“Mata loe buta?”, teriak seorang suami kepada istrinya. Saat itu sang istri yang baru dinikahinya belum setahun, sedang berjalan, namun tidak sengaja kakinya tersandung batu dan jatuh.
Mendapat teriakan dari sang suami, si istri pun bangkit bersungut-sungut sambil membathin di dalam hati. Kok jadi begini? Padahal dulu waktu pacaran tidak seperti itu, penuh perhatian dan kasih sayang. Digigit nyamuk sedikit saja langsung dielus-elus. Saat harus bekerja lembur, sang pria yang ketika itu masih menjadi pacarnya, sabar menunggu.
Namun semuanya berubah sejak menikah, ada saja kata-kata sinis yang meluncur dari mulutnya. Berdandan lama sedikit, kena tegur, terlambat buatin kopi, kena marah. Setelah menikah, seakan-akan sifat aslinya yang temperamen, tidak sabaran, muncul satu persatu. Namun semua sudah terlambat, akhirnya hanya bisa menahan tangis dan sesal di dalam hati.
Itu sepenggal cerita yang pernah saya dengar, namun saya yakin banyak dialami oleh berbagai pasangan yang ada. Lantas apa hubungannya dengan dunia politik? Jelas sangat berhubungan. Ambil contoh saja soal pileg, bagaimana mendekati pileg, banyak bakal anggota legislatif (bacaleg) yang mendadak menjadi ramah, rajin mengunjungi dapilnya, tutur sapanya pun menjadi lemah-lembut terbalut janji-janji manis nan membuai yang keluar dari mulut mereka untuk disampaikan kepada masyarakat di dapil masing-masing.
Demikian halnya juga dengan pilkada, calon kepala daerah, demi merebut simpati warga, rela berpose disamping gerobak sampah, mengambil sampah dengan tangannya atau kalau perlu ikut nyemplung ke daerah banjir. Setelah terpilih? Jangan harap, jangankan blusukan menemui warga, kalau perlu tirai balai kota pun ditutup rapat agar tidak diketahui apa yang dikerjakan di dalam.
Jangankan mendengar dan menerima keluhan warga, urusan keluh mengeluh lemparkan saja ke kelurahan atau kecamatan biar mereka yang atur. Janji tidak menggusur hanya dirubah menjadi menggeser, buai saja warga dengan keahliannya menata kata walau tak becus menata kota, hahahaha, siapakah dia? Tak perlu saya sebutkanlah, warga Jakarta pasti sudah kenal.
Nah, sepertinya hal ini juga akan diterapkan oleh salah satu pasangan capres dan cawapres di pilpres 2019 nanti. Capres dan Cawapres yang saya maksud adalah Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Sandiaga Uno berencana mere-branding Prabowo menjadi The New Prabowo yang dikesankan sebagai figur yang mau lebih mendengar, cair, bersahabat, sosok yang santai, penuh humor dan sebagainya.
Istilah The New Prabowo sendiri pertama kali dikemukakan oleh Sandiaga Uno. Dalam hal penampilan, Sandiaga mengatakan bahwa atas saran dari Didit Hediprasetyo, Prabowo akan mengubah penampilan. Kemeja putih yang dia kenakan tak lagi selalu berkantong empat. Didit, putra semata wayang Prabowo Subianto dan Siti Hediati Harijadi (Titiek Soeharto) ingin sang ayah luwes dalam berpakaian dan tampil lebih fashionable.
Semua itu dilakukan dengan tujuan utama agar kehadiran The New Prabowo diharapkan bisa menggaet simpati rakyat.
Mas Didit bilang ke saya, ‘Papa juga kasih tahu dong, jangan pakai baju 4 kantong terus. Ganti-gantilah papa. Nggak milenial. Mas Sandi ingetin juga ya papa,’ gitu kata Mas Didit. Minta agar Pak Prabowo supaya lebih lentur dalam berpakaian,” kata Sandiaga saat tampil di acara Blak blakan detikcom yang tayang Rabu, 22 Agustus 2018.
Prabowo, kata Sandiaga, bukan seperti yang digambarkan oleh sejumlah elite masyarakat selama ini. Misalnya: temperamen dan militeristik. Bahkan dalam 3 atau 4 tahun terakhir sikap temperamen Prabowo sangat jauh berkurang.
Sandi mencontohkan, usai Pilpres 2014 lalu Prabowo dengan ksatria mengucapkan selamat kepada Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai pemenang. Tak hanya itu, Prabowo juga hadir di sidang umum MPR yang menetapkan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019.
