Sampai hari ini saya meyakini bahwa toleransi sejati itu bukanlah tidak melakukan sesuatu karena takut jadi beralih agama, melainkan melakukan sesutau demi menajaga persaudaraan dan tenggang rasa. Tetapi tentu saja, hal-hal yang perlu digaris bawahi adalah sesuatu yang sudah jelas-jelas haram di Kitab Suci tidak boleh dilakukan.
Perdebatan setiap tahun mengucapkan selamat hari Natal selalu menjadi trending topik. Dan semakin tahun, hal ini semakin tajam. Padahal semua orang sepakat bahwa pada masa toleransi sedang jaya-jayanya, hal-hal seperti ini tidak pernah muncul jadi trending topik. Tentu ada saja yang punya pemahaman seperti itu tetapi tidak dominan.
Kemudian setelah muncul dan merajalelanya gerakan radikal di Indonesia, hal-hal seperti ini menjadi suatu yang sangat ramai dibicarakan. Apalagi kalau jelang Natal, FPI dan ormas-ormas sejenis melakukan sweeping terhadap umat muslim yang memakai topi santaklaus. Meski kita sudah katakan itu tidak ada kaitan dengan iman dan kepercayaan, tetap saja mereka sweeping.
Padahal sudah jelas bahwa apa yang menjadi inti Natal adalah kelahiran Isa Almasih, bukan persoalan topi santa. Tetapi karena merasa yang paling benar, mereka ini tetap saja melakukan sweeping. Mungkin mereka ingin dapat uang keamanan dulu kali yah baru tidak melakukan sweeping. Entahlah.
Tahun ini tidak berubah masalah toleransi di Indonesia. Setelah rusak dan tersobek-sobek di Pilkada Jakarta, Natal kali ini juga rasa toleransi kembali jadi sebuah pertanyaan penting bagi bangsa ini. Apalagi setelah Jakarta dikuasai oleh Gubernur yang diklaim adalah Gubernur perjuangan 212. Bahkan sang Gubernur mengklarifikasi kebenaran tersebut dengan tampil di panggung reuni 212.
Memang tidak seheboh dulu dengan sweeping-sweeping, tetapi ada sebuah kemunduran kualitas dalam masalah toleransi. Kualitas itu adalah sebuah pernyataan yang semakin sering muncul terkait intoleransi. Pernyataan itu adalah kita harus toleransi atau mengalah terhadap tindakan intoleransi.
Dalam kejadian toko kue yang menolak menuliskan ucapan selamat Natal dalam sebuah pesanan kue, terlihat beberapa tokoh tidak tegas meresponi kejadian tersebut. Seharusnya responnya lebih tegas dan mewaraskan. Dalam logika umum, menuliskan Natal di kue apa memang adalah dosa?? Kalau iya, apa dalilnya??
Terus kita disuruh menerima kejadian ini sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah?? Dalam konteks toleransi dan tenggang rasa, hal ini sebenarnya tidak boleh dibiarkan. Mengapa?? Karena akan menumbuhkan sikap intoleransi dan paling parahnya kemunafikan tidak bertepi. Ternyata toko kue ini tercyduk pernah membuat tulisan selamat tahun baru cina.
Toleransi terhadap sikap intoleran tidak boleh kita terus biarkan. Semua harusnya belajar bertoleransi dalam artian menghargai dan menghormati agama lain yang resmi ada di Indonesia. Dan hal ini sebenarnya dengan sangat jelas dinyatakan oleh Ketua Komisi Dakwah MUI KH Cholil Nafis menanggapi peristiwa toko kue tersebut.
“Orang mau ucapkan monggo, tak ucapkan tak apa-apa. Orang mau pesan, tak apa. Tak mau pesan juga tak apa-apa. Yang penting tidak mencaci. Saya pikir boleh-boleh saja. Asalkan tidak membenci dan tidak merendahkan agama lain,” kata Cholil ketika dihubungi, Minggu (24/12/2017) malam.
Lain lagi dengan kelakuan Gubernur 212, Anies Baswedan. Dengan santai dan seenak udelnya, Gubernur Anies menyela sebuah misa hanya untuk menyampaikan beberapa patah kata. Meski meminta maaf, menurut saya tidak ada faedahnya kehadiran Gubernur Anies dalam acara tersebut hanya untuk menyampaikan kata-katanya.
Tetapi dasar memang orang yang kerjanya berkata-kata, Gubernur Anies tetap saja kunjungan ke beberapa Gereja untuk menyampaikan kata-kata. Padahal jaman sekarang, kata-kata tanpa makna tidak ada maknanya. Apalagi dalam kehidupan orang Kristen, iman tanpa perbuatan sama saja kosong, kata-kata tanpa perbuatan juga kosong.
Kalau memang toleransi, Gubernur Anies seharusnya tidak perlu repot-repot hadir di beberapa gereja hanya menyampaikan kata-kata dan akhirnya menyela acara misa. Labih baik pilih saja satu gereja dan minta waktu sebentar sebelum acara misa atau ibadah dimulai. Tetapi dasarnya memang mau tampil dimana-mana, Gubernur Anies mengunjungi beberapa gereja untuk tebar pesona.
Itukah toleransi yang mau ditunjukkan Gubernur Anies?? Tampil di gereja-gereja untuk menunjukkan toleransinya?? Sayangnya, malah saya tidak melihat dia sedang melakukan toleransi, dia malah sedang menyela misa dan itu bukanlah sikap toleransi.
Marilah belajar makna toleransi sebenarnya. Kita menghormati dan menghargai hak-hak orang lain untuk menjalankan keyakinannya meski itu adalah sebuah tulisan di sebuah kue.
Salam Toleransi Salah Kaprah.