUM senang ditanya soal hukum. Senang ditanya apa pendapatnya tentang apa saja tentang hukum. Antusias menjawab tentang hukum yang sedang dibicarakan publik. Mendapat pencerahan baru. Hampir semua mahasiswa UI yang saya tanya selama dalam perjalanan kereta, senang sekali ditanya. Demikian juga ditempat lain. Ironisnya, dari kampus lain malas ditanya. Bahkan, cenderung curiga, mungkin diduga saya copet?. Tentu subjektif dan ada yang bagus dari kampus lain. Ini pengamatan saya saja.
Sejatinya, mahasiswa bisa bedakan copet atau tidak dari cara bertanya atau kualitas pertanyaan. Pengalaman saya ada dua sikap mahasiswa dengan ilmunya yaitu senang ditanya atau malas ditanya tentang keilmuannya.
Ketika saya kuliah di Pekanbaru senang bergaul dengan Fakultas lain. Sebab, bergaul dengan Fakultas lain minimal memahami apa yang mereka pelajari. Dengan mahasiswa pertanian saya paham apa itu pemuliaan tanaman. Bagaimana peran ilmu genetika dalam Ilmu Pertanian. Apa yang dipelajari Budidaya Pertanian, Sosial Ekonomi Pertanian, Ilmu Tanah, Hama dan Penyakit. Minimal gambaran umum di fakultas Pertanian itu apa yang dipelajari?. Berkawan dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Apa itu dasar dasar Ilmu Politik?. Apa itu demokrasi?. Apa itu Sosiologi?. Apa itu Athropologi?. Berteman dengan Fakultas ekonomi belajar apa yang mereka pelajari?. Berkawan dengan keguruan, kita belajar dasar-dasar kependidikan, filosofi pendidikan. Dengan semua fakultas belajar, kemudian kita kaitkan dengan kehidupan kita seharihari. Waktu kita di kampus tak terasa dan akan lulus dengan berbagai pengetahuan yang kita miliki. Sungguh ajaib ilmu pengetahuan itu.
Dan yang paling menarik, saya kaitkan pengetahuan itu dengan teologia.
Hal yang paling menyita pikiran saya adalah rencana Tuhan dengan rencana manusia yang dipengaruhi ilmu pengetahuan. Teologia berbicara kita bekerja menurut kehendak Tuhan. Bagaimana kita bekerja menurut kehendak Tuhan sementara pembangunan harus berjalan sesuai kehendak Bapenas dan Bapeda?. Pokok bahasan ini sangat luas dan perlu perdebatan yang amat panjang lagi. Bisa menghasilkan debat kusir karena pengertian kita tentang kehendak Tuhan berbeda . Konflik ini akan muncul ilmu ekologi dan teologia. Kerumitan itulah membuat ilmu pengetahuan itu sangat menarik dan waktu kurang untuk membahasnya.
Jika waktu kita kurang umtuk mencari ilmu pengetahuan, mengapa ada tawuran di satu kampus hingga ada yang meninggal?. Apakah kampus ini suasana ilmiah atau penuh kecurigaan?. Jika suasana kampus adalah suasana ilmiah maka yang terjadi adalah suasana yang asyik dan kritis mengintegrasikan satu ilmu dengan yang lain. Kampus adalah tempat belajar ilmu kita dan ilmu teman kita yang berbeda fakultasnya. Era digital ini tidak ada lagi ilmu apa yang paling keren.
Jurusan bahasa Inggris tidak lebih hebat dari jurusan bahasa Indonesia atau bahasa Batak, Jawa, Sunda dan lain sebagainya. Tidak zamannya lagi ilmu eksakta lebih keren dengan Ilmu Sosial, Sasta, musik dan lain sebagainya. Kini kita diperhadapkan dengan bagaumana kita mengintegrasikan semua ilmu untuk mengatasi pemanasan global. Mengintegrasikan semua ilmu untuk kebijakan pariwisata. Semua ilmu sama pentingnya untuk membuat sebuah kebijakan holistik terintegratif.
Seorang pemimpin harus minimal mengerti gambaran semua ilmu untuk mengintegrasikannya sehingga muncul kebijakan yang bermutu. Hoky Situngkir alumni ITB menyebutnya Kompleksitas. Semua data dari seluruh desa dikumpulkan dengan bernagai ilmu pengetahuan sehingga dalam mengambil keputusan membantu semua pihak.
Kompleksitas ini mengajak kita agar suasana kampus harus kondusif untuk melahirkan pemimpin yang dapat mengintegrasikan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan keputusan yang adil. Egoisme gengsi antar fakultas itu sangat usang dan merugikan semua pihak. Salam pembelajaran.
*Gurgur Manurung pengamat sosial dan lingkungan.