Rasa penasaran membuat saya mencoba menelusuri berita dari berbagai media, apa benar Prabowo 3-4 tahun terakhir ini telah berubah?
Di tahun 2014 yang lalu, usai penetapan pilpres yang dimenangkan oleh Jokowi dan dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi. Prabowo yang ketika itu membaca draf pidato para elite partai penyokong, melampiaskan kemarahannya.
“Kalian berkhianat? Dapat apa dari Jokowi?” katanya dengan suara tinggi seperti dimuat di majalah Tempo edisi 25-31 Agustus 2014.
(https://nasional.tempo.co/amp/602619/prabowo-kalian-berkhianat-dapat-apa-dari-jokowi)
Di lain kesempatan, Prabowo menyinggung profesi wartawan pada awal pidatonya. Bermula ketika ia marah dengan orang-orang yang berada di Ballroom. Dia meminta audien untuk tenang dan tidak menyodorkan kamera atau handphone.
“Anda mau mendengarkan saya atau mau foto saya?” kata Prabowo menegur hadirin.
(https://www.idntimes.com/news/indonesia/amp/rochmanudin-wijaya/begini-sindiran-prabowo-pada-wartawan-intelijen-hingga-anies-baswedan-1)
Masih ingat dengan kasus La Nyalla dan permintaan mahar sebesar 40 miliar rupiah?
“Dia (Prabowo) marah-marah. Marahnya seperti orang kesurupan. Pokoknya seperti bukan Prabowo Subianto lah,” ujar La Nyalla ketika itu.
(https://jurnalpolitik.id/2018/01/12/la-nyalla-prabowo-marah-marah-seperti-orang-kesurupan/amp/)
Bahkan, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pernah meneriaki kadernya yang berteduh karena kepanasan, saat dirinya tengah berpidato.
Hal tersebut berlangsung saat Prabowo berpidato di Kantor DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (21/4/2018).
(https://nasional.kompas.com/read/2018/04/21/14592851/saat-prabowo-teriaki-kadernya-yang-berteduh-karena-kepanasan)
Itu hanya beberapa contoh berita mengenai marahnya Prabowo yang sekaligus mementahkan statement Sandiaga Uno. Jadi apanya yang sudah berubah?.
Apalagi bila perubahan tersebut dipaksakan, dan harus berpura-pura hanya semata-mata untuk meraih simpati rakyat. Untuk sementara mungkin bisa, seperti cerita yang saya contohkan di awal artikel di atas. Namun setelah apa yang diinginkan tercapai, siapa yang menjamin bila sifat aslinya tidak akan muncul?.
Saya rasa kasus Pilkada DKI Jakarta dapat kita jadikan contoh yang sempurna. Di mana ketika itu, untuk memperoleh kemenangan, semua cara dihalalkan, segala janji berani diucapkan. Bahkan wajah cagub yang sehari-hari cemberut dan selalu tampak manyun pun harus dipaksakan tersenyum hanya untuk mendapatkan simpati masyarakat. Berbagai program gagal pun dijejalkan dan terbukti setelah menjabat, tidak becus bekerja. Jangankan membangun Jakarta, buat mengurus trotoar dan Kali Item saja tidak mampu sehingga harus dibantu berbagai pihak.
Kembali ke masalah pilpres, akankah kita percayakan masa depan bangsa ini buat calon presiden pemarah yang pura-pura ramah? Akankah kita percayakan pembangunan di negara ini untuk diteruskan kepada calon presiden yang hartanya berjibun namun masih minta sumbangan kepada rakyat?. Yakinkah kita bila berbagai aset bangsa ini tidak akan dijual bila mentalnya selunak kardus dan gampang berubah hanya karena segepok uang 500 miliar? Serta banyak lagi yang harus kita pertimbangkan.
Termasuk janji-janjinya untuk mensejahterakan rakyat namun karyawannya sendiri, empat tahun terlunta-lunta tidak mendapatkan gaji. Model begini yang mau jadi Presiden? Polesan sebagus apapun percuma karena hanya menutupi luarnya saja, sementara dalamnya? Ibarat kuningan yang dipoles semirip mungkin dengan emas, sampai kapanpun tetap akan jadi kuningan, sementara emas asli tetap akan menjadi emas asli walaupun dilempar ke dalam lumpur.
Jadi segalanya saya kembalikan ke pembaca, apakah mau mengulangi tragedi pilkada DKI, membuang dua keping emas demi dua keping kuningan? Atau tetap mempertahankan emas yang sudah teruji sebagai emas murni di pilpres 2019 nanti?