Bila pembaca masih ingat, beberapa bulan yang lampau, Presiden Joko Widodo pernah memberikan pidato yang sangat fenomenal dan sempat menjadi trending dunia. Dalam kata sambutannya di hadapan World Economic Forum (WEF) 2018 di Hanoi, Vietnam, hari Rabu 12 September 2018 yang lalu, beliau mengibaratkan perang dagang global yang sedang terjadi saat ini sebagai “Infinity War“, kisah perang besar dalam serial komik besutan rumah produksi Marvel.
Dan ternyata, perang tersebut tidak hanya berupa perang dagang saja. Di dalam negeri, saat ini juga terjadi “perang” politik antar dua kubu yang berhadap-hadapan, yakni antara kubu Jokowi dan kubu Prabowo dalam meraih kursi kepresidenan.
Sama halnya saat Jokowi menyebutkan, perang dagang dengan intensitas seperti saat ini belum pernah terjadi sejak periode Great Depression di tahun 1930-an. Maka intensitas saling serang dalam pemilu 2019 juga belum pernah terjadi sesengit ini sejak era reformasi bergulir 21 tahun yang lalu.
Segala serangan hoax dan fitnah diolah dengan gencarnya untuk memojokkan Jokowi. Kominfo sendiri menginformasikan setidaknya ada 771 hoax yang beredar sepanjang Agustus 2018 hingga Februari 2019. Dimana sebagian besar adalah hoax-hoax yang diproduksi untuk menyerang petahana.
Angkanya pun tidak main-main, bila pada bulan Agustus 2018 jumlah hoaks yang teridentifikasi dan sudah divalidasi ada 25 berita. Maka pada bulan September naik sebanyak 27 berita. Sedangkan bulan Oktober naik 53, November 63, Desember 75, Januari 175, dan di bulan Februari ada sebanyak 353 hoaks.
Pelakunya? Hampir dari segala lapisan masyarakat, dari penjual batagor hingga emak-emak, dari relawan pendukung yang kemudian tidak diakui hingga timses yang dibuang karena oplas pun ada. Bahkan tidak ketinggalan ada juga pemuka agama ikut-ikutan menyebarkan hoax.
Bila dalam Infinitiy War, Thanos mengambil langkah skakmat lewat jentikan Infinity Gauntlet-nya yang mematikan separuh populasi dunia. Maka dalam pilpres kali ini jentikan hoax mempengaruhi begitu banyaknya penduduk Indonesia (saya tidak berani menyebutnya setengah penduduk Indonesia, karena faktanya yang cerdas dan bisa memilah mana hoax mana yang bukan, juga cukup banyak).
Dan jentikan hoax tersebut ditengarai berpengaruh terhadap elektabilitas sang petahana sendiri, Jokowi sendiri pernah mengakui bila masih banyak anggota masyarakat yang mempercayai hoax-hoax yang beredar.
Para pelaku yang berhasil ditangkap hanyalah puncak gunung es yang terlihat, di bawahnya ada lebih banyak lagi yang masih berkeliaran, baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan namun tidak terekspose.
Survey Litbang Kompas yang terbaru juga menunjukkan turunnya elektabilitas Jokowi. Tanpa berprasangka buruk terhadap kabar yang beredar tentang kedekatan pemred Kompas terhadap salah satu paslon. Survey yang dikeluarkan oleh Litbang Kompas sebulan sebelum hari pencoblosan, malah patut kita syukuri sebagai early warning kepada relawan 01. Yang bila tidak ditindaklanjuti, bisa saja berakibat fatal.
Coba saja kita perhatikan, seberapa banyak relawan yang lebih sibuk deklarasi sana-sini, flashmob sana-sini, selfie sana-sini hanya antar sesama kalangan sendiri, padahal di bawah ada begitu banyak Undecided Voters yang menunggu untuk digarap.
Saya tidak menyebutkan seluruh relawan 01 seperti itu, saya percaya banyak juga yang turun bergerilya door to door namun sayangnya jumlahnya masih kurang. Padahal Jokowi sendiri telah berkali-kali mengingatkan relawannya agar door to door memberikan penjelasan kepada masyarakat. Apakah itu sudah dikerjakan?
Bila belum, itulah Endgame. “End Game“, apakah itu menjadi satu atau dua kata dalam judul, tetap saja berarti akhir dari sesuatu.
Situs web kamus Merriam-Webster menawarkan sebuah definisi menarik tentang “End Game“. Menurut Merriam-Webster, istilah ini sebenarnya berasal dari dunia catur.
Dari berbagai sumber, diketahui bahwa EndGame adalah tahap akhir permainan di mana merupakan babak akhir paling krusial dari sebuah permainan catur, di waktu berpikir semakin sempit.
Jika seorang pemain tak punya kemampuan “EndGame” yang mumpuni, maka semua usaha kerasnya pada fase sebelumnya bisa menjadi sia-sia.
Istilah Endgame sendiri merupakan judul sekaligus menjadi lanjutan dari Avengers: Infinity War‘ yang dijadwalkan tayang mulai 26 April 2019.
Namun bagi kita, Endgame adalah saat para relawan sibuk mengutuki survey dari Litbang Kompas tanpa melakukan tindak lanjut apapun.
Bagi kita, Endgame adalah saat kita meributkannya di sosmed, menyalahkan sana sini namun enggan terjun ke lapangan di sisa waktu yang tinggal 25 hari ini.
Bagi kita, Endgame adalah saat kita enggan meninggalkan Comfort Zone untuk melawan hoax yang beredar di masyarakat dan membiarkan kelompok lain menggarap Undecided Voters di bawah sana.
Dan yang terakhir, Endgame (akhir dari permainan) adalah tanggal 17 April saat perhitungan suara terjadi.
Survey Is Not An Endgame, Quick Count Does
Sebagai penutup artikel ini, akan saya kutip pidato Jokowi dalam kata sambutannya di hadapan World Economic Forum (WEF) 2018 di Hanoi. Pidato tersebut yang sudah saya ubah dan sesuaikan dengan kondisi yang kita hadapi saat ini.
“Anda mungkin bertanya-tanya siapa Thanos? Pembaca sekalian, Thanos bukanlah seorang individu. Maaf sudah membuat Anda kecewa. Thanos adalah paham yang salah bahwa untuk berhasil, orang lain harus menyerah. Ia adalah persepsi yang salah bahwa keberhasilan sekelompok orang adalah kegagalan bagi yang lainnya. Thanos juga dapat berarti menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan, termasuk cara-cara menyebarkan hoax, fitnah dan tuduhan-tuduhan keji tanpa bukti.”
“Sehingga, Infinity War bukan hanya tentang meraih kursi kepresidenan saja. Tetapi tentang setiap dari diri kita mempelajari ulang sejarah bahwa dengan kreativitas, energi, kolaborasi, dan kerja sama antar relawan akan menghasilkan kemenangan bagi kita semua. Kemenangan bagi Pancasila, UUD45 dan NKRI. Kemenangan bagi keberagaman dan demokrasi.”
“Namun yakinlah saya dan rekan-rekan relawan saya siap menghadapi Thanos yang menghalalkan segala cara untuk menang.”
Siapkah kita?