Indovoices.com- Pengawasan yang tepat terhadap industri obat dan makanan di Indonesia, merupakan langkah awal terciptanya produk yang berdaya saing internasional. Itulah sebabnya, pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM) diharapkan bisa segera tuntas.
Sejak 1998, jumlah kelas menengah di Indonesia naik hampir 100 persen. Yakni, dari 75 juta orang menjadi 140 juta orang. Oleh karenanya, tidaklah mengejutkan jika Indonesia menjadi pasar menarik bagi negara-negara asing untuk menjadikan Indonesia sebagai pasar industri farmasi.
Di satu sisi, pertumbuhan pasar industri farmasi di Indonesia rata-rata naik 13 persen. Dan dari tahun ke tahun, kenaikan pertumbuhan industri itu selalu konsisten. Bisa dirincikan market share industri farmasi di Indonesia, yaitu dokter sebanyak 58 persen, dan pasar bebas sebanyak 42 persen.
Potensi Indonesia menjadi target pasar industri farmasi negara asing memang jelas. Terlebih, tingkat pertumbuhan Indonesia adalah yang paling tinggi di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Kini, sedikitnya ada 202 industri farmasi di Indonesia. Lalu, ada 11 ribu jenis obat dan sebanyak 498-503 jenis obat di antaranya ada yang merupakan program pemerintah. Sementara itu, tren market share perusahaan domestik tidak banyak berubah, walau ada kecenderungan juga terus menguat.
Alhasil demi mengatasi persoalan tersebut, dipandang perlu percepatan proses registrasi industri farmasi di Indonesia. Sebab saat ini, untuk sebuah proses registrasi industri farmasi di Indonesia, masih diperlukan waktu setidaknya dua tahun.
Bertolak dari kompleksnya permasalahan yang merudung produk obat dan makanan di tanah air. Wajar, jika kemudian banyak pihak yang menaruh harap pada penuntasan RUU POM.
Apalagi diketahui, melalui regulasi baru inisiatif DPR itu memang diharapkan dapat diatur tentang penggolongan, standar dan persyaratan, pembuatan/produksi, informasi produk, peredaran, surveilan dan farmakovigilans, impor dan ekspor, promosi dan iklan, sampling, pengujian, penarikan dan pemusnahan, kelembagaan, pembinaan, tanggung jawab dan tanggung gugat, penelitian dan pengembangan, peran serta masyarakat, tenaga pengawas, kedaruratan keamanan obat dan makanan, penindakan dan ketentuan pidana.
Sejalan Nawacita
Adalah menjadi peran strategis BPOM untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia melalui pengawasan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu obat, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk wilayah perbatasan. Dan hal itu sejalan dengan Program Nawacita Kabinet Kerja untuk membangun Indonesia dari pinggiran.
Terkait itulah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tercatat sudah membangun 40 kantor baru di berbagai kabupaten/kota. Tujuannya, untuk meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap tindak pidana penyelundupan obat dan makanan.
Masih berlandaskan semangat itu, BPOM juga berencana membangun balai pengawasan obat makanan di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia. Upaya-upaya sejenis memang digelar dan terus diperkuat karena diketahui Indonesia merupakan negara kepulauan. Di mana, terdapat banyak titik potensial yang menjadi pusat penyelundupan, misalnya “pelabuhan-pelabuhan tikus.
“Jadi, kantor (Balai POM) kami bertambah yang menyebar di 40 kabupaten/kota disertai wilayah perbatasan,” kata Kepala BPOM Penny K Lukito dalam pemaparan sesi Dialog Kinerja 3 Tahun Badan POM di Kantor BPOM, Jakarta, ditulis Selasa (23/7/2019).
Selain itu, BPOM juga melakukan penguatan kemitraan dengan pemangku kebijakan dari berbagai lintas sektor, baik di dalam maupun di luar negeri. Pada Juni 2019, misalnya, BPOM menjalin kerja sama dengan Papua Nugini, melakukan eksplorasi potensi kerja sama dan kemitraan di bidang pengawasan dan peningkatan daya saing produk obat sekaligus melakukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) BPOM di wilayah Indonesia Timur dan perbatasan (Papua Nugini).
Bermanfaat Luas
Namun langkah itu, dipandang Penny, belum mencukupi. Keberadaan RUU POM, menurut Penny, menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Penny pun mencontohkan, terbukanya peluang peningkatan anggaran POM yang mana itu sangat berpengaruh pada luas cakupan pengawasan, pembuatan program-program strategis, pendampingan industri kecil dan menengah (IKM) dan tenaga sumber daya manusia dapat bertambah.
“RUU itu memang memiliki salah satu tujuan yakni menyadarkan dan melindungi pelaku usaha agar mereka membuat produk yang legal dan sudah melalui proses perizinan oleh Badan POM,” katanya.
Itulah sebabnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dibuat sedemikian rupa sehingga dapat memperkuat pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik, obat, dan makanan yang tidak sesuai aturan. Sekaligus juga, RUU dirancang seperti itu agar dapat mendorong daya saing produk dalam negeri yang berkualitas, terjamin mutunya dan aman bagi masyarakat.
“Sehingga masyarakat lagi tidak membeli produk yang ilegal, melainkan membeli produk dalam negeri yang resmi, bermutu dan terjamin,” papar Penny.
Ancam Industri Dalam Negeri
Ada ancaman yang jelas, menurut Penny, akibat eksistensi produk ilegal terhadap industri obat dan makanan dalam negeri. Bukan hanya itu, sambung dia, negara juga dirugikan karena barang ilegal sudah pasti tidak membayar pajak.
Lantaran itulah, Penny mengatakan, regulasi menjadi hal yang sangat penting bagi sebuah proses pengawasan. Oleh karenanya, dia juga menilai, UU POM perlu didukung oleh peraturan menteri dan pemerintah daerah.
Melalui RUU itu kelak, kata Penny, diharapkan dapat pula memperkuat kapasitas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Badan POM. Pasalnya selama ini kewenangan PPNS Badan POM dalam menyelidiki kejahatan di bidang obat, kosmetik, dan makanan masih mengacu pada Undang-Undang No.8/ 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang hanya terbatas pada fungsi penyidikan.
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), BPOM memang telah menyampaikan perlunya peningkatan fungsi PPNS. Dimana, mereka tidak hanya menyidik tapi juga memeriksa perkara, menggeledah tempat kejadian perkara, menguji produk yang dianggap ilegal dan menyita barang bukti dari pelaku. Ditambah juga kewenangan lain, yakni menahan atau menangkap pelaku kejahatan. (jpp)