Sebagai seorang yang sudah 15 kali ke Jakarta, dan ini mudah-mudahan tidak menjadi bagian dari kesombongan, tidak ada orang yang lebih tahu se-Indonesia tentang Jakarta daripada saya. Sehingga saya meyakini bahwa siapapun gubernurnya, genangan-genangan banjir pasti akan selalu ada di Jakarta jika normalisasi sungai belum tuntas seratus persen.
Disaat-saat genting seperti ini tidak sepatutnya kita saling menyalahkan. Apapun itu, banjir adalah masalah bersama warga Jakarta dan kita harus bereskan bersama-sama. Saling menyalahkan antara Ahoker dan Anieser semestinya kita sudahi. Sehebat apapun gubernurnya, kuasa alam tidak ada yang bisa melawan. Bukan lantas kita berpangku tangan, tetapi berusaha melakukan sesuatu untuk meminimalisir dampak banjir. Hanya itu yang kita bisa lakukan.
Jauh-jauh hari Ahok sudah mengatakan bahwa selama normalisasi sungai belum rampung, banjir akan terus melanda Jakarta. Kita tahu bahwa normalisasi sungai Ciliwung baru sekitar 40%, sementara dibutuhkan 10 tahun normalisasi untuk bisa tuntas. Itupun jika Gubernur saat ini segera ngebut mengerjakannya, tetapi jika tidak melakukan apa-apa, jangan berharap banjir akan menghilang dari Jakarta.
Sudah terlalu banyak pakar tata kota yang menyampaikan penyebab-penyebab banjir di Jakarta. Maka sekarang yang harus diperbanyak adalah tindakan nyata. Sebisa mungkin mengeksekusi solusi-solusi yang sudah ada, bukan hanya kajian-kajianya terus yang disampaikan, apalagi pamer aplikasi.
Sehingga saya menyesalkan tindakan Gubernur Anies yang sangat lamban dalam hal antisipasi banjir. Gubernur Anies dan Sandiaga justru lebih sibuk mengantisipasi pecah belah dimasyarakat akibat diunggahnya video rapim pemprov DKI Jakarta ketimbang mengantisipasi banjir yang sudah ada didepan mata.
Pompa air mati adalah problema usang sejak Ahok menjabat dan masih saja terus terjadi. Saking geramnya, sampai-sampai Ahok mencurigai ada oknum yang melakukan sabotase agar banjir tetap terjadi. Dengan demikian, bantuan turun, dan disitu ada dana yang bisa dipermainkan. Mengapa penyedot air di rumah pompa underpass Dukuh Atas yang tidak berfungsi luput dari perhatian Anies??
Apa susahnya melakukan pengecekan secara berkala mesin pompa menghadapi musim penghujan tiba. Bukankan ada dinas terkait yang mengurusi hal ini? Situasi ini justru mengkonfirmasi bahwa saat ini sistem pengaduan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Padahal kalau kita ingat, sistem pengaduan yang baik adalah salah satu hal yang sangat membanggakan pada era Ahok. Ahok terkenal sigap, cepat tanggap dan tanpa kompromi jika ada laporan warga yang tidak segera ditangani oleh dinas terkait. Selain mengandalkan aplikasi Qlue, Ahok juga membuka pengaduan lewat SMS di tiga nomor berbeda yang dikelola langsung oleh staff pribadinya. Tetapi ya lagi-lagi, kuncinya adalah keberpihakan…
Aplikasi Qlue memungkinkan masyarakat melaporkan semua kejadian, seperti macet, banjir, jalan rusak, penumpukan sampah, ataupun ketersediaan tempat tidur di rumah sakit. Dengan Aplikasi ini, laporan akan sangat mudah dan cepat ditangani karena terintegrasi langsung dengan smart city Balai Kota dan juga ke smartphone aparat Pemprov DKI yang bertanggung jawab terhadap wilayah permukiman masing-masing, yaitu lurah dan camat. Bahkan beberapa pintu air dan mesin pompa juga sudah dipasang cctv sebagai sarana pengawasan pendukung. Jika pompa mati baru diketahui pada saat banjir terjadi, berarti memang ada missing link sehingga sistem ini tidak berjalan dengan baik.
Lalu kita bertanya, kemana camat, lurah, kepala dinas terkait? Siapa yang paling bertanggung jawab dengan permasalahan ini? Jika memang ada yang lalai dalam pelaksanaan dilapangan tentu saja Gubernur Anies harus segera mengambil langkah tegas jika tidak ingin kejadian ini terus terulang. Sebab ini adalah keteledoran fatal dan sangat berbahaya. Bayangkan, pompa tidak berfungsi sudah dilaporkan operator sejak dua bulan lalu tetapi belum ada action sampai sekarang. Kan parah!! Pecat siapa yang harus bertanggung jawab! Pertanyaannya, beranikan Anies memecat bawahannya?? Saya kok ragu…
Semula saya agak mahfum ketika Gubernur Anies menyatakan dirinya tidak mampu mengawasi 33.000 LPJ RT-RW se-Jakarta. Mungkin karena sangkin banyaknya pekerjaan, ya maklumin aja lah pikir saya. Tetapi ketika Gubernur Anies juga tidak sanggup mengawasi pompa air di Jakarta yang hanya berjumlah sekitar 500-an padahal sudah didukung cctv, berati dapat saya simpulkan bahwa Gubernur Anies memang tidak mampu dan tidak layak menggantikan Ahok menjadi gubernur apalagi calon presiden.
Akhirnya kekhawatiran-kekhawatiran kita akan kemampuan Gubernur Anies terbukti benar. Solusi-solusi yang dia sampaikan pada saat kampanye tak lebih dari sekedar text book untuk materi kuliah di kampus.
Dan sekarang, semua sudah amat terlambat. Musim hujan sudah didepan mata. Sudah tidak bisa lagi menggali waduk, tidak bisa mengeruk sungai, tidak bisa membangun sumur resapan, tidak bisa lagi membangun tanggul. Karena selain terkendala kondisi di lapangan, momen akhir tahun juga akan dimanfaatkan oleh para pekerja dan petugas dilapangan untuk cuti dalam rangka menyambut natal dan tahun baru bersama keluarga.
Lalu bagaimana jika terjadi banjir? apakah Sandiaga juga masih akan mengandalkan karung-karung pasir sedangkan kita tahu bahwa salah satu sifat air adalah dapat meresap melewati celah-celah kecil??.
Jika menghadapi curah hujan yang tinggi saja sudah tidak sanggup, bagaimana dengan banjir rob? bagaimana dengan banjir kiriman, bagaimana dengan banjir luapan air sungai? bagaimana dengan jebolnya tanggul, bagaimana dengan badai Cempaka, Dahlia. Nyerah, Pak??
Selamat mengibarkan bendera putih!!
Lihat juga tulisan saya yang lain disini